More Text

Unordered List

Unordered List

BTricks

BThemes

Powered by Blogger.

Blog Archive

Archives

Wednesday, July 10, 2013

Laporan Praktikum Pengujian Efek Antikolinergik - Farmakologi


Laporan Praktikum Pengujian Efek Antikolinergik



BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Sistem saraf otonom bekerja menghantarkan rangsang dari SSP ke otot polos, otot jantung dan kelenjar. Sistem saraf otonom merupakan saraf eferen (motorik), dan merupakan bagian dari saraf perifer. Sistem saraf otonom ini dibagi dalam 2 bagian, yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Pada umumnya jika fungsi salah satu sistem dirangsang maka sistem yang lain akan dihambat.
Sistem saraf otonom tersusun atas saraf praganglion, ganglion dan saraf postganglion. Impuls saraf diteruskan dengan bantuan neurotransmitter, yang dikeluarkan oleh saraf praganglion maupun saraf postganglion.
                  Beberapa perbedaan antara saraf simpatis dan parasimpatis adalah sbb:
SARAF SIMPATIS
SARAF PRASIMPATIS
1.      Letak badan sel praganglion
Torax 1-12
Lumbal 1-3
(thoracolumbal)
Saraf cranial III, VII, IX,X
Sakral 2,3,4
(crabiosakral)
2.      Posisi ganglion
Jauh dari efektor
(praganglion pendek)
Dekat efektor
(praganglion panjang)
3.      Reseptor
α dan β
Nikotinik dan muskarinik
4.      Neurotransmitter
-          Praganglion
-          Post ganglion

Asetilkolin
Norsepineprin

Asetilkolin
Asetilkolin

Sistem saraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem saraf vegetatif, sistem saraf keseimbangan visceral atau sistem saraf sadar, sistem mengendalikan dan mengatur keseimbangan fungsi-fungsi intern tubuh yang berada di luar pengaruh kesadaran dan kemauan. Sistem ini terdiri atas serabut-serabut saraf-saraf ganglion-ganglion dan jaringan saraf yang mendarafi jantung, pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, alat-alat dalaman dan otot-otot polos.
Untuk selanjutnya, obat-obat yang berhubungan dengan kerja asetilkolin disebut kolinergik, dan obat-obat yang berhubungan dengan kerja norepineprin disebut adrenergik.
Penggolongan obat-obat yang bekerja pada sistem saraf otonom
1.      Kolinergik
a.       Agonis kolinergik, contohnya pilokarpin
b.      Antagonis kolinergik, contohnyaatropine
2.      Adrenergik
a.       Agonis adrenergik, contohnya amfetamin
b.      Antagonis adrenergik, contohnya fenoksibenzamin

I.2 Tujuan Percobaan
            Setelah menyelesaikan percobaan ini diharapkan mahasiswa :
Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem saraf otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh
Mengenal suatu teknik mengevaluasi obat antikolinergik pada neurofraktor parasimpatikus.

I.3 Prinsip Percobaan
Pemberian zat kolinergik pada hewan percobaan menyebabkan salivasi dan hipersalivasi yang dapat diinhibisi oleh zat antikolinergik.


Persen inhibisi
             % Inhibisi =  diameter kontrol - diameter uji x 100 %
                                                diameter kontrol




