Pages

Pages

Monday, July 8, 2013

LAPORAN PRAKTIKUM HORMON DAN TERAPI PENGGANTI HORMON | Farmakologi


HORMON DAN TERAPI PENGGANTI HORMON



       I.            TUJUAN
1.   Mengetahui secara lebih baik mengenai hormon dan terapi pengganti hormon.
2.   Mengenal secara lebih baik teknik komputerisasi untuk mengevaluasi hormon dan terapi pengganti hormon.

    II.            PRINSIP
 Penentuan laju metabolik standar, laju metabolik setelah diinjeksi tiroksin, laju metabolik setelah diinjeksi dengan TSH, dan laju metabolik setelah diinjeksi propiltiourasil.

 III.            TEORI
 Hormon merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin atau kelenjar buntu. Kelenjar ini merupakan kelenjar yang tidak mempunyai saluran sehingga sekresinya akan masuk aliran darah dan mengikuti peredaran darah ke seluruh tubuh. Apabila sampai pada suatu organ target, maka hormon akan merangsang terjadinya perubahan. Pada umumnya pengaruh hormon berbeda dengan saraf. Perubahan yang dikontrol oleh hormon biasanya merupakan perubahan yang memerlukan waktu panjang. Contohnya pertumbuhan dan pemasakan seksual (Praweda,2000).
Hormon dapat bertindak setempat di sekitar mana mereka dilepaskan tanpa melalui sirkulasi dalam plasma di sebut sebagai fungsi Parakrin, digambarkan oleh kerja Steroid seks dalam ovarium, Angiotensin II dalam ginjal, Insulin pada sel α pulau Langerhans.Hormon juga dapat bekerja pada sel dimana dia disintesa disebut sebagai fungsi Autokrin. Secara khusus kerja autokrin pada sel kanker yang mensintesis berbagai produk onkogen yang bertindak dalam sel yang sama untuk merangsang pembelahan sel dan meningkatkan pertumbuhan kanker secara keseluruhan (Indah,2004).

Klasifikasi Hormon                               

Hormon dapat diklasifikasikan melalui berbagai cara yaitu menurut komposisi kimia, sifat kelarutan, lokasi reseptor dan sifat sinyal yang mengantarai kerja hormon di dalam sel (Hanifah, 2006).

         Klasifikasi hormon berdasarkan senyawa kimia pembentuknya:

1.      Golongan Steroid→turunan dari kolestrerol

2.      Golongan Eikosanoid yaitu dari asam arachidonat

3.      Golongan derivat Asam Amino dengan molekul yang kecil → Thyroid, Katekolamin

4.      Golongan Polipeptida/Protein Insulin, Glukagon, GH, TSH (Rosenthal, 2009).


•     Berdasarkan sifat sinyal yang mengantarai kerja hormon di dalam sel : kelompok

      Hormon yang menggunakan kelompok second messenger senyawa cAMP, cGMP, Ca2+, Fosfoinositol, Lintasan Kinase sebagai mediator intraseluler (Indah, 2004).


1.   Hipotalamus
Hipotalamus berperan mensintesis dan mensekresikan hormon - hormon berikut:
1.      Gonadotropin releasing hormone (GnRH) yang berperan memacu sekresi Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH).
2.      Thyrotropin releasing hormone (TRH) yang berperan merangsang sekresi thyroid stimulating hormone (TSH).
3.      Corticotropin releasing hormone (CRH) yang berperan merangsang sekresi ACTH.
4.      Prolactin inhibiting factor (PIF) yang berperan menghambat sekresi prolaktin (Hanifah, 2006).

2.      Kelenjar Pituitaria (hipofise)
Terletak di dasar otak menggantung dengan hipotalamus, tepatnya di atas langit-langit mulut. Terdiri atas 3 bagian yaitu bagian depan (adenohipofise), tengah (intermedia), dan belakang (neurohipofise). Kelenjar pituitaria disebut juga master gland karena berperan mengatur aktifitas dan fungsi kelenjar endokrin lainnya (Heru,2009).

