Pages

Pages

Monday, July 8, 2013

LAPORAN PRAKTIKUM PENGENALAN HEWAN COBA DAN RUTE PEMBERIAN OBAT | Farmakologi



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Sebagai mahasiswa farmasi, sudah seharusnya kita mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan obat, baik dari segi farmasetik, farmakodinamik, farmakokinetik, dan juga dari segi farmakologi. Kali ini kami akan membahas dalam bab farmakologi obat dengan sub-bab rute pemberian obat. Adapun yang melatar belakangi pengangkatan materi adalah agar kita dapat mengetahui kaitan antara rute pemberian obat dengan waktu cepatnya reaksi obat yang ditampakkan pertama kali.

B.     Tujuan percobaan
Adapun tujuan yang diharapkan dalam praktikum ini adalah :
Ø  Mahasiswa mengetahui beberapa hewan yang dapat digunakan untuk pengujian obat
Ø  Mahasiswa dilatih untuk mengetahui cara pemberian obat
Ø  Mahasiswa dilatih untuk mengetahui bagaimana pengaruh obat yang diberikan secara berbeda rute pemberian

C.    HIPOTESIS
·         Metode yang paling baik di gunkan adalah peroral karna dapar di peroleh efek yang  sistemik yaitu obat beredar ke seluruh tubuh
·         Urethan menimbulkan efek anaestasi, menurunkan aktifitas, dan membuat mengantuk
·          Menurut literatur, pemberian obar secara oral merupakan cara pemberian obar secara umum dilakukan karena mudah, aman, dan murah.


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Ditinjau dari segi sistem pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana faktor keturunan dan lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang terlihat/karakteristik hewan percobaan, maka ada 4 golongan hewan, yaitu
1). Hewan liar.
2). Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka.
3). Hewan yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan sistim   barrier (tertutup).
4). Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang dipelihara dengan sistem isolator Sudah barang tentu penggunaan hewan percobaan tersebut di atas disesuaikan dengan macam percobaan biomedis yang akan dilakukan. Semakin meningkat cara pemeliharaan, semakin sempurna pula hasil percobaan yang dilakukan. Dengan demikian, apabila suatu percobaan dilakukan terhadap hewan percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda bila menggunakan hewan percobaan konvensional ilmiah maupun hewan yang bebas kuman (Sulaksonono, M.E., 1987).

D.    Dasar teori

            Rute pemberian obat ( Routes of Administration ) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat (Katzug, B.G, 1989).

            Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
a. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik
b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama
c. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus
d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute
e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter
f. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-macam rute
          
Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat misalnya salep (Anief, 1990).

Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara:
a. Oral melalui saluran gastrointestinal atau rectal
b. Parenteral dengan cara intravena, intra muskuler dan subkutan
c. Inhalasi langsung ke dalam paru-paru.

Efek lokal dapat diperoleh dengan cara:
a. Intraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan ada mata, hidung, telinga
b. Intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru
c. Rektal, uretral dan vaginal, dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur, saluran kencing dan kemaluan wanita, obat meleleh atau larut pada keringat badan atau larut dalam cairan badan

Rute penggunaan obat dapat dengan cara:
a. Melalui rute oral
b. Melalui rute parenteral
c. Melalui rute inhalasi
d. Melalui rute membran mukosa seperti mata, hidung, telinga, vagina dan sebagainya
e. Melalui rute kulit
(Anief, 1990).

            Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal (dubur) dan parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular, subkutan, dan intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian secara parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri, intraspinal dan intraseberal, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung masuk ke peredaran darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor site) cara pemberian yang lain adalah inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui kulit atau mata. Proses penyerapan dasar penting dalam menentukan aktifitas farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan memperngaruhi aktifitas obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan ( Siswandono dan Soekardjo, B., 1995).

            Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis / keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, disamping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia (Tjay,T.H dan Rahardja,K, 2002).

          
Caramemegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya (Katzug, B.G, 1989).

            Fenobarbital, asam 5,5-fenil-etil barbiturate merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai mulai dari sedasi, hipnosis, berbagai tingkat anesthesia, koma, sampai dengan kematian. Efek hipnotik barbiturate dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya merupakan tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu (Ganiswara, 1995).

            Barbiturat secara oral diabsorbsi cepat dan sempurna. Bentuk garam natrium lebih cepat diabsorbsi dari bentuk asamnya. Mula kerja bervariasi antara 10-60 menit, bergantung kepada zat serta formula sediaan dan dihambat oleh adanya makanan didalam lambung. Barbiturat didistribusi secara luas dan dapat lewat plasenta, ikatan dengan PP sesuai dengan kelarutannya dalam lemak, thiopental yang terbesar, terikat lebih dari 65%. Kira-kira 25% fenobarbital dan hampir semua aprobarbital diekskresi kedalam urin dalam bentuk utuh (Ganiswara, 1995).