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Sistem saraf otonom merupakan bagian sistem syaraf yang mengatur fungsi visceral tubuh. Sistem ini mengatur tekanan arteri, motilitas dan sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, berkeringat, suhu tubuh dan aktivitas lain. Karakteristik utama SSO adalah kemampuan memengaruhi yang sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saj denyut jantung dapat meningkat hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik, berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga pengosongan kandung kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat untuk melakukan pengendalian terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadap homeostasis dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan demikian, SSO merupakan komponen dari refleks visceral (Guyton, 2006).
Perjalanan SSO dimulai dari persarafan sistem saraf pusat (selanjutnya disebut SSP). Neuron orde pertama berada di SSP, baik di sisi lateral medulla spinalis maupun di batang otak. Akson neuron orde pertama ini disebut dengan serabut preganglion (preganglionic fiber). Serabut ini bersinaps dengan badan sel neuron orde kedua yang terletak di dalam ganglion. Serabut pascaganglion menangkap sinyal dari serabut preganglion melalui neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut preganglion. Seperti yang telah diketahui, ganglion merupakan kumpulan badan sel yang terletak di luar SSP. Akson neuron orde kedua, yang disebut dengan serabut pascaganglion (postganglionic fiber) muncul dari ganglion menuju organ yang akan diinervasi. Organ efektor menerima impuls melalui pelepasan neurotransmiter oleh serabut pascaganglion. Kecuali untuk medulla adrenal, baik sistem saraf simpatis dan parasimpatis mengikuti pola seperti yang telah dijelaskan di atas (Regar, 2010).
Didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom  adalah obat yang bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja pada dosis kecil. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik (Pearce, 2002).
Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada sistem saraf otonom digolongkan menjadi : 
1.      Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai berikut:         ·     
a.       Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan dari saraf simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan lain-lain. 
b.      Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf parasimpatik ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida sekale, propanolol, dan lain-lain. 
2.      Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai berikut
a.       Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari saraf parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan phisostigmin
b.      Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatik ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida belladonna (atropine)