2.1  Pituitaria Anterior
Pituitaria anterior tersusun atas sel kelenjar yang secara histologist dapat dibedakan menjadi 3 tipe sel yaitu sel alfa, beta (basofil), dan kromopob. Fungsi pituitaria dikontrol oleh releasing dan inhibiting factor dari hipotalamus. Hormon-hormon yang dihasilkan oleh pituitaria anterior adalah:
1.      Somatotropin (STH), atau growth hormone (GH). Somatotropin berperan merangsang sintesis somatomedin oleh hati. Somatotropin memiliki reseptor pada semua jaringan tubuh. Somatotropin berperan memacu pertumbuhan semua organ tubuh sehingga dapat tumbuh secara proporsional. Kelebihan produksi somatotropin pada masa pertumbuhan (anak-anak), akan menimbulkan pertumbuhan yang melebihi normal yang (gigantisme). Apabila kelebihan produksi somatotropin terjadi pada saat telah dewasa, maka akan menyebabkan pertumbuhan menyamping dari tulang rangka yang disebut akromegali. Sebaliknya, kekurangan akan menyebabkan dwarf (Hanifah, 2006).
2.      Thyroid stimulating hormone (TSH), atau thyrotrophic hormone. TSH berperan merangsang pertumbuhan dan fungsi kelenjar tiroid (terletak di daerah leher) untuk mensekresikan hormone tiroksin. Sintesis dan sekresi TSH diatur oleh TRH (dahulu dikenal sebagai TSH-RF, thyroid stimulating hormone releasing factor) dari hipotalamus. Kadar tiroksin darah akan memberikan umpan-balik negatif ke pituitaria dan hipotalamus (Indah, 2004).
3.      Adrenocorticotrophic hormone (ACTH) berperan merangsang steroidogenesis di dalam kortek adrenal(Rosenthal, 2009).
4.      PRL (Prolaktin) berperan merangsang pertumbuhan kelenjar susu dan sintesis pogesteron oleh korpus luteum pada beberapa spesies hewan. Sekresi PRL dihambat oleh PIF (dahulu dikenal sebagai PRL-IF, Prolactin Inhibting Factor) yang dihasilkan oleh hipotalamus(Hanifah, 2006).
5.      Follicle Stimulating Hormone (FSH). Pada wanita, FSH berperan merangsang perkembangan follikel khususnya pada fase proliferasi yang ditandai dengan pertumbuhan follikel primer menjadi follikel Graaf, sintesis estrogen, dan pembentukan reseptor LH pada folikel ovarium. Pada laki-laki, FSH berperan merangsang testis untuk meningkatkan spermatogenesis. Sekresi FSH dirangsang oleh GnRH yang dihasilkan oleh hipotalamus(Rosenthal, 2009).
6.  LH. Pada wanita, LH berperan merangsang ovulasi, perkembangan (diferensiasi) sel granulosa menjadi sel luteal (koprus luteum), dan produksi progesteron. Pada laki-laki, LH berperan merangsang testis untuk mensintesis testosteron. Sekresi LH dirangsang oleh GnRH (dahulu dikenal sebagai LH-RF, Luteinizing Hormone-Releasing Factor) yang dihasilkan oleh hipotalamus (Indah, 2004).

2.2  Pituitaria posterior
            Pituitaria posterior tersusun atas jaringan syaraf (neuron) yang berasal dari kumpulan sel-sel syaraf yang berasal di sekitar hipotalamus. Hormon yang dihasilkan oleh sel-sel pituitaria posterior adalah ADH dan oksitosin (Rosenthal, 2009).

1.      ADH (antidiuretic hormone) atau vasopresin.
ADH merupakan hormon peptida yang tersusun atas 9 asam amino. ADH berfungsi mengatur reabsopsi air pada tubulus kolektivus ginjal, dan vasokontriksi (penyempitan) pembuluh darah oleh karena itu disebut juga vasopresin. Mekanisme ADH dalam meregulasi keseimbangan air tubuh adalah sbb.: Pada kondisi tubuh kekurangan air dan tidak segera diganti, maka akan mengakibatkan dehidrasi, hiperosmolalitas, dan hipovolemia yang akan dideteksi oleh sel-sel osmoreseptor dan baroreseptor yaitu sel sensoris yang berperan memonitor perubahan konsentrasi ion sodium atau volume air (tekanan osmotik) dalam darah. Sel-sel baroreseptor tersebut terletak dalam dinding sinus carotid berperan memberikan informasi ke tempat spesifik di otak (hipotalamus). Selanjutnya hipotalamus merangsang pembebasan hormon vasopresin dari kelenjar pituitaria posterior. ADH bekerja merangsang sel tubulus kolektivi ginjal untuk meningkatkan reabsorpsi air. Vasopresin juga menyebabkan kontriksi otot polos pembuluh darah sehingga mengakibatkan tekanan darah meningkat untuk kembali ke normal. Kelebihan ADH dapat menyebabkan hipertensi karena vasokontriksi pembuluh darah. Kekurangan ADH menyebabkan penyakit diabetes insipidus dengan gejala sebagai berikut: rasa haus berlebihan, banyak urin (encer), dan dehidrasi. Oksitosin memiliki peranan penting sebagai berikut:
1.      Kontraksi otot myometrium (uterus) pada saat partus (melahirkan).
2.      Memacu kontraksi otot myoepitel kelenjar susu sehingga menyebabkan keluarnya air susu (milk ejection) pada saat laktasi (Rosenthal, 2009).

