STUDI ABSORPSI OBAT SECARA IN VITRO
I.
Tujuan
Mempelajari
pengaruh pH terhadap absorpsi obat melalui saluran pencernaan secara in vitro.
II.
Prinsip
1. Absorpsi
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya
molekul-molekul obat kedalam tubuh atau menuju keperedaran darah tubuh
setelah melewati sawar biologik (Aiache,
et al., 1993). Absorpsi obat adalah peran yang terpenting untuk akhirnya
menentukan efektivitas obat (Joenoes, 2002). Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di
jaringan atau organ, obat tersebut harus melewati berbagai membran sel.
2. Derajat Ionisasi
Derajat Ionisasi yaitu perbandingan jumlah mol zat yang terionisasi dengan jumlah mol
zat mula-mula.Derajat ionisasi tergantung pada pH larutan dan pKa obat seperti
terlihat pada persamaan Henderson-Hasselbalch
3. Persamaan Henderson-Hasselbalch
4. Kecepatan transport
obat
Permeabilitas membrane biologi terhadap suatu obat dapat
digambarkan oleh koefisien partisinya dan mempunyai hubungan linear
dengan kecepatan transport atau kecepatan absorpsinya, dinyatakan dengan
persamaan :
III.
Teori
Dasar
Proses absorpsi merupakan
dasar penting dalam menentukan aktivitas farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan
obat selama proses absorpsi akan mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan
pengobatan. Faktor mempengaruhi kecepatan dan besarnya
absorbsi, termasuk bentuk dosis, jalur/rute masuk obat, aliran darah ketempat pemberian,
fungsi saluran pencernaan (Gastrointestinal), adanya
makanan atau obat lain, dan variable lainnya (Abrams, 2005).
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah
masuknya molekul-molekul obat ke dalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh
setelah melewati sawar biologic. Absorpsi obat adalah peran yang terpenting untuk
akhirnya menentukan efektivitas obat (Joenoes, 2002). Agar suatu obat dapat mencapai
tempat kerja di jaringan atau organ, obat tersebut harus melewati berbagai membran
sel. Pada umumnya, membrane sel mempunyai struktur lipoprotein yang bertindak sebagai
membran lipid semipermeabel (Shargel and Yu, 1988). Sebelum obat diabsorpsi,
terlebih dahulu obat itu larut dalam cairan biologis. Kelarutan serta cepat-lambatnya
melarut menentukan banyaknya obat terabsorpsi. Dalam hal pemberian obat per
oral, cairan biologis utama adalah cairan gastrointestinal, dari sini melalui
membrane biologis obat masuk keperedaran sistemik (Joenoes, 2002).
Obat pada umumnya diabsorpsi dari saluran pencernaan secara difusi pasif melalui
membrane selular. Obat-obat yang ditranspor secara difusi pasif hanyalah yang
larut dalam lipid. Makin baik kelarutannya dalam lipid, maka baik absorpsinya
sampai suatu absorpsi optimum tercapai. Obat-obat yang digunakan
sebagian besar bersifat asam atau basa organik lemah.
Absorpsi obat dipengaruhi
derajat ionisasinya pada waktu zat tersebut berhadapan dengan
membran. Membran sel lebih permeable terhadap bentuk obat yang tidak terionkan
dari pada bentuk obat yang terionkan. Derajat ionisasi tergantung pada pH
larutan dan pKa obat seperti terlihat pada persamaan Henderson-Hasselbach
sebagai berikut :
(Watson, 2007).
Absorpsi obat adalah langkah utama untuk disposisi obat
dalam tubuh dari sistem LADME (Liberasi-Absorpsi-Distribusi-Metabolisme-Ekskresi). Bila pembebasan obat dari
bentuk sediaannya (liberasi) sangat lamban, maka disolusi dan juga absorpsinya
lama, sehingga dapat mempengaruhi efektivitas obat secara keseluruhan (Joenoes,
2002).
a.
Ukuran partikel obat
Kecepatan
disolusi obat berbanding langsung dengan luas permukaan yang kontak dengan
cairan/pelarut. Bertambah kecil partikel, bertambah luas permukaan total,
bertambah mudah larut
b.
Pengaruh daya larut obat
Pengaruh
daya larut obat/bahan aktif tergantung pada:
i. Sifat kimia: modifikasi kimiawi obat
ii. Sifat fisik: modifikasi fisik obat
iii.
Prosedur dan teknik pembuatan obat
iv. Formulasi bentuk sediaan/galenik dan
penambahan eksipien
c. Beberapa faktor lain fisiko-kimia
obat.
i. Temperatur
ii. pKa dan derajat ionisasi obat (Joenoes,
2002).