Obat adrenergik merupakan obat yang memiliki  efek yang ditimbulkankannya mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor epinefrin (yang disebut adrenalin) dari susunan sistem saraf sistematis.
  Kerja obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis yaitu :
1.      Perangsang perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, dan terhadap kelenjar liur dan keringat.
2.      Penghambatan perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot rangka.
3.      Perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi.
4.      Perangsangan SSP, misalnya perangsangan pernapasan, penungkatan kewaspadaan, aktivitas psikomotor, dan pengurangan nafsu makan.
5.      Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot, lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak
6.       Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, renin dan hormone hipofisis.
7.      Efek  prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan neurotransmitter NE dan Ach.
b.   Kerja obat adrenergik dibagi 2 yaitu :
1.      Obat adrenergik kerja langsung
Kebanyakan obat adrenergik bekerja secara langsung pada reseptor adrenergic di membran sel efektor, tetapi berbagai obat adrenergik tersebut berbeda dalam kapasitasnya untuk mengaktifkan berbagai jenis reseptor adrenergic. Misalnya, isoproterenol praktis hanya bekerja pada reseptor β dan sedikit sekali pengaruhnya pada reseptor α sebaliknya, fenilefrin praktis hanya menunjukan pada reseptor α. Jadi suatu obat adrenergic dapat diduga bila diketahui reseptor mana yang terutama dipengaruhi oleh obat.
2.      Obat adrenergik kerja tidak langsung
Banyak obat adrenergik, misalnya amfetamin dan efedrin bekerja secara tidak lansung artinya menimbulkan efek adrenergik melalui pelepasan NE yang tersimpan dalam ujung saraf adrenergic. Pemberian obat-obat ini secara terus menerus dalam waktu singkat singkat akan menimbulkan takifilaksis.
c.    Epinefrin
Pada umunya pemberian Epi menimbulkan efek mirip stimulasi saraf adrenergik.
a.       Efek yang paling menonjol pada epinefrin
1.      Kardiovaskular (pembuluh darah)
Efek vaskular Epi terutama pada arteriol kecil dan sfingter prekapiler, tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh darah kulit, mukosa dan ginjal mengalami konstriksi akibat aktivasi reseptor α oleh Epi. Pada manusia pemberian Epi dalam dosis terapi menimbulkan kenaikan tekanan darah tidak menyebabkan konstriksi arteriol otak, tetapi menimbulkan peningkatan aliran darah otak.
2.      Arteri koroner
Epi meningkatkan aliran darah koroner tetapi Epi juga dapat menurunkan aliran darah kroner karena kompresi akibat peningkatan kontraksi otot jantung dan karena vasokonstriksi pembulu darah koroner akibat efek reseptor α.
3.      Jantung
Epi mengaktivasi reseptor β1 di otot jantung, sel pacu jantung dan jaringan konduksi. Epi mempercepat konduksi sepanjang jaringan konduksi mulai dari atrium ke nodus atrioventrikular (AV), sepanjangbundle of His dan serat purkinje sampai ke  ventrikel. Epi memperkuat kontraksi dan mempercepat relaksasi serta memperpendek waktu sistolik tanpa mengurangi waktu diastolik.
4.      Tekanan darah
Pemberian Epi pada manusia secara SK atau secara IV dengan lambat menyebabkan kenaikan tekanan sistolik yang sedang dan penurunan diastolik. Tekanan nadi bertambah besar, tetapi tekanan darah rata-rata (mean arterial pressure) jarang sekali menunjukkan kenaikan yang besar.
5.      Otot polos
Efek Epi pada otot polos berbagai organ bergantung pada jenis reseptor adrenergik pada otot polos yang bersangkutan.
b.      Intoksikasi, efek samping dan kontraindikasi
      Pemberian Epi dapat menimbulkan gejala seperti takut, khawatir, gelisah, tegang, nyeri kepala berdenyut, tremor, rasa lemah, pusing, pucat, sukar bernapas dan palpitasi. Gejala-gejala ini mereda dengan cepat setelah istirahat. Dosis Epi yang besar atau penyuntika IV cepat yang tidak disengaja dapat menimbulkan perdarahan otak karena kenaikan tekanan darah yang hebat. Bahkan penyuntikan SK 0,5 ml larutan 1 : 1000 dapat menimbulkan perdarahan subaraknoid dan hemiplegia, untuk mengatasinya, dapat dibrikan vasodilator yang kerjanya cepat, misalnya nitrit atau natrium nitroprusid, α-bloker mungkin juga berguna.
      Epi dikontraindikasikan pada penderita yang mendapat α-bloker nonselektif, karena kerjanya yang tidak terimbangi pada eseptor α pembuluh darah dapat menyebabkan hipertensi yang berat dan perdarahan otak.
c.       Penggunaan klinis
Manfaat Epi dalam klinis digunakan untuk menghilangkan sesak napas akibat bronkokonstriksi, untuk mengatasi reaksi hipersensitivitas terhadap obat maupun allergen lainnya, dan untuk memperpanjang masa kerja anestetik lokal. Epi dapat juga digunakan untuk merangsang jantung pada waktu henti jantung oleh berbagai sebab. Secara lokal obat ini digunakan untuk menghentikan perdarahan kapiler.
d.      Posologi dan sediaan