2.3. Pituitaria Intermedia
            Melanocyte stimulating hormone (MSH) berperan merangsang pembentukan melanin di kulit (melanogenesis) oleh melanosit (Heru,2009).

Kelenjar Tiroid
            Kelenjar tiroid (terletak di daerah leher) berfungsi untuk mensintesis dan mensekresikan hormon tiroksin. Sintesis dan sekresi tiroksin diatur oleh TSH dari pituitaria anterior. Kadar tiroksin darah memberikan umpan-balik negatif (negatif feedback) ke pituitaria dan hipotalamus. Tiroksin adalah hormon yang tersusun atas asam amino yang mengandung 4 atom iod yang disebut tetraiodo tironin (T4) dan yang mengandung 3 atom iod disebut triiodo tironin (T3). Oleh karena itu, sintesis tiroksin memerlukan suplai iodium dalam diet. Apabila kekurangan iodium dalam diet, maka akan menyebabkan sintesis dan sekresi tiroksin terganggu sehingga kadar tiroksin rendah (hipotiroid). Pada kondisi hipotiroid ditandai dengan pembengkakan kelenjar tiroid yang disebut goiter (gondok). Oleh karena itu, penyakit ini sering disebut Goiter akibat kekurangan iodium (GAKI). Goiter terjadi karena hiperaktifitas kelenjar tiroid karena dipacu untuk memenuhi kebutuhan tiroksin dalam tubuh. Tiroksin berperan merangsang pertumbuhan, metabolisme pada semua sel khususnya untuk mengubah sumber energi menjadi energi dan panas dengan cara meningkatkan kecepatan metabolisme (metabolic rate) dan penggunaan oksigen (Scanlon, 2007).
Mekanisme regulasi keseimbangan temperatur tubuh oleh tiroksin adalah sebagai berikut. Pada kondisi suhu tubuh turun (dingin atau kehilangan panas) akan merangsang neuron hipotalamus membebaskan neurohormon yang bersifat meningkatkan aktifitas metabolik dan produksi panas tubuh. Sel syaraf hipotalamus membebaskan hormon yang merangsang pembebasan TSH dari pituitaria anterior ke dalam sirkulasi darah untuk merangsang kerja dan fungsi kelenjar tiroid untuk mensintesis dan mensekresikan hormon tiroksin (T4 atau T3) yang berperan merangsang metabolisme pada berbagai sel tubuh sehingga dihasilkan panas tubuh. Neurohormon yang dibebaskan oleh hipotalamus juga mengaktifkan sistem syaraf simpatis dan kelenjar adrenal sehingga dibebaskan epinefrin yang menyebabkan pembebasan glukosa dari hati sehingga setelah dimetabolisme akan menghasilkan panas tubuh. Epinefrin juga menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah perifer sehinga mencegah kehilangan panas lewat kulit. Mekanisme tersebutmerupakan contoh mekanisme sistem neuroendokrin (Heru,2009).

Ovarium
Ovarium berperan mensintesis dan mensekresikan hormon estrogen (E2) dan progesteron (P). Estrogen disintesis dan disekresikan oleh folikel ovarium. Estrogen bersifat sebagai endokrin, parakrin, atau autokrin. Estrogen berasal dari kolesterol. Estrogen ada 3 macam yaitu: 17ß-estradiol, estrone, dan estriol, yang paling banyak dijumpai adalah 17ß-estradiol. Estrogen berperan sebagai feedback positive yaitu memacu proliferasi sel granulosa, meningkatkan jumlah reseptor FSH pada sel granulosa, dan berperan sebagai feedback negative yaitu menurunkan sekresi FSH-RH dari hipotalamus dan FSH dari pituitaria, serta memelihara sifat kelamin sekunder. Progesteron disintesis dan disekresikan oleh korpus luteum dirangsang oleh LH pada siklus menstruasi normal, sedangkan pada saat ada kehamilan sintesis dan sekresi progesteron oleh korpus luteum juga dirangsang oleh chorionic gonadotropin (CG) yang dihasilkan plasenta. Fungsi utama hormon progesteron adalah mengatur panjang pendeknya siklus estrus, menyiapkan uterus untuk implantasi, pertumbuhan kelenjar susu, dan sifat keibuan. Disamping itu, korpus luteum juga menghasilkan hormon relaksin yang berperan melebarkan (relaksasi) simpisis pubis (tulang panggul) dan servik uteri. Aplikasi pemanfaatan hormon E2 dan P dalam kehidupan sehari-hari antara lain untuk: kontrasepsi oral pil (estrogen, atau kombinasi estrogen dan progestin), injeksi (estrogen), implan (progesteron) (Rosenthal, 2009).