            Resorpinya di usus baik (70-90%) dan lebih kurang 50% terikat pada protein; plasma-t ½-nya panjang, lebih kurang 3-4 hari, maka dosisnya dapat diberikan sehari sekaligus. Kurang lebih 50% dipecah menjadi p-hidrokdifenobarbitat yang diekskresikan lewat urin dan hanya 10-30% dalam kedaan utuh. Efek sampingnya berkaitan dengan efek sedasinya, yakni pusing, mengantuk, ataksia dan pada anak-anak mudah terangsang. Bersifat menginduksi enzim dan antara lain mempercepat penguraian kalsiferol (vitamin D2) dengan kemungkinan timbulnya rachitis pada anak kecil. Pengunaannya bersama valproat harus hati-hati, karena kadar darah fenobarbital dapat ditingkatkan. Di lain pihak kadar darah fenitoin dan karbamazepin serta efeknya dapat diturunkan oleh fenobarbital. Dosisnya 1-2 dd 30-125 mg, maksimal 400 mg (dalam 2 kali); pada anak-anak 2-12 bulan 4 mg/kg berat badan sehari; pada status epilepticus dewasa 200-300 mg (Tjay dan Rahardja, 2006).



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A.              Perhitungan dan Hasil


pengamatan
Hewan Coba
Kelinci
Mencit
Tikus
Bobot Badan
 1kg 30 gr
30 gram
178 gram
Frekuensi Jantung
 200/menit
199/menit
189/menit
Laju nafas
+ + +
+ + +
+ + +
Refleks
+ + +
+ + +
+ + +
Tonus otot
+ + +
+ + +
+ + +
Kesadaran
+ + +
+ + +
+ + +
Rasa nyeri
+ + +
+ + +
+ + +

Perhitungan Dosis:
-          Oral pada mencit  :                  v =   BB (gr) x Dosis
                                                                  Konsentrasi obat

                                                          v = 30  x1.8        = 0,05gram                                                                                                         
                                                                    1000
-Oral pada Tikus:                                v = BB (gr) x Dosis
                                                                  Konsentrasi obat
                                                           v= 178x1.8        = 0,32 gram
                                                                   1000

Mencit
BB (Gram)
Rute Pemberian
Dosis
T (waktu)
Respon
Kel I
36
Oral
0,6 ml
50detik
mati
Kel 2
27
Subkutan
0,486
1 menit 30detik
Lemas
Kel 3
31
Intra vena
0,58
1 menit 20 detik
Lemas
Kel 4
30
oral
0,5 ml
10 detik
mati
Kel 5
29
subkutan
0,522
30 menit 1 detik
Lemas
Kel 6
31
Intra vena
0,58l
18 menit 14 detik
Aktifitas melemah
Kel 7
34
oral
0,6ml
2 menit 40 detik
lemah
Kel 8
31
subkutan
0,55
4 menit 26 detik
lemah


B.            Pembahasan
Pada praktikum ini, di lakukan berbagai macam cara pemberian obat urethan kepada 8 mencit. Pada awalnya mencit  bersifat normal (aktif berlari, memanjat, dll). Kemudian disuntikkan obat urethan ke masing-masing mencit  dengan berbagai macam cara pemberian obat, yaitu oral, intra vena, intra peritoneal, intra muscular, dan subcutan. Dosis yang diberikan kepada masing-masing mencit berbeda-beda, sesuai dengan berat badan mencit masing-masing. Setelah pemberian urethan, perubahan mulai terjadi pada mencit, namun ada 1 perbedaan pada hasilnya, yaitu perbedaan pada waktu obat mulai bereaksi terhadap masing-masing mencit. Injeksi melalui vena dilihat paling cepat memberikan efek obatnya. Itu disebabkan obat langsung diinjeksikan ke dalam pembuluh darah vena , sehingga distribusi dan absorpsi obat lebih cepat. Sedangkan oral sangat lama kerjanya, dikarenakan obat harus diabsorpsi melalui saluran cerna terlebih dahulu.dan juga hewan percobaan rentan sekali mati dikarnakan adanya kesalahan pada teknis pemberian obat kali ini yaitu perhitungan dosis, dimana dosis yang diberikan harus sesuai dengan bobot hewan coba, yang berarti setiap hewan coba memiliki dosis yang berbeda-beda.Percobaan pertama diberikan pada jalur peroral dan intravena. Pemberian obat secaraoral tidak memperlihatkan efek obat yang diinginkan, rata-rata memerlukan waktu yanglama untuk dapat mencapai onsetnya. Hal ini disebabkan banyaknya faktor yangmempengaruhi bioavailabilitas obat, yaitu jumlah obat dalam persen terhadap dosis yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh atau aktif. Salah satu faktor yangmempengaruhi yaitu faktor obat itu sendiri, misalnya sifat-sifat fisikokimia obat.Sifat fisikokimia obat yang mempengaruhi, antara lain
1.Stabilitas pada pH lambung,
2.stabilitas terhadap enzim-enzim pencernaan,
3.stabilitas terhadap flora usus
4.kelarutan dalam air atau cairan saluran cerna
5.ukuran molekul,6.derajat ionisasi pada pH salauran cerna,
7.kelarutan bentuk non-ion dalam lemak,
8.stabilitas terhadap enzim-enzim dalam dinding saluran cerna, dan
9.stabilitas terhadap enzim-enzim di dalam hati.