Suntikan epinefrin adalah larutan steril 1 : 1000 Epi HCL dalam air untuk penyuntikan SK, ini digunakan untuk mengatasi syok anafilaktik dan reaksi-reaksi hipersensitivitas akut lainnya. Dosis dewasa berkisar antara 0,2-0,5 mg (0,2-0,5 ml larutan 1 : 1.000). untuk penyuntikan IV, yang jarang dilakukan, larutan ini harus diencerkan lagi dan harus disuntikkan dengan sangat perlahan-lahan. Dosisnya jarang sampai 0,25 mg, kecuali pada henti jantung, dosis 0,5 mg dapat diberikan tiap 5 menit. Penyuntikan intrakardial  kadang-kadang dilakukan untuk resusitasi dalam keadaan darurat (0,3-0,5 mg).
Inhalasi epinefrin adalah larutan tidak steril 1% Epi HCL atau 2% Epi bitartrat dalam air untuk inhalasi oral (bukan nasal) yang digunakan untuk menghilangkan bronkokonstriksi.
Epinefrin tetes mata adalah larutan 0,1-2% Epi HCL 0,5-2% Epi borat dan 2% Epi bitartrat.
d.   Norepinefrin
Obat ini dikenal sebagai levarterenol, I-arterenol atau I-noradrenalin dan kmerupakan neurotransmitor yang dilepas oleh serat pasca ganglion adrenergik. NE bekerja terutama pada reseptor α, tetapi efeknya masih sedikit lebih lemah bila dibandingkan dengan Epi. NE mempunyai efek β1pada jantung yang sebanding dengan Epi, tetapi efek β2nya jauh lebih lemah daripada Epi. Infus NE pada manusia menimbulkan peningkatan tekanan diastolik, tekanan sistolik dan biasanya juga tekanan nadi. Intoksikasi, efek samping dan kontraindikasi, Efek samping NE yang paling umum berupa rasa kuatir, sukar bernapas, denyut jantung yang lambat tetapi kuat dan nyeri kepala selintas. Dosis berlebihan atau dosis biasa pada penderita yang hiper-reaktif (misalnya penderita hipertiroid) menyebabkan hipertensi berat dengan nyeri kepala yang hebat, fotofobia, nyeri dada, pucat, berkeringat banyak dan muntah. Obat ini merupakan kontraindikasi pada anesthesia dengan obat-obat yang menyebabkan sensitisasi jantung karena dapat timbul aritmia. Ne digunakan untuk pengobatan syok kardiogenik
e.    Isoproterenol
Obat ini merupakan amin simpatomimetik yang kerjanya paling kuat pada semua reseptor β dan hampir tidak bekerja pada reptor α. Infus isoproterenol pada manusia menurunkan resistensi perifer, terutama pada otot rangka, ginjal dan ,esenterium sehingga tekanan diatolik menurun.
·        Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama susunan parasimpatis adalah mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron susunan parasimpatis dirangsang, timbullah sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga sekresi air mata, memperkuat sirkulasi,antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah,memperlambat pernafasan, antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter denganefek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka, menekanSSP setelah pada permulaan menstimulasinya, dan lain-lain. (Tan dan Rahardja, 2002). Salah satu kolinergika yang sering digunakan dalam pengobatatan adalah Pilokarpin yang juga merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar keringat, air mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian.Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang dapat menurunkan tekanan bolamata baik glaukoma bersudut sempit maupun bersudut lebar.
·        Antikolinergik adalah ester dari asam aromatik dikombinasikan dengan basa organik. Ikatan ester adalah esensial dalam ikatan yang efektif antara antikolinergik dengan reseptor asetilkolin. Obat ini berikatan secara blokade kompetitif dengan asetilkolin dan mencegah aktivasi reseptor. Efek selular dari asetilkolin yang diperantarai melalui second messenger seperti cyclic guanosine monophosphate (cGMP) dicegah. Reseptor jaringan bervariasi sensitivitasnya terhadap blokade. Faktanya : reseptor muskarinik tidak homogen dan subgrup reseptor telah dapat diidentifikasikan : reseptor neuronal (M1),cardiak (M2) dan kelenjar (M3)  (Yeni, 2011).
Obat kolinergik dibagi dalam 3 golongan :
1.      Ester kolin
Dalam golongan ini termasuk asetilkolin, metakolin, karbokol, betanekol. Asetilkolin (Ach) adalah prototip dari oabat golongan ester kolin. Asetilkolin hanya bermanfaat dalam penelitian tidak berguna secara klinis karena efeknya menyebar ke berbagai organ  sehingga titik tangapnya terlalu luas dan terlalu singkat. Selain itu Ach tidak dapat diberikan per oral, karena dihidrolisis oleh asam lambung.
a.       Farmakodinamik
Secara umum farmakodinamik dari Ach dibagi dalam dua golongan, yaitu terhadap :
1.      Kelenjar eksoskrin dan otot polos, yanh disebut efek muskarinik
2.      Ganglion (simpatis dan parasimpatis) dan otot rangka, yang disebutefek nikotik.
Pembagian efek Ach ini berdasarkan obat yang dapat mengahambatnya, yaitu atropin mengahambat khusus efek muskarinik, dan nikotin dalam dosis besar mengahambat efek nikotinik asetilkolin terhadap ganglion. Bila asetilkolin diberikan intravena, maka efeknya terhadap pembuluh darah merupakan resultante dari beberapa efek tunggal :