Pankreas
Pulau Langerhans pankreas merupakan bagian pankreas yang bersifat sebagai kelenjar endokrin, sedangkan bagian asinar bersifat sebagai kelenjar eksokrin. Sel β (beta) pulau Langerhans pancreas berperan menghasilkan hormon insulin. Insulin merupakan factor hipoglikemik artinya sebagai faktor yang menyebabkan penurunan kadar glukosa darah. Pada kondisi glukosa darah meningkat (misalnya saat setelah makan yang lebih banyak mengandung unsure karbohidrat), maka akan merangsang sekresi insulin dan mencegah sekresi glukagon. Insulin bekerja meningkatkan afinitas molekul karier didalam membran sel dengan glukosa sehingga mempermudah dan mempercepat masuknya glukosa ke dalam sel. Setelah glukosa berada di dalam sitoplasma, selanjutnya jika tidak dimanfaatkan sebagai sumber energi, oleh insulin akan disintesis menjadi glikogen (cadangan glukosa) di dalam berbagai sel hati, otot, atau jaringan lain. Sel α (alfa) pulau Langerhans pancreas menghasilkan hormon glukagon (Scanlon, 2007).
Glukagon bekerja sebagai factor hiperglikemik artinya sebagai faktor yang menyebabkan meningkatnya kadar glukosa darah, karena glukagon berperan merangsang proses glikogenolisis dan glukoneogenesis. Glukagon bersifat lebih poten daripada epinefrin (adrenalin). Penurunan kadar glukosa darah dikenali oleh sel β pankreas berperan menghasilkan hormon glukagon. Hormon glukagon berperan merangsang pembebasan glukosa dari glikogen (terutama di sel hati) sehingga kadar gula darah kembali normal. Mekanisme pengaturan (kontrol) perilaku makan adalah sebagai berikut: kadar glukosa darah mempengaruhi glukostat yaitu pusat kenyang (satiety center). yang terdapat pada basal hipotalamus. Pusat ini menghambat hipotalamus lateral yang merupakan pusat makan (feeding center). Pada kondisi kadar glukosa darah rendah, pusat kenyang tidak lagi menghambat pusat makan sehingga memacu pusat tersebut dan timbul keinginan untuk makan (nafsu makan) (Scanlon, 2007).
Akibat dari pengambilan makanan, maka kadar glukosa darah meningkat dan kembali normal. Kelainan gangguan sintesis dan sekresi insulin menyebabkan penyakit diabetes mellitus (DM) atau kencing manis. Pada penderita DM ditandai dengan gejala meningkatnya kadar glukosa darah. Gejala lain yang mengikuti antara lain terdapat glukosa dalam urin (glukosuria), rasa haus dan banyak minum (polidipsia), lapar dan banyak makan (polifagia), volume air kencing meningkat (poliuria), luka sukar sembuh, dan impotensi (Heru,2009).

  IV.            ALAT DAN BAHAN
·        Alat
1.   Infocus
2.   Laptop
·        Bahan
1.   Program pyscioex


     V.            PROSEDUR

Percobaan I : Pengukuran Standar Laju Metabolit
            Tikus normal di klik dan di drag ke dalam chamber dan dilepaskan tombol mouse. Katup pada sisi kiri tabung dipastikan terbuka agar udara dapat masuk, bila tertutup katup klik untuk membukanya. Indicator pada T-connector dipastikan terbaca “chamber and manometer connected”, bila tidak, klik untuk membukanya. Tombol weight  di klik, dicatat pada baseline di chart 1 untuk berat. Tombol (+) di klik pada timer sehingga terbaca 1.00. katup di klik untuk menutupnya, sehingga udara dari luar tidak masuk, dipastikan hanya oksigen dari system tertutup ini yang dihirup oleh tikus. Tombol start pada layer timer di klik, diperhatikan ketinggian air pada tabung U-shaped. Timer akan berhenti otomatis setelah satu menit, kemudian tombol T-connector di klik, maka akan terbaca “manometer and syringe connected”. Katup di klik untuk membuka sehingga tikus dapat menghirup udara luar. Dilihat perbedaan antara tinggi kiri dan kanan tabung U dan perkirakan volume oksigen yang perlu disuntikkan. Tombol (+) dibawah O2 di klik sampai layar memberikan nilai. Kemudian tombol inject di klik sampai volume pada kedua sisi sama (akan ada kata “level berkedip dan menghilang). Bila terlalu tinggi, dapat diulang dengan menekan tombol reset. Dicatat pengukuran ini pada bagian baseline di grafik 1, untuk pemakaian O2 selama 1 menit.
Di klik record data. Tikus dari chamber di klik dan di drag kembali ke kandangnya. Tombol reset di klik pada kotak apparatus. Langkah di atas diulangi untuk tikus tiroidektomi (Tx) dan hipofisektomi (Hypox). Data direkam pada bagian baseline grafik 1.