Mekanisme
Lintas Membran
Mekanisme
lintas membran berkaitan dengan peristiwa absorpsi, meliputi mekanisme pasif
dan aktif (Syukri, 2002).
a. Difusi
pasif melalui pori
Semua senyawa yang berukuran cukup kecil dan larut dalam air
dapat melewati kanal membran. Sebagian besar membran (membran seluler epitel
usus halus dan lain-lain) berukuran kecil yaitu 4-7 Å dan hanya dapat dilalui
oleh senyawa dengan bobot molekul yang kecil yaitu lebih kecil dari 150 untuk
senyawa yang bulat, atau lebih kecil dari 400 jika senyawanya terdiri atas
rantai panjang (Syukri, 2002).
b. Difusi
pasif dengan cara melarut pada lemak penyusun membran
Difusi pasif menyangkut senyawa yang larut dalam
komponen penyusun membran. Penembusan terjadi karena adanya perbedaan
konsentrasi atau elektrokimia tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai
keseimbangan pada kedua sisi membran. Waktu yang diperlukan untuk mencapai
keseimbangan tersebut mengikuti hukum difusi Fick (Syukri, 2002).
c. Tranpor aktif
Transpor aktif suatu molekul merupakan cara pelintasan
transmembran yang sangat berbeda dengan difusi pasif. Pada transpor
aktif diperlukan adanya pembawa. Pembawa ini dengan molekul obat dapat
membentuk kompleks pada permukaan membran. Kompleks tersebut melintasi membran
dan selanjutnya molekul dibebaskan pada permukaan lainnya, lalu pembawa kembali
menuju ke permukaan asalnya (Syukri, 2002).
Sistem transpor aktif bersifat jenuh. Sistem ini menunjukkan
adanya suatu kekhususan untuk setiap molekul atau suatu kelompok molekul. Oleh
sebab itu dapat terjadi persaingan beberapa molekul berafinitas tinggi yang
menghambat kompetisi transpor dari molekul berafinitas lebih rendah. Transpor
dari satu sisi membran ke sisi membran yang lain dapat terjadi dengan mekanisme
perbedaan konsentrasi. Tranpor ini memerlukan energi yang diperoleh dari
hidrolisis adenosin trifosfat (ATP) dibawah pengaruh suatu ATP-ase (Syukri,
2002).
d. Difusi
terfasilitasi
Difusi ini merupakan cara perlintasan membran yang
memerlukan suatu pembawa dengan karakteristik tertentu (kejenuhan, spesifik dan
kompetitif). Pembawa tersebut bertanggung jawab terhadap transpor aktif, tetapi
pada transpor ini perlintasan terjadi akibat gradien konsentrasi dan tanpa
pembebasan energi (Syukri, 2002).
e. Pinositosis
Pinositosis merupakan suatu proses perlintasan membran oleh
molekul-molekul besar dan terutama oleh molekul yang tidak larut. Perlintasan
terjadi dengan pembentukan vesikula (bintil) yang melewati membran (Syukri,
2002).
f. Transpor
oleh pasangan ion
Transpor oleh pasangan ion adalah suatu cara perlintasan
membran dari suatu senyawa yang sangat mudah terionkan pada pH fisiologik.
Perlintasan terjadi dengan pembentukan kompleks yang netral (pasangan ion)
dengan senyawa endogen seperti musin, dengan demikian memungkinkan terjadinya
difusi pasif kompleks tersebut melalui membran (Syukri, 2002).
Studi absorpsi in vitro dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang mekanisme absorpsi suatu bahan obat,
tempat terjadinya absorpsi yang optimal, permeabilitas membrane saluran pencernaan
terhadap berbagai obat, serta pengaruh berbagai faktor terhadap absorpsi suatu
obat.
Biasanya menggunakan usus tikus kecil untuk parameter kinetic
menentukan transportasi yang handal dan direproduksi. Metode ini mutlak
diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi jaringan kelangsungan jaringan usus
yang hanya berlangsung selama maksimal 2 jam. Awalnya, studi ini hanya
digunakan untuk mempelajari pengangkutan molekul makro dan liposom, namun kini
telah mengembangkan penelitian untuk transportasi para seluler obat – obat yang
hidrifil dan mempelajari efek dari enhancer dalam penyerapan obat.
Keuntungan dari metode ini adalah karena dapat digunakan
untuk menentukan transportasi di berbagai segmen dari usus kecil, sebagai studi
awal untuk transportasi obat, dan untuk memperkirakan tingkat level first pass
metabolism obat pada sel epitelusus. Sementara kerugian adalah karena adanya mukosa muskularis menyebabkan
obat untuk berpindah dari lumen kedalam lamina propria dan menembus mukosa
muskularis, menyebabkan obat – obat tertentu dapat terikat dengannya dan
menyebabkan transportasi lebih rendah dari yang seharusnya diukur (Keperawatan,
2011).