1.      Ach bekerja langsung pada reseptor kolinergik pembuluh darah dan melaui pengelepasan EDRF (endhotelium derived relaxing factory) menyebabkan fasodilatasi.
2.      Ach bekerja pada ganglion simpatis dengan akibat pelepasan NE pada akhir postsinaptik pembuluh darahdan menyebabkan vasokonstriksi. Saraf parasimpatis hamper tidak mempunayi pengaruh terhadap pembuluh darah melaluiganglion parasimpatis kecuali pada alat kelamin.
3.      Ach bekerja merangsang sel medulla anak ginjal yang melepaskan katekolamin dan menyebabkan vasokonstriksi
4.      Ach dapat merangsang reseptor muskarinik parasinaps saraf adrenergic dan mengurangi peepasan NE.
Resultante dari keempat efek ini akan menentukan apakah terjadi kenaikan atau penurunan tekanan darah.
Saluran cerna. Pada saluran cerna semua obat dari golongan ini dapat merangsang peristalsis dan sekresi lambung serta usus. Karbakol dan betanekol menimbulkan hal ini tanpa mepengaruhi sisitem kardiovaskuler, sedangkan efek asetilkolin dan metakolin disrtai engan hipotensi dan takikardi kompensator.
Kelenjar eksoskrin. Ach dan ester kolin lainnya merangsang kelenjar keringat, kelenjar air mata, kelenjar ludah dan pankreas. Efek ini merupakan efek muskarinik dan tidak nyata pada orang sehat.
Bronkus. Ester kolin dikontraindikasikan pada penderita asma bronkial karena terutama pada penderita ini akan menyebabkan spasme bronkus dan produksi lendir berlebihan. Efek ini tidak nyata pada orang sehat.
Saluran kemih. Karbakol dan betanekol memperlihatkan efek yang lebih jelas terhadap otot detrusor dan otot ureter dibandingkan dengan asetilkolin dan metakolin. Obat ini menyebabkan kapasitas kandung kemih berkurang dan peristalsis ureter bertambah.
b.      Sediaan dan posologi
Karena jarang digunakan di klinik, sediaan kolinergik sulit didapat di Indonesia.
Asetilkolin klorida/bromida dapat diperoleh sebagai bubuk kering, dan dalam ampul berisi 200 mg, dosis : 10 – 100 mg IV.
Metakolin klorida tersedia sebagai tablet 200 mg pemberian oral tidak dapat diandalkan , sebaliknya diberikan subkutan (SK) 2,5 – 40 mg, tergantung dari respon penderita.
Karbakol klorida sebagai tablet 2 mg atau ampul 0,25 mg/ml, pemberian oral cukup efektif dengan dosis 3 kali 0,2 – 0,8 mg. Dosis subkutan adalah 0,2 – 0,4 mg. Preparat ini tidak boleh diberikan IV. Juga tersedia sebagai tetes mata untuk miotikum.
Betanekol klorida tersedia sebagai tablet 5 dan 10 mg atau dalam ampul yang mengandung 5 mg/ml. Dosis oral adalah 10 - 30 mg, sedangkutan subkutan 2,5 – 5,0 mg. tidak boleh diberikan IV atau IM.
c.       Efek Samping
Dosis berlebihan dari ester kolin sangat berbahaya karena itu jangan diberikan secara IV, kecuali asetilkolin yang lama kerjanya sangat singkat. Pemberian oral atau SK merupakan cara yang lazim digunakan. Kombinasi dengan prostigmin atau obat kolinergik lain juga tidak boleh digunakan, karena terjadi potensiasi yang dapat membawa akibat buruk. Ester kolin dapat mendatangkan serangan iskemia jantung pada penderita angina pectori, karena tekanan darah yang menurun mengurangi sirkulasi koroner. Penderita hipertiroidisme dapat mengalami fibrilasi atrium terutama pada pemberian metakolin. Tindakan pengamanan perlu diambil yaitu dengan menyediakan atropin dan epinefrin sebagai antidotum. Gejala keracunan pada umumnya berupa efek muskarinik dan nikotinik yang berlebihan, keracunan ini harus cepat diatasi dengan atropin dan epinefrin.
d.      Indikasi
Metakolin pernah digunakan untuk memperbaiki sirkulasi perifer pada penyakit Raynaud atau tromboflebitis bedasarkan efek vasodilatasi terhadap pembuluh darah arteri tetapi sekarang tidak digunakna lagi kerana intensitas respons yang tidak dapat diramalkan.
Feokromositoma. Metakolin dapat digunakan untuk tes provokasi penyakit ini pada waktu tekanan darah penderita sangat rendah. Pemberian metakolin 25 mg SK akan menyebabkan turunnya tekanan darah seperti yang diharapkan tetapi dengan cepat disusul dengan peningkatan tekanan sistolik maupun diastolik. Uji semacam ini uga dapat dikerjakan dengan asetilkolin atau dengan histamine. Bila tensi penderita sedang tinggi, sedikit-dikitnya diatas 190 mmHg, maka sebaiknya dilakukan uji fentoloamin. Hasil uji fentolamin dikatakan positif bila penurunan tekanan darah sekurang-kurangnya 35/25 mmHg.
2.      Obat Antikolinesterase
Antikolinesterase terdiri dari eserin (fisostigmin), prostigmin (neostigmin), disospropil-fluorofosfat (DFP), dan insektisida golongan organofosfat. Antikolinesterase menghambat kerja kolinesterase (dengan mengikat kolinesterase) dan mengakibatkan perangsangan saraf kolinergik terus menerus karena Ach tidak dihidrolisis. Dalam golongan ini kita kenal dua kelompok obat yaitu yang menghambat secara reversible misalnya fisostigmin, prostigmin, piridostigmin dan edrofonium. Dan menghambat secara ireversibel misalnya gas perang, tabung, sarin, soman, insektisida organofosfat, parathion, malation, diazinon, tetraetil-pirofosfat (TEPP), heksaetiltetrafosfat (HETP) dan oktametilpiro-fosfortetramid (OMPA).