Percobaan II : Pengukuran Pengaruh Tiroksin pada Laju Metabolik
            Pada data set dipilih tikus yang akan diuji (normal, Tx, atau Hypox). Tombol reset di klik pada kotak apparatus. Alat suntik thyroxine pada tikus di klik dan di drag lalu dilepaskan tombol mouse untuk menginjeksi hewan tersebut. Tikus di drag kembali ke dalam chamber. Diulangi langkah awal sampai perhitungan laju metabolic pada percobaan I, tetapi data direkam pada bagian with thyroxine grafik 1. Di klik record data. Tikus di klik dan di drag kembali ke dalam kandangnya, dan di klik clean untuk menghilangkan semua efek dari tiroksin. Langkah di atas diulangi pada tikus berikutnya. Data direkam pada bagian with thyroxine grafik 1 pada kolom sesuai tikus yang diuji.


Percobaan III : Pengaruh Pengukuran TSH pada Laju Metabolik
            Pada data set dipilih tikus yang akan diuji (normal, Tx, atau Hypox). Tombol reset di klik pada kotak apparatus. Alat suntik TSH pada tikus di klik dan di drag lalu dilepaskan tombol mouse untuk menginjeksi hewan tersebut. Tikus di drag kembali ke dalam chamber. Diulangi langkah awal sampai perhitungan laju metabolic pada percobaan I, tetapi data direkam pada bagian with TSH grafik 1. Di klik record data. Tikus di klik dan di drag kembali ke dalam kandangnya, dan di klik clean untuk menghilangkan semua efek dari TSH. Langkah di atas diulangi pada tikus berikutnya. Data direkam pada bagian with TSH grafik 1 pada kolom sesuai tikus yang diuji.

Percobaan IV : Pengaruh Pengukuran Propylthiouracil pada Laju Metabolik
            Pada data set dipilih tikus yang akan diuji (normal, Tx, atau Hypox). Tombol reset di klik pada kotak apparatus. Alat suntik propylthiouracil pada tikus di klik dan di drag lalu dilepaskan tombol mouse untuk menginjeksi hewan tersebut. Tikus di drag kembali ke dalam chamber. Diulangi langkah awal sampai perhitungan laju metabolic pada percobaan I, tetapi data direkam pada bagian with propylthiouracil grafik 1. Di klik record data. Tikus di klik dan di drag kembali ke dalam kandangnya, dan di klik clean untuk menghilangkan semua efek dari propylthiouracil. Langkah di atas diulangi pada tikus berikutnya. Data direkam pada bagian with propylthiouracil grafik 1 pada kolom sesuai tikus yang diuji.

Percobaan V : Terapi Pengganti Hormon
            Alat suntik di klik, lalu di drag pada botol saline dan dilepaskan tombol mouse hingga alat suntik terisi secra otomatis 1 mL salin. Alat suntik di drag pada tikus control, diletakkan ujung jarum pada daerah bagian bawah abdominal (intraperitonial) dan dilepaskan tombol mouse untuk menginjeksi hewan tersebut dan alat suntik otomatis kembali pada tempatnya. Tombol clean di klik untuk membersihkan alat suntik dari residu obat. Alat suntik di klik lagi lalu di drag ke botol estrogen dan dipeaskan tombol mouse, alat suntik otomatis terisi 1 mL estrogen. Alat suntik di drag pada tikus eksperimen, ujung jarum diletakkan pada daerah bagian bawah abdominal (intraperitonial) dan dilepaskan tombol mouse untuk menginjeksi hewan tersebut dan alat suntik otomatis kembali pada tempatnya. Di klik clean untuk membersihkan alat suntik dari residu obat. Di klik clock di atas layar elapsed days, akan terlihat jam berputar 24 jam. Langkah di atas diulangi sampai semua tikus mndapat 7 kali suntikan selama 7 hari (1 suntikan/hari). tikus control mendapat 7 kali suntikkan salin dan tikus eksperimen mendapat 7 kali suntikkan estrogen. Kemudian kotak kertas timbang di klik, kertas timbang yang muncul di klik dan di drag ke atas timbangan, kemudian dilepaskan tombol mouse. Skala timbangan memberikan nilai berat kertas timbang, lalu klik tombol tare untuk menara timbangan (0,00 g). Uterus siap dihilangkan. Pada percobaan biasa perlu dilakukan pembedahan, tetapi di sini dilakukan dengan mengklik tombol remove uterus pada kandang, tikus akan hilang dan uterus akan tampak di setiap kandang. Uterus dari tikus kontrol di klik dan di drag ke atas timbangan dan dilepaskan tombol mouse. Tombol weigh diklik untuk menimbangnya. Beratnya dicatat. Berat uterus (control) yaitu 0,1083 gram.  Kemudian di klik record data. Lalu, di klik clean pada timbangan untuk membuang kertas timbang dan uterus. Kemudian kotak kertas timbang di klik, kertas timbang yang muncul di klik dan di drag ke atas timbangan, kemudian dilepaskan tombol mouse. Skala timbangan memberikan nilai berat kertas timbang, lalu klik tombol tare untuk menara timbangan (0,00 g). Lalu uterus dari tikus eksperimen di klik dan di drag ke atas timbangan dan dilepaskan tombol mouse. Tombol weigh di klik untuk mnimbangnya. Beratnya dicatat. Berat uterus (eksperimen) : 0,6673 gram. Di klik record data. Lalu di klik clean pada timbangan untuk membuang kertas timbang dan uterus.