Keterangan :
·         Poin nomor 1—3 menentukan jumlah obat yang tersedia untuk diabsorpsi.
·         Poin nomor 4—7 menentukan kecepatan absorpsi obat.
·         Poin nomor 8 dan 9 menentukan kecepatan disintegrasi dan disolusi obat.

Percobaan pengaruh obat, terhadap jenis kelamin yang berbeda ternyata tidak menunjukkan efek yang berbeda. Efek yang ditimbulkan obat adalah tidur tidak bereaksi.Perbedaan cara pemberian obat ke dalam tubuh akan mempengaruhi onset dan durasi dariobat. Dengan kata lain, perbedaan cara pemberian obat akan memberikan efek yang yang berbeda-beda. Pada pemberian secara oral, akan memberikan onset paling lambat karenamelalui saluran cerna dan lambat di absorbsi oleh tubuh. Selain itu banyak faktor yangdapat mempengaruhi bioavaibilitas obat sehingga mempengaruhi efek yang ditimbulkan.Pemberian secara intravena seharusnya menunjukkan onset paling cepat karena kadar obat langsung terdistribusi dan dibawa oleh darah dalam pembuluh.

 Kesalahan hasil percobaan ini dikarenakan antara lain :
1.     Mekanisme injeksi yang kurang benar. Hal ini dikarenakan setiap hewan ujidiperlakukan oleh praktikan yang berbeda-beda dengan skill
2.      Injeksi yang salah dapat mengakibatkan obat terakumulasi dalam jaringan yang salah sehingga absorbsi dan distribusi obat menjadi berbeda dari yangseharusnya. Injeksi yang salah juga bisa mengakibatkan dosis obat yang masuk tidak sesuai dengan yang diharapkan atau bahkan obat tidak masuk ke sirkualsi sistemik.
3.    Tingkat resistensi dari hewan percobaan yang berbeda-beda. Hewan percobaan yang lebih resisten tentu mengakibatkan onset dan durasi obat menjadi lebihcepat dari pada seharusnya atau tidak timbul efek pada hewan percobaan walaupundiberikan injeksi sesuai dosis yang telah ditentukan.

4.      Kondisi hewan coba


5.      Kesimpulan
·         Pada penandaan hewan percobaan dibuat pada ekor dengan garis-garis yang                       disesuaikan dengan urutan mencit.
·         Cara pemberian secara intraperitonial(i.p.) dengan menyuntikkan tepat pada bagian abdomen mencit dan melaui oral dengan menggunakan oral sonde untuk mempermudah masukknya obat kedalam mulut mencit yang sempit dan langsung ke kerongkongan.
·         Pada pemberian obat secara oral lebih lama menunjukkan onset of action dibanding secara Intraperitonial, hal ini dikarenakan Intraperitonial tidak mengalami fase absorpsi tapi langsung ke dalam pembuluh darah.Sementara pemberian secara oral, obat akan mengalami absorpsi terlebih dahulu lalu setelah itu masuk ke pembuluh darah dan memberikan efek.
·         Semakin tinggi dosis yang diberikan akan memberikan efek yang lebih cepat
·         Onset of action dari rute pemberian obat secar IP lebih cepat diperoleh daripada rute pemberian obat secara oral.
·         Duration of action dari rute pemberian obat secara IP lebih panjang (lama) dibandingkan rute pemberian obat secara oral.

6.         Saran
·         Lebih berhati-hati dalam penanganan hewan percobaan dan dalam pembacaan skala spuit  agar dosis yang diberikan tepat dan tercapai efek yang dikehendaki.
·         Lebih berhati-hati dalam pemberian obat secara interperitonial agar tidak mengalami kerusakan pada abdomen maupun tusukan pada organ-organ dalam yang vital.



  DAFTAR PUSTAKA

Anief, M., 1994. Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 42-43.
Katzung, B.G., 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 351.
Reksohadiprodjo, M.S., 1994. Pusat Penelitian Obat Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 3.
Setiawati, A. dan F.D. Suyatna, 1995. Pengantar Farmakologi Dalam “Farmakologi dan Terapi”. Edisi IV. Editor: Sulistia G.G. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 3-5.
Sulaksono, M.E., 1992. Faktor Keturunan dan Lingkungan Menentukan Karakteristik Hewan Percobaan dan Hasil Suatu Percobaan Biomedis. Jakarta.

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_FaktorKeturunandanLingkungan.pdf/15_FaktorKeturunandanLingkungan.html



Source : http://linggawidayana.blogspot.com