a.       Mekanisme kerja
Hampir semua kerja antikolinesterase dapat diterangkan adanya asetikolin endogen. Hal ini disebabkan oleh tidak terjadinya hidrolisis asetilkolin yang biasanya terjadi sangat cepat, karena enzim yang diperlukan diikat dan dihambat oleh antikolinesterase. Hambatan ini berlangsung beberapa jam utuk antikolinesterase yang reversible, tetapi yang ireversibel dapat merusak kolinesterase sehingga diperlukan sisntesis baru dari enzim ini untuk kembalinya transmisi normal. Akibat hambatan ini asetilkolin tertimbun pada rseptor kolinergik ditempat Ach dilepaskan.
b.      Farmakodinamik
Efek utama antikolinesterase yang menyangkut terapi terlihat pada pupil, usus dan sambungan saraf-otot. Efek-efek lain hanya mempunyai arti toksikologi.
Mata. Bila fisostigmin (Eserin) atau DFP diteteskan pada konjungtiva bulbi, maka terlihat suatu perubahan yang nyata pada pupil berupa miosis, hilangnya daya akomodasi dan hiperemia konjungtiva. Miosis terjadi cepat sekali, dalam beberapa menit, dan menjadi maksimal setelah setengah jam. Tergantung dari antikolinesterase yang digunakan, kembalinya ukuran pupil ke normal dapat terjadi dalam beberapa jam (fisostigmin) atau beberapa hari sampai seminggu (DFP). Miosis menyebabkan terbukannya saluran Schlemm, sehingga pengaliran cairan mata lebih mudah, maka tekanan intraokuler menurun. Terutama bila ada glaukoma. Miosis oleh obat golongan ini dapat diatasi oleh atropin.
c.       Farmakokinetik
Fisostigmin mudah diserap melalui saluran cerna, tempat suntikan maupun melaui selaput lendir lainya. Seperti atropin, fisostigmin dalam obat tetes mata dapat menyebabkan obat sistemik. Hal ini dapat dicegah dengan menekan sudut medial mata dimana terdapat kanalis lakrimalis. Prostigmin dapat diserap secara baik pada pemberian parenteral, sedangkan pada pemberian oral diperlukan dosis 30 kali lebih besar dan penyerapannya tidak teratur. Efek hipersalivasi baru tampak 1-1 ½ jam setelah pemberian oral 15-20 mg.
d.      Sediaan dan posologi
Fisostigmin salisilat (eserin salisilat) tersedia sebagai obat tetes mata, oral dan parenteral. Prostigmin bromida (Neostigmin bromida)tersedia untuk pemakian oral (15mg per tablet) dan neostigmin metilsulfat untuk suntikan, dalam ampul 0,5 dan 1,0 mg/ml.Pridostigmin bromida (Mestinon bromida) sebagai tablet 60 mg dan juga ampul 0,5 mg/ml. Edrofonium klorida ( Tensilon klorida), dalam ampul 10 mg/ml, dapat dipakai untuk antagonis kurareatau diagnosis miastenia gravis. Diisopropilfluorofosfat (DFP) atau isoflurorattersedia sebagai larutan dalam minyak untuk pemberian parenteral dan sebagai obat tetes mata (0,1 % larutan dalam air).
e.       Indikasi
1.      Antonio otot polos
Prostigmin terutama berguna untuk keadaan atoni otot polos saluran cerna dan kandung kemih yang sering terjadi pada pasca bedah atau keadaan toksik. Pemberian sebaiknya secara SK atau IM. Prostigmin yang diberikan sebelum pengambilan X-foto abdomen juga bermanfaat untuk menghilangkan bayangan gas dalam usus.
2.      Sebagai miotika
Fisostigmin dan DFP secara local digunakan dalam oftalmologi untuk menyempitkan pupil, terutama setelah pemberian atropin pada funduskopi. Dilatasi pupil oleh atropin berlangsung berhari-har dan menggangu penglihaan bila tidak diantagonis dengan eserin. Dalam hal ini DFP merupakan miotik yang kuat. Perlekatan iris dengan lensa kadang-kadang terjadi akibat peradangan dalam hal ini atropin dan fisostigmin digunakan berganti-ganti untuk mencegah timbulnya perlengketan tersebut.
3.      Diagnosis dan pengobatan miastenia gravis
Miastenia gavis ditandai dengan kelemhan otot yang ekstrim. Gejala penyakit ini adalah berkurangnya produksi asetilkolin pada sambungan saraf-otot atau dapat ditandai juga dengan peninggian ambang rangsangan. Setelah pemberian 1,5 mg prostigmin SK kelemahan otot rangka diperbaiki sedemikian rupa sehingga dapat dianggap sebagai suatu tes diagnostik. Untuk diagnosis digunakan 2 mg androfonium, disusul 8 mg 45 detik kemudian bila dosis pertama tidak mempan. Prostigmin dan piridostigmin merupakan kolinergik yang sering digunakan untuk mengobati miastenia gravis. Pengobatan dimulai dengan 7,5 mg prostigmin atau 30 mg prodiatigmin biasanya 3 kali sehari. Bila diragukan apakah efek kolinergik sudah cukup apa belum, dapat diuji dengan pemberian endrofonium, bila terjadi perbaikan berarti dosis perlu ditambah.
4.      Penyakit Alzheimer
Dosis yang diberiakn pada penyakit Alzheimer yaitu 3 kali sehari 25-50 mg diawali dengan 50 mg/hari dan ditingkatkan sampai 150 mg/hari dalam 4 minggu. Efek samping mual dan efek kolinergik perofer lainnya tidak menibulkan masalah, mungkin karena dosis dinaikan secra bertaha dalam 4 minggu. Obat ini meningkatkan enzim aminotransferase dan dikhawatirkan bersifat hepatotoksisk. Karena itu dianjurkan melakukan uji fungsi hati setiap 2 minggu dalam 3 bulan pertama dan setiap bulan setelahnya.