  VI.            DATA PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN
I.        Pengukuran Standar Laju Metabolisme
Tikus
Weight
Elapsed Time
Oxygen (ml)
Injected
Normal
249,3
1,00
7,1
-
Tx
244,5
1,00
6,3
-
Hypox
244,0
1,00
6,3
-

» Pemakaian O2 per jam :
   Normal          =         
   Tx                 =         
   Hypox          =          
» Laju Metabolisme
   Normal          =         
   Tx                 =         
   Hypox           =         

II.        Pengaruh Pengukuran Tiroksin pada Laju Metabolik
Tikus
Weight
Elapsed Time
Oxygen (ml)
Injected
Normal
250
1,00
7,6
Tyrosine
Tx
245,1
1,00
7,1
Tyrosine
Hypox
245,4
1,00
7,1
Tyrosine

» Pemakaian O2 per jam :
   Normal          =         
   Tx                 =         
   Hypox           =         
» Laju Metabolisme
   Normal          =         
   Tx                 =         
   Hypox           =         

III.  Pengukuran pengaruh TSH pada Laju Metabolik
Tikus
Weight
Elapsed Time
ml Oxygen
Injected
Normal
250
1 menit
7,6
TSH
Tx
244
2 menit
6,3
Hypox
244,7
3 menit
7,1

1.      Normal
·        Pemakaian O2 tiap jam = 456 ml O2 / jam.
·        Laju Metabolisme = 1824 ml O2/kg/jam
2.      Tx
·        Pemakaian O2 tiap jam = 378 ml O2 / jam.
·        Laju Metabolisme = l549,18 ml O2/kg/jam
3.      Hypox
·        Pemakaian O2 tiap jam = 426 ml O2 / jam.
·        Laju Metabolisme =  1740,90 ml O2/kg/jam

1.         Pengukuran pengaruh Propylthiouracil pada laju metabolik
Tikus
Weight
Elapsed Time
ml Oxygen
Injected
Normal
249,7
1 menit
6,3
Propylthiouracil
Tx
245,6
1 menit
4,9
Hypox
245,0
1 menit
6,3

1.      Normal
·        Pemakaian O2 tiap jam =  378 ml O2 / jam.
·        Laju Metabolisme =  1513,8166 ml O2/kg/jam
2.      Tx
·        Pemakaian O2 tiap jam =  294 ml O2 / jam.
·        Laju Metabolisme =  1197,068404 O2/kg/jam
3.      Hypox
·        Pemakaian O2 tiap jam =  378 ml O2 / jam.
·        Laju Metabolisme =  1513,8166 ml O2/kg/jam


2.         Terapi Pengganti Hormon
Tikus
Elapsed days
Injeksi Saline
Injeksi Estrogen
Weight
Kontrol
7
7
0
0,1083
Eksperimen
7
0
7
0,6673