Hewan
Percobaan
Hewan percobaan yang umum digunakan dalam
penelitian ilmiah adalah tikus. Tikus (Rattusnor vegicus) telah diketahui
sifat-sifatnya secara sempurna, mudah dipelihara, dan merupakan hewan yang relative
sehat dan cocok untuk berbagai penelitian. Ciri-ciri morfologi Rattusnor vegicus
antara lain memiliki berat 150-600 gram, hidung tumpul dan badan besar dengan
panjang 18-25 cm, kepala dan badan lebih pendek dari ekornya, serta telinga
relative kecil dan tidak
lebih dari 20-23 mm.
Usus halus terdiri dari duodenum,
jejunum, dan ileum. Duodenum pada manusia memiliki panjang sekitar 25 cm
terikat erat pada dinding dorsal abdomen dan sebagian besar terlatak
retroperitoneal. Jalannya berbentuk sepertihuruf C yang mengitari pancreas dan ujung
distalnya menyatu dengan jejunum yang terikat pada dinding dorsal rongga melalui
mesenterium. Jejunum dapat bergerak bebas pada mesenteriumnya dan merupakan dua-perlima
bagian proksimal usus halus. Sedangkan ileum merupakan sisa tiga-perlimanya. Dinding
usus halus terdiri atas empat lapis konsentris yaitu mukosa, submukosa,
muskularis, dan serosa (Leeson et al. 1990).
Lapisan mukosa terdiri dari lamina
epitel, lamina propia, dan muskularis mukosa. Bentuk mukosa tersusun dari tonjolan
berbentuk jari yang disebut vili yang digunakan untuk memperluas permukaan. Pada
permukaan epitel vili terdapat mikrovili yang dapat meningkatkan efisiensi penyerapan
nutrisi. Pada usus halus jugater dapat sel goblet yang menghasilkan mucus sebagai
pelindung mukosa usus.
Membran mukosa adalah lingkungan yang
unik dimana banyak spesies mikroorganisme yang berbeda dapat hidup dan berekspresi.
Terdapat 1014 mikroorganisme dari 200 spesies, 40-50 genus hidup pada permukaan
tersebut, dan 99% dari populasi mikroorganisme pada membrane mukosa terjadi di
bagian distal usus halus dan di bagian proksimal kolon. Membran mukosa dalam suatut
ubuh berkontak langsung dengan lingkungan luar dan membrane mukosa juga terkolonisasi
oleh mikroorganisme yang berbeda dalam jumlah yang besar.
Asetosal (asam asetil
salisilat) dikenal dengan nama dagang Aspirin, merupakan obat pereda nyeri
golongan 'anti radang non steroid' (AINS), sering digunakan untuk mengatasi
nyeri reumatik, pereda nyeri (analgesik), dan penurun demam (antipiretik). Asetosal juga mempunyai efek mengurangi daya
beku darah, sehingga dalam dosis rendah sering digunakan untuk penderita penyakit
jantung koroner dan stroke (Familiamedika, 2013).
Pemerian :
hablur putih, umumnya seperti jarum atau lempengan tersusun, atau serbuk hablur
putih; tidak berbau atau berbau lemah. Stabil di udara kering, di dalam udara
lembab secara bertahap terhidrolisa menjadi asam salisilat dan asam asetat.
Kelarutan : sukar larut dalam
air, mudah larut dalam etanol, larut dalam kloroform dan eter.
(Depkes RI, 1995).
IV.
Alat
dan Bahan
A. ALAT
2. Spektrofotometer
3. Water-Bath
4. TimbanganAnalitik
5. pH
Meter
6. Alat-alat untuk operasi
7. Alat-alatgelas
B. Bahan
1. Hewan percobaan (Tikus putih jantan)
2. Cairan
lambung buatan tanpa pepsin (pH 1,2), Cairan usus buatan tanpa pankreatin (pH
7,5)
3. Larutan NaCl
0,9% b/v
4. AsamSalisilat
5. Eter
6. Gas
Oksigen
7. Alkohol
8. Seng
Sulfat dan Barium Hidroksida
V.
Prosedur
5.1 Pembuatan Kurva Baku
0,18 g
asetosal standar ditambahkan etanol hingga 100 mL. Kemudian dibuat menjadi
konsentrasi 120 ppm, 140 ppm, 160 ppm, 180 ppm, dan 200 ppm. Masing-masing
larutan dimasukkan ke dalam kuvet dan dimasukkan ke alat spektrofotometer
uv-vis di panjang gelombang 297 nm. Lalu diukur masing-masing absorbansinya.
Setelah itu dilakukan perhitungan dan dibuat kurva kalibrasinya.
5.2 Penentuan Absorpsi Pada Usus Halus Tikus
Hewan
percobaan dipuasakan selama 20-24 jam, tetapi diberi minum air masak. Lalu
tikus dibunuh dengan eter, kemudian dibuka perutnya di sepanjang linea mediana dan usus dikeluarkan.