3.      Alkaloid tumbuhan
Alkaloid tumbuhan yaitu : muskarin yang berasal dari jamur Amanita muscaria, pilokarpin yang berasal dari tanaman Pilocarpus jaborandi danPilokarpus microphyllus  dan arekolin yang berasal dari Areca catehu(pinang). Ketiga obat ini bekerja pada efek muskarinik, kecuali pilokarpin yang juga memperlihatkan efek nikotinik. Pilokorpin terutama menyebabkan rangsangan terhadap kelenjar keringat yang terjadi karena perangangan langsung (efek muskarinik) dan sebagian karena perangsangan ganglion (efek nikotinik), kelenjar air mata dan kelenjar ludah. Produksi keringat dapat mencapai 3 liter. Pada penyuntika IV biasanya terjadi kenaikan tekanan darah akibat efek ganglionik dan sekresi katekolamin dari medulla adrenal.
a.       Intoksikasi
Keracunan muskarin dapat terjdi akibat keracunan jamur. Keracunan jamur Clitocybe dan Inocybe timbul cepat dalam beberapa menit sampai dua jam setelah makan jamur sedangkan gejala keracunan A. phalloidestimbul lambat, kira-kira sesudah 6-15 jam, dengan sifat gejala yang berlainan. Amanita muscaria dapat menyebabkan gejala muskarinik tetapi efek utama disebabkan oleh suatu turunan isoksazol yang merupakan antidotum yang ampuh bila efek muskariniknya yang dominan. Amanita phalloides lebih berbahaya, keracunannya ditandai dengan gejala-gejala akut di saluran cerna dan dehidrasi yang hebat.
b.      Indikasi
Pilokarpin HCL atau pilokarpin nitrat digunakan sebagai obat tetes mata untuk menimbulkan miosis dengan larutan 0,5-3 %. Obat ini juga digunakan sebagai diaforetik dan untuk menimbulkan saliva diberikan per oral dengan dosis 7,5 mg. Arekolin hanya digunakan dalam bidang kedokteran hewan untuk penyakit cacing gelang. Musakrin hanya berguna untuk penelitian dalam laboratorium dan tidak digunakan dalam terapi. Aseklidin adalah suatu senyawa sintetik yang strukturnya mirip arekolin. Dalam kadar 0,5-4% sama efektifnya dengan pilokarpin dalam menurunkan tekanan intraokular. Obat ini digunakan pada penderita glaukoma yang tidak tahan pilokarpin.