VII.            PEMBAHASAN
 Dalam percobaan ini dilakukan percobaan yang bertujuan untuk mengetahui secara lebih baik mengenai hormon dan terapi pengganti hormon secara komputerisasi. Hormon adalah zat kimia yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin atau kelenjar buntu. Kelenjar ini merupakan kelenjar yang tidak mempunyai saluran sehingga sekresinya akan masuk aliran darah dan mengikuti peredaran darah ke seluruh tubuh. Hormon diedarkan oleh darah menuju ke jaringan/ organ sasaran yang dipengaruhinya. Jaringan sasaran akan memberikan reaksi, sedangkan jaringan bukan sasaran tidak memberikan reaksi. Mekanisme kerja hormon  yaitu pengaktifan sistem adenilatsiklase dan induksi biosintesis enzim dan protein lain.
Percobaan terapi hormon menggunakan parameter laju metabolisme. Oleh karena itu hormon yang berhubungan dengan percobaan ini adalah hormon tiroid dan TSH, hewan yang diujikan ada tiga kelompok, kelompok kontrol, kelompok dengan tiroidektomi, dan kelompok hipofisektomi.
Kelompok kontrol adalah kelompok hewan percobaan yang kondisinya normal, kelompok ini berfungsi untuk mengetahui laju metabolik tikus normal. Kelompok tiroidektomi adalah kelompok tikus yang telah kehilangan kelenjar tiroidnya sehingga di dalam tubuhnya tidak dihasilkan hormon tiroksin, sedangkan kelompok hipofisektomi adalah kelompok tikus yang telah kehilangan kelenjar hipofisisnya sehingga tidak menghasilkan hormon TSH.
 Jumlah penggunaan oksigen tiap jam dianalogikan sebagai laju metabolisme. Penggunaan oksigen ini mencerminkan laju metabolisme karena proses metabolisme hewan percobaan mutlak memerlukan oksigen sehingga laju metabolisme dapat dianaolgikan dengan penggunaan oksigen per jam. Percobaan ini menggunakan metode dry lab dengan menggunakan software PhysioEx dengan hewan percobaan tikus.
Sebelum melakukan percobaan terapi hormon, terlebih dahulu dibuat standar laju metabolisme. Standar laju ini dibuat untuk mengetahui laju metabolisme ketiga kelompok tikus pada kondisi normal yaitu dengan mengukur penggunaan oksigen selama satu menit lalu dengan perhitungan ditentukan laju metabolisme berupa penggunaan oksigen perjam per kilogram berat badan tikus. Tikus ditempatkan pada suatu chamber tertutup yang terhubung pada alat pengukur tekanan selama satu menit, kemudian chamber tersebut diisi kembali dengan udara dari luar dengan volume yang diketahui hingga tekanan udara kembali seperti semula. Volume tersebut yang selanjutnya dimasukkan ke dalam perhitungan untuk menentukan laju metabolisme.
 Laju metabolisme pada kategori standar laju selanjutnya digunakan sebagai pembanding untuk terapi hormon yang diterapkan pada masing-masing kelompok hewan percobaan. Perbedaan nilai laju metabolisme yang signifikan baik itu meningkat atau menurun menunjukkan adanya pengaruh dari perlakuan terapi hormon dan pengganti hormon pada hewan percobaan.
Percobaan pertama yang dilakukan adalah pengukuran standar laju metabolisme. Percobaan dilakukan terhadap tikus normal, tiroidektomi, dan hipofisektomi dengan mengukur banyaknya oksigen. Dari hasil percobaan, tikus yang mengambil asupan oksigen paling banyak adalah tikus normal (7,1 ml oksigen). Hal ini dikarenakan pada tikus normal dihasilkan hormon tiroksin. Hormon tiroksin meninggikan konsumsi oksigen hampir pada semua jaringan aktif dalam proses metabolisme kecuali  pada otak, hipofisis anterior, limfa, dan kelenjar limfa. Pada tikus hipofisektomi dan tiroidektomi, pengambilan oksigen dari luar lebih sedikit (6,3 ml oksigen) karena pada tikus hipofisektomi dihilangkan kelenjar hipofisis yang merupakan penghasil hormon TSH (Tyroidea Stimulating Hormone) yang akan menstimulasi kelenjar tiroid menghasilkan tiroksin, dan pada tikus tiroidektomi dihilangkan kelenjar tiroid yang merupakan penghasil tiroksin sehingga pada kedua tikus hormon tiroksin tidak dihasilkan. Laju metabolisme pada tikus normal sebesar 1075 ml O2/Kg/jam, pada tikus tiroidektomi sebesar 1541 ml O2/Kg/jam, dan pada tikus hipofisektomi sebesar 1540 ml O2/Kg/jam.
Pada percobaan kedua dilakukan pengukuran pengaruh hormon tiroksin pada laju metabolik. Percobaan ini dilakukan pada tikus normal, tiroidektomi, dan hipofisektomi dengan memberikan hormon tiroksin. Dari hasil percobaan, tikus yang memiliki laju metabolisme paling cepat adalah tikus normal. Hal ini dikarenakan pada tikus normal dihasilkan hormon tiroksin juga dari dalam tubuhnya sehingga kadar  tiroksin lebih tinggi, maka  terjadi peningkatan laju metabolisme. Tikus yang paling lambat laju metabolismenya adalah tikus hipofisektomi. Hal ini dikarenakan kelenjar  hipofisis pada tikus dihilangkan. Kelenjar hipofisis merupakan kelenjar penghasil TSH yang akan merangsang kelenjar tiroid untuk menghasilkan tiroksin. Adanya penghilangan kelenjar hipofisis mengakibatkan tidak dihasilkannya tiroksin. Oleh sebab itu, kadar tiroksin dalam tubuh lebih rendah dari tikus normal sehingga laju metabolismenya lambat. Begitu pula pada tikus tiroidektomi (kelenjar tiroid dihilangkan). Karena kelenjar tiroid yang merupakan penghasil tiroksin dihilangkan, maka pengambilan oksigen dari lingkungan berkurang sehingga laju metabolismenya dibawah normal. Laju metabolisme pada tikus normal sebesar 1830 ml O2/Kg/jam, pada tikus tiroidektomi sebesar 1760 ml O2/Kg/jam, dan pada tikus hipofisektomi sebesar 1733 ml O2/Kg/jam.
Pada percobaan ketiga dilakukan pengukuran pengaruh TSH pada laju metabolik. Tyroidea Stimulating Hormone merupakan hormon peptide yang berbentuk glikoprotein. Hormon ini terdiri atas sub unit α dan β yang identik dan tidak terikat secara kovalen. Sub unit β ini spesifik untuk setiap hormon. Hormon ini menstimulasi pertumbuhan, produksi hormon, dan pembebasan hormon dari kelenjar tiroid, merangsang pengambilan iodide dari darah ke dalam kelenjar tiroid, menaikkan kemampuan memekatkan ion iodide dari kelenjar tiroid, mempercepat oksidasi iodida menjadi iodium dan perubahan dari diiodtirosin menjadi triiodtironin dan tiroksin, dan meningkatkan aktivitas enzim proteolitik yang membebaskan tiroksin dan juga triiodtrionin. Pembebasan hormon ini  diatur menurut konsentrasi hormon tiroid dalam darah. Pada kadar hormon tiroid tinggi maka pembebasan TSH diperlambat, sedangkan pada konsentrasi hormon tiroid rendah maka pembebasan TSH diperbesar. Dari hasil percobaan didapat pada tikus normal laju metabolisme nya meningkat setelah diberikan TSH karena TSH merangsang kelenjar tiroid menghasilkan tiroksin yang berfungsi  meningkatkan taraf metabolisme. Begitu pula pada tikus hipofisektomi , laju metabolisme nya meningat karena tiroksin masih dapat dihasilkan meskipun kelenjar hipofisis telah dihilangkan karena adanya pemberian TSH dari luar. Sedangkan pada tikus tiroidektomi, pemberian TSH tidak mempengaruhi laju metabolisme karena  kelenjar tiroid nya sudah dihilangkan sehingga tidak dihasilkan tiroksin.