Setelah itu, usus sepanjang 15 cm di bawah pylorus
dibuang dan 20 cm di bawahnya dipotong untuk percobaan. Lalu usus dibagi
dua sama panjang dan dibersihkan. Bagian anal digunakan sebagai kontrol
sedangkan ujung anal dari potongan
usus tersebut diikat dengan benang. Kemudian dengan menggunakan pinset usus
tersebut dibalik sehingga bagian mukosa terletak di luar.
Usus
diisi dengan larutan NaCl 0,9% b/v sebanyak 1,4 ml. Lalu usus yang sudah diisi
NaCl dan diikat, dimasukkan ke dalam tabung yang berisi cairan mukosal pH 1,2
sebanyak 75 ml (yang mengandung bahan obat) pada suhu 37oC.
Perlakuan ini diulangi dengan tabung yang berisi cairan mukosal pH 7,4 (yang
mengandung bahan obat) dan untuk kontrol menggunakan cairan mukosal pH 1,2 dan
pH 7,4 juga tetapi tanpa bahan obat. Obat yang akan diuji dalam percobaan ini
adalah asetosal. Selama percobaan berlangsung, seluruh bagian usus dijaga agar
dapat terendam dalam cairan mukosal dan selalu dialiri gas oksigen dengan
kecepatan kira-kira 100 gelembung per menit. Untuk larutan uji (berisi
asetosal) tiap 5, 10, dan 15 menit, cairan serosal diambil melalui kanula yang
dimasukkan ke dalam vial kemudian diisi lagi dengan 1,4 ml NaCl 0,9% b/v. Untuk
kontrol (tanpa asetosal), setelah 5 menit cairan serosal diambil melalui kanula
dan dimasukkan ke dalam vial. Melalui percobaan ini akan dihasilkan 8 vial
berisi sampel yang akan dianalisis.
5.3 Analisis Asetosal dengan Spektrofotometer
UV
Sebanyak
1 ml dari tiap vial diambil kemudian ditambahkan dengan 2 ml larutan seng
sulfat 5% dan 2 ml barium hidroksida 0,3 N. Larutan dikocok dan disentrifugasi
selama 5 menit. Lalu, bagian yang jernih diambil dan dibaca absorbansinya
menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 297 nm. Setelah itu,
dibuat grafik hubungan antara jumlah dan kadar obat yang ditranspor, dihitung
permeabilitas dan lag timenya serta
dihitung tetapan kecepatan absorpsi (Ka) nya.
VI.
Data
pengamatan dan Hasil
I.
Data Pengamatan
1. Absorbansi
Asetosal (Pelarut air, λ 274 nm)
[ ppm ]
|
1
|
2
|
3
|
Rata-rata A
|
200
|
0,5186
|
0,5188
|
0,5187
|
0,5187
|
180
|
0,5103
|
0,5104
|
0,5099
|
0,5102
|
160
|
0,4624
|
0,4628
|
0,4626
|
0,4626
|
140
|
0,3778
|
0,3777
|
0,3777
|
0,3773
|
120
|
0,3307
|
0,3305
|
0,3308
|
0,33067
|
Tabel 6.1. Absorbansi Asetosal
b = 0,03276
a = 2,5448 X 10-3
r = 0,970
2. Kurva
serapan asetosal
Gambar 6.1. Kurva Baku Asetosal
Waktu
|
Absorbansi
|
|
5
|
0,0633
|
|
10
|
0,1757
|
|
15
|
-0,0096
|
Tabel Hasil Absorbansi
Sample pH 1.2
Waktu
|
Absorbansi
|
|
5
|
-1,164600
|
|
10
|
-1,2372
|
|
15
|
-1,0886
|
Tabel Hasil Absorbansi
Sample pH 7.4
Waktu
(Menit)
|
A/Y
|
C/X
|
Qb'
|
Fk
|
Qb
|
5
|
0,0633
|
12
|
16,8
|
16,8
|
33,6
|
10
|
0,1757
|
56,19
|
78,67
|
78,67
|
112,38
|
15
|
-0,0096
|
-16,65
|
-23,31
|
-23,31
|
-46,62
|
Tabel
perhitungan absorpsi (pH 1.2)
Waktu (Menit)
|
A/Y
|
C/X
|
Qb'
|
Fk
|
Qb
|
5
|
-1,1646
|
-470,66
|
-658,924
|
-658,924
|
-1317,85
|
10
|
-1,2372
|
-499,2
|
-698,88
|
-698,88
|
-1397,76
|
15
|
1,0886
|
-415,03
|
581,04
|
581,04
|
1162,08
|
Tabel
perhitungan absorpsi (pH 7.4)
Ket: A/Y = Hasil
Pengukuran
C/X = Konsentrasi
Qb’ = Jumlah Obat yang
diabsorpsi
Fk = Faktor Koreksi
Qb = Jumlah Obat yang
diabsorpsi setelah dikoreksi
Tabel hasil perhitungan
parameter absorpsi
Parameter Absorpsi
|
Percobaan
|
|
pH 1.2
|
pH 7.4
|
|
Ka
|
-8,022
|
247,993
|
Pm
|
-802,2
|
24799,3
|
Lag Time
|
14,12
|
12,09
|
Persamaan linier (pH
1.2): y = -8,022 X + 113,3
Persamaan linier (pH
7.4): y = 247,993 X – 2997,77
VII.
Pembahasan
Pada praktikum kali ini, dilakukan
pengujian absorpsi asetosal secara in vitro dengan menggunakan metode usus
terbalik. Pengujian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pH terhadap absorpsi
obat melalui saluran pencernaan secara in vitro. Asetosal merupakan turunan
salisilat yang sering digunakan sebagai senyawa analgesik (penahan rasa sakit
atau nyeri minor), antipiretik (terhadap demam), dan anti inflamasi
(peradangan) dan juga memiliki efek antikoagulan untuk mencegah serangan
jantung dengan rumus struktur sebagai berikut :
Konsentrasi asetosal yang digunakan
adalah sebesar 0,1M. Pembuatan asetosal 0,1 M dilakukan dengan menimbang
sebanyak 0,18 gram asetosal kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan
dilarutkan dengan menggunakan pelarut etanol karena menurut Farmakope
Indonesia, asetosal agak sukar larut dalam air, dan mudah larut dalam
etanol(95%) P. Pembuatan asetosal ini dilakukan secara kuantitatif karena akan
digunakan untuk pembuatan kurva baku dengan menggunakan spektrofotometri
UV-VIS.
Asam asetil salisilat dapat dianalisis
secara kuantitatif dengan spektrofotometer UV-Visible karena berdasarkan
strukturnya asam asetil salisilat memiliki gugus kromofor benzena cincin
aromatik yang dapat mengabsorpsi radiasi elektromagnetik yang dihasilkan oleh
spektrofotometer UV-Visible.
Untuk pembuatan kurva baku, dilakukan
dengan membuat larutan asetosal dengan lima seri konsentrasi. Pertama, dibuat larutan stok asam asetil
salisilat 1000 ppm dalam pelarut etanol. Pelarut etanol digunakan agar kondisi
pengukuran sampel dengan baku adalah sama. Dibuat larutan dengan konsentrasi
bertingkat dengan melakukan pengenceran terhadap larutan stok asam asetil
salisilat, yaitu 120, 140, 160, 180 dan 200 ppm. Masing-masing konsentrasi larutan
tersebut diukur absorbansinya pada spektrofotometer UV-Vis. Pengukuran
absorbansi dari asetosal dengan spektrofotometer UV-Vis dilakukan pada panjang
gelombang maksimum karena pada panjang gelombang maksimum, kepekaannya juga
maksimum karena pada panjang gelombang maksimum tersebut, perubahan absorbansi
untuk setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar. Di sekitar panjang
gelombang maksimum juga, bentuk kurva absorbansi datar dan pada kondisi
tersebut hukum Lambert Beer terpenuhi. Selain itu, jika dilakukan pengukuran
ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh pemasangan ulang panjang gelombang
akan kecil sekali ketika digunakan panjang gelombang maksimul (Gholib, 2007).
Panjang gelombang maksimum yang didapat dari percobaan dan digunakan untuk pengukuran
asetosal adalah 297 nm.
Setelah kelima seri konsentrasi tersebut
diukur absorbansinya, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara
absorbansi (sumbu y) dengan konsentrasi (sumbu x).
Pada konsentrasi 120 ppm, absorbansi
sampel rata-rata adalah 0,33067 , pada konsentrasi 140 ppm, absorbansinya
0,3773 , pada konsentrasi 160 ppm, absorbansi sampel 0,4626 , pada konsentrasi
180 ppm, absorbansi 0,5102 dan pada konsentrasi 200 ppm, absorbansinya 0,5187.
Dari data absorbansi dan konsentrasi asetosal, didapatkan persamaan kurva yaitu
:
dimana
y merupakan absorbansi dan x merupakan konsentrasi. Nilai r dari kurva yaitu
0,970. Persamaan yang didapatkan dari kurva baku ini digunakan selanjutnya
dalam menghitung konsentrasi sampel.
Pada percobaan ini hewan percobaan yang
digunakan adalah tikus putih jantan. Tikus putih biasa digunakan dalam
percobaan laboratorium karena mudah dikembangbiakkan dan mudah dalam
perawatannya, hewan ini juga memiliki struktur anatomi fisiologi yang hampir
sama dengan manusia. Sehingga hasil uji yang dicobakan pada tikus putih yang
menyangkut struktur fisiologi anatomi dapat diaplikasikan pada manusia.