VIII.            KESIMPULAN
1.   Hormon tiroksin dan TSH dapat meningkatkan laju metabolic pada hewan percobaan. Sedangkan obat propylthiourasil dapat menurunkan laju metabolic karena menghambat tiroksin. Selain itu, hormon estrogen dapat meningkatkan berat uterus.
2.       Teknik komputerisasi dapat digunakan untuk mengevaluasi hormone tiroksin, TSH, dan estrogen serta obat propylthiourasil terhadap laju metabolic hewan percobaan.





DAFTAR PUSTAKA

Hanifah, S. 2006. Diktat Farmakoterapi Endoktrin & Hormon. FMIPA UII. UII
Heru, 2009. Regulasi Hormon. Tersedia di http://crayonpedia.org/bse/split/ Kelas_X_SMK_ilmukesehatan_heru-n/Bab_8.pdf. [Diakses Tanggal 27 Mei 2012].
Indah, M. 2004. Hormon. Tersedia di http://www.scribd.com/document_ downloads/direct/29855212?extension=pdf&ft=1274519320&lt=1274522930&uahk=MXv/uDJ+kwRoCrXbT5YRdGUCVuY. [Diakses Tanggal 27 Mei 2012].
Praweda, 2000. Hormon. Tersedia di http://kambing.ui.ac.id/bebas/v12/sponsor/ Sponsor-Pendamping/Praweda/Biologi/0092%20Bio%202-11a.htm. [Diakses Tanggal 27 Mei 2012].
Rosenthal, S. 2009. Revolusi Terapi Hormon. Bentang Pustaka . Jakarta.
Scanlon, V. 2007. Buku Ajar Anatomi dan Fisiologi Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.