Sebelumnya, tikus percobaan dipuasakan
dari makanan selama 20-24 jam, tapi diberi minum air masak. Tujuan dari tikus
dipuasakan agar tidak ada faktor makanan lain yang mengganggu saat dilakukan
percobaan serta untuk mengosongkan lambung dan usus.
Lalu tikus dibunuh dengan eter. Eter
biasa digunakan sebagai obat bius yang diberikan melalui pernapasan. Kemudian
dibuka perutnya di sepanjang linea mediana (linea mediana adalah garis yang
melintas tepat ditengah tubuh dengan arah lintasan atas bawah/vertikal) dan
usus dikeluarkan. Usus sepanjang 15 cm dibawah pilorus (pilorus adalah daerah
atau bagian lambung bawah yang berhubungan dengan bagian atas duodenum/usus
duabelas jari) dibuang dan 20 cm dibawahnya dipotong untuk percobaan. Usus
dibagi dua bagian sama panjang, kemudian dibersihkan. Ujung dari potongan usus
tersebut diikat dengan benang, kemudian dengan menggunakan pinset kecil usus
tersebut dibalik secara perlahan agar usus tidak sobek, sehingga bagian mukosa
terletak diluar. Tujuan dari peletakan mukosa usus diluar karena ingin
menyamakan pengondisian seperti dalam tubuh manusia, dimana mukosa usus adalah
bagian yang lipofil, sehingga diharapkan nantinya akan dapat diukur seberapa
besar kadar zat aktif obat yang bersifat lipofil yang dapat diabsorpsi oleh
mukosa usus. Kanula dimasukkan ke ujung oral dari usus yang belum terikat. Usus
diukur dengan panjang efektif 7 cm yang sebelumnya diisi dengan cairan serosal
1,4 ml yang terdiri dari larutan natrium klorida 0,9% b/v. Kantong usus yang
sudah berisi cairan serosal ini dimasukkan ke dalam tabung yang sudah berisi
cairan mukosal 75 ml (yang mengandung bahan obat yaitu asetosal) pada suhu 37°C.
Kantong usus untuk kontrol dilakukan dengan cara yang sama, tetapi dengan
menggunakan cairan mukosal tanpa obat.
Selama percobaan berlangsung, seluruh
bagian usus dijaga agar dapat terendam dalam cairan mukosal dan selalu dialiri
gas oksigen dengan kecepatan kira-kira 100 gelembung per menit.
Pada waktu tertentu kadar obat dalam
cairan serosal ditentukan. Untuk penentuan ini seluruh cairan serosal diambil
melalui kanula dan segera dicuci dengan larutan 0,9% b/v natrium klorida,
kemudian diisi lagi dengan 1,4 ml larutan 0,9% b/v natrium klorida.
Usus tikus yang telah didapatkan
direndam dalam larutan NaCl fisiologis 0,9%
yang bersifat isotonis agar tidak kering dan rusak. Kemudian usus
dipotong 20 cm dari bagian ujung dekat pilori (lambung) untuk dibuang, dan
diambil 7 cm dari sisa usus untuk dibersihkan lalu dibalik sehingga bagian
dalam usus berada diluar dan bagian luar usus berada didalam dengan pinset.
Usus harus dibalik karena percobaan ini bertujuan untuk mengetahui kadar
absorpsi obat oleh filia bagian dalam usus pada perbedaan pH yang diatur sesuai
pH lambung dan pH usus secara in vitro (menggunakan
instrumen yang menyerupai bagian dalam tubuh).
Setelah itu, salah satu ujung usus
disambungkan ke pipa B pada instrument modifikasi crane&Wilson dan diikat
dengan benang agar tidak mudah lepas sehingga instrument tersebut menjadi
seperti gambar dibawah ini :
Kemudian, ujung usus yang lain
diikat dengan benang dan dikaitkan ke ujung pipa C, lalu larutan NaCl
fisiologis dimasukkan kedalam usus sebanyak 1,4 ml melalui pipa B agar usus
tetap basah dan tidak rusak, digunakan larutan NaCl fisiologis yang isotonis
karena menyerupai cairan tubuh tikus/ mamalia. Selanjutnya, kedalam tabung
instrument dimasukkan larutan dapar pH 1,2
melalui pipa A sebanyak 75 ml menggunakan syringe, larutan dibuat pada pH 1,2 agar menyerupai kondisi dalam
lambung tikus/ mamalia. Instument dipanaskan diatas water bath hingga mencapai suhu 37oC agar menyerupai
suhu didalam tubuh tikus/ mamalia. Larutan asam salisilat 0,01 M kemudian
dimasukkan sebanyak 10 ml melalui pipa A kedalam larutan dapar sehingga
bercampur dan didiamkan dengan selalu diberikan oksigen melalui pipa C. Oksigen
diberikan agar sel-sel usus tetap hidup. Setiap 5 menit, larutan NaCl
fisiologis didalam usus diambil melalui pipa B menggunakan syringe dan
dimasukkan kedalam vial yang telah diberi label, kemudian diganti dengan 1,4 ml
larutan NaCl fisiologis yang baru. Hal ini dilakukan sampai 15 menit
berlangsung. Larutan NaCl fisiologis diambil dari usus setiap rentang waktu 5
menit karena akan dihitung kadar asam salisilat yang terabsorpsi melalui filia
usus dan masuk kedalam larutan untuk mengetahui absoprsi optimal dari asam
salisilat pada perbedaan pengaturan pH yang disesuaikan kondisi dalam tubuh
mamalia.
Percobaan ini juga dilakukan
dengan tabung instrumen diisi larutan dapar pH 7,4 yang disesuaikan dengan
kondisi didalam usus, dengan ditambahkan pula 10 ml larutan asam salisilat 0,01
M. Kemudian dilakukan percobaan control negatif dengan prosedur yang sama
menggunakan larutan dapar pH 1,2 dan pH 7,4 tanpa ditambahkan obat. Setelah
itu, semua vial yang telah berisi larutan NaCl fisiologis diberi perlakuan awal
untuk dianalisis menngunakan spektrofotometer UV.
Setelah
dilakukan pengambilan cuplikan dari setiap rentang waktu 5 menit(5, 10 dan 15
menit) pada masing-masing pH 1,2 dan 7,4 dari masing-masing tabung, maka masing-masing
cuplikan tersebut dianalisis menggunakan spektrofotometri UV untuk menetapkan konsentrasi
asetosal selama proses absorpsi di dalam usus hewan percobaan. Adapun panjang gelombang
maksimum yang digunakan adalah 274 nm. Alasan memilih panjang gelombang maksimum
adalah karena panjang gelombang maksimum
memiliki kepekaan maksimal karena terjadi perubahan absorbansi yang paling
besar dan pada panjang gelombang maksimum, bentuk kurva absorbansi terhadap konsentrasi
memenuhi hukum Lambert-Beer. Sebelum dianalisis,
masing-masing cuplikan dilarutkan kedalam larutan barium hidroksida 0,3 N dan sengsulfat
5% ( 5 gram dalam 100 ml). Fungsi barium hidroksida dan sengsulfat adalah untuk
mengekstraksi asetosal dan memisahkan asetosal dari senyawa-senyawa lain yang
mungkin terikut, sehingga hanya asetosal yang akan dianalisis menggunakan spektrofotometri
UV. Pertama-tama harus dibuat larutan barium hidroksida 0,3 N dan sengsulfat
5%. Barium hidroksida (Ba(OH)2.8H2O) ditimbang sebanyak
4,732 gram, diperoleh dari rumus berikut:
(BM=
315,47) (FI IV, 1995 hal 1137) dan dilarutkan kedalam air panas sebanyak 100
ml. Sedangkan sengsulfat (ZnSO4. H2O) ditimbang sebanyak
5 gram dan dilarutkan kedalam 100 ml air (BM= 179,46) (FI IV, 1995 hal 836).
Barium hidroksida agak sukar larut dalam air dingin, sehingga butuh pemanasan untuk
melarutkannya, namun pada saat percobaan, barium hidroksida masih belum larut sempurna
sekalipun dilarutkan dalam air panas sambil dipanaskan, sedangkan sengsulfat sangat
larut dalam air. Setelah itu, sebanyak 2 ml dari larutan barium hidroksida dan
2 ml sengsulfat dicampurkan kedalam masing-masing 1 ml cuplikan, kemudian campuran
larutan tersebut disentrifugasi untuk memisahkan endapan dengan filtratnya.
Dimana filtrat yang berupa cairan jernih tersebut yang mengandung asetosal.Pada
saat sentrifugasi, campuran larutan tersebut dimasukkan kedalam tabung sentrifugasi
lalu tabungnya ditempatkan kedalam alat sentrifugasi secara berseberangan dan dengan
jumlah yang sama, setelah itu diatur kecepatan pemutarannya, yaitu 3000 RPM (Revolutions Per Minute) (angka 30 dilayar
dikali faktor pengali 100) selama 10 menit.Hasil sentrifugasi berupa larutan jernih
di bagian atas dan endapan di bagian bawah. Bagian atas yang berupa larutan jernih
diambil menggunakan pipet dan dimasukkan kedalam kuvet. Sebelum sampel diukur,
alat spektrofotometer terlebih dahulu di-reference
kedalam panjang gelombang yang sesuai menggunakan blanko yaitu blanko dari pH
1,2 dan 7,4 pada waktu = 0 menit. Selanjutnya masing-masing sampel cuplikan diukur
absorbansinya. Adapun jumlah cuplikan yang diukur ada 6 buah (3 buah cuplikan
(pada pengambilan 5, 10 dan 15 menit) pada pH 1,2dan 3 buah cuplikan dari pH
7,4. Absorbansi yang diperoleh dicatat.
Berdasarkan
data pengamatan, nilai absorbansi yang didapatkan tidak sesuai dengan hukum Lambert Beer, yaitu konsentrasi yang
baik itu berada di rentang absorbansi 0,2-0,8 yang terdeteksi dengan spektro
UV. Pada saat pengukuran, nilai absorbansi yang diperoleh yaitu kebanyakan bernilai
minus yaitu pada pH 1,2: -0,0096 (15 menit), sedangkan pada pH 7,4: -1,164600 (5
menit), -1,2372 (10 menit) dan -1,0886 (15 menit), artinya larutan yang
dianalisis tidak terbaca serapannya oleh alat spektrofotometer UV. Dan ada 2 nilai absorbansi yang bernilai positif yaitu
pada pH 1,2 : 0,0633 (5 menit) dan 0,1757 (10 menit) namun nilai absorbansi ini
tetap tidak memenuhi hukum Lambert Beer yaitu
rentang absorbansi yang diizinkan adalah 0,2-0,8. Hal ini terjadi karena kemungkinan
waktu yang tidak cukup bagi obat asetosal untuk terabsorpsi. Kemungkinan asetosal
akan terabsorpsi pada rentang waktu setelah 15 menit. Hasil absorbansi dimasukkan
kedalam perhitungan untuk mencari konsentrasinya. Nilai absorbansinya dimasukkan
kedalam persamaan regresi linier dari kurva baku asetosal. Dari data pengamatan
terlihat bahwa data yang didapatkan tersebut menyimpang dari yang seharusnya,
misalnya seperti, hasil absorbansi yang dihasilkan sangat aneh, nilai absorbansinya
menurun pada pertambahan waktu. Seharusnya semakin lama, maka absorbansinya semakin
tinggi, karena seharusnya semakin banyak obat yang terabsorpsi. Namun data
nilai absorbansi yang dihasilkan pada pH 1,2 lebih tinggi dibandingkan dengan pada
pH 7,4 itu adalah benar dan sesuai dengan
teori, yaitu bahwa suatu obat yang bersifat asam akan terabsorpsi optimum di pH
asam (lambung) dan obat yang bersifat basa terabsorpsi optimum di pH basa(usus).
Pada percobaan kali ini, senyawa obat yang digunakan adalah asetosal (asam asetil
salisilat), dimana senyawa obat ini bersifat asam, sehingga obat ini akan terabsorpsi
optimum di pH asam. Setelah dilakukan perhitungan konsentrasi berdasarkan persamaan
regresi linier dari kurva baku asetosal, maka data-data absorbansi dan konsentrasi
di plotkan kedalam grafik. Di mana sumbu-x nya adalah waktu dan sumbu –y nya adalah
konsentrasi. Jadi grafik yang terbentuk adalah grafik konsentrasi terhadap waktu.
Dari grafik terlihat bahwa, pada pH 1,2 konsentrasi paling tinggi adalah pada waktu
ke-10 menit, sedangkan pada pH 7,4 konsentrasi paling tinggi pada waktu ke -15
menit.
VIII.
Kesimpulan
Jadi, perbedaan
variasi pH 1,2 dan pH 7,4 pada absorpsi obat melalui saluran pencernaan secara
in vitro dengan interval waktu yang berbeda-beda menunjukkan perbedaan
konsentrasi yang berbeda-beda dengan konsentrasi tertinggi pada pH 1,2 terdapat
pada interval waktu ke-10 menit sedangkan konsentrasi tertinggi pH 7,4 terdapat
pada interval waktu ke-15.
Daftar
Pustaka
Anne Collins Abrams, RN, MSN. 2005.
Clinical Drug Therapy. US. Wolters Kluwer Health, Lippincott Williams Wilkins.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia IV. Jakarta. Departemen Kesehatan.
Familiamedika.
2013. Asetosal/Aspirin. Tersedia di http://familiamedika.net/obat-keluarga/asetosal.html#.UlCL--iyBCY
[diakses tanggal 06 Oktober 2013]
Joenoes, Z. N. 2002. Ars Prescribendi Jilid 3.Surabaya.
Airlangga University Press.
Keperawatan,
A. 2011. Absorpsi obat. Tersedia di http://www.artikelkeperawatan.info/
materi-kuliah-studi-absorbsi-obat-159.html
[diakses tanggal 05 Oktober 2013]
Leeson,
C.R., T.S. Lesson, dan A.A. Paparo. 1990. Buku Ajar Histologi. Jakarta.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Shargel, L
and yu, A. B. C. 1988. Biofarmasetika dan
Farmakokinetika Terapan. Surabaya. Airlangga University Press.
Syukri, S. 2002. KIMIA
DASAR 1. Bandung. Penerbit ITB.
Watson, D.G., 2007. Analisis Farmasi. EGC. Jakarta.