1.      Metoklopramid
Metoklopramid merupakan senyawa golongan benzamid. Gugus kimianya mirip prokainamid, tetapi metoklopramid memiliki efek anestetik lokal yang sangat lemah dan hamper tidak berpengaruh terhadap miokard.
a.      Efek farmakologi metoklopramid sangat nyata pada saluran cerna, obat ini juga dapat meningkatkan sekresi prolaktin. Mekanisme kerja metoklopramid pada saluran cerna, yaitu :
1.      Potensiasi efek kolinergik
2.      Efek langsung pada otot polos
3.      Penghambatan dopaminergik sentral
b.      Indikasi. Metaklopramid terutama digunakan untuk memperlancar jalannya zat kontras pada waktu pemeriksaan radiologic lambung dan deuodenum untuk mencegah atau mengurangi muntah akibat radiasi dan pascabedah, untuk mempermudah intubasi saluran cerna. selain itu obat ini diindikasikan pada berbagai gangguan saluran cerna dengan gejala mual, muntah, rasa terbakar di ulu hati, perasaan penuh setelah makan dan gangguan cerna (indigestion) misalnya pada gastroparesis diabetik.
c.       Kontraindikasi, efek samping dan interaksi obat
Metoklopiramid dikontraindikasikan pada obstruksi, perdarahan, dan perforasi saluran cerna, epilepsi, feokromositoma dan gangguan ekstrapiramidal. Efek samping yang timbul pada penggunaan metoklopramid pada umunya ringan. Yang penting diantaranya adalah kantuk, diare, sembelit dan gejala ekstrapiramidal.
d.      Sediaan dan posologi
Metoklopiramid tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg, sirup mengandung 5 mg/ 5 ml dan suntikan 10 mg/2ml untuk penggunaan IM atau IV. Dosis untuk dewasa ialah 5-10 mg 3 kali sehari, untuk anak 5-14 tahun 2,5 mg – 5 mg diminum 3 kali sehari, anak 3-5 tahun 2 mg diminum 2 atau 3 kali sehari, anak 1-3 tahun 1 mg diminum 2 atau 3 kali sehari dan bayi 1 mg diminum 2 kali sehari.
2.      Sisaprid
Sisaprid merupakan senyawa benzamid yang merangsang motilitas saluran cerna. Kerja obat ini diduga meningkatkan pelepasan ACH di saluran cerna.
a.      Eksperimental pada hewan
Sisaprid meningkatkan tonus istirahat sfingter bawah esofagus dan meningkatkan amplitudo kontraksi esofagus bagian distal. Pengosongan lambung dipercepat, waktu transit mulut-saekum memendek, peristalsis kolon meningkat.
b.      Indikasi
Sisaprid diindikasikan pada refluks gastroessofagial, gangguan mobilitas gaster dan dyspepsia bukan karena tukak.
c.       Sediaan dan posologi
Dosis 3-4 kali sehari 10 mg, 15-30 menit sebelum makan. Lama pengobatan 4-12 minggu. Obat ini dimetabolisme secara ekstensif di hati sehingga dosis perlu disesuaikan pada gagal hati. Pada pasien gagal ginjal, dosis juga perlu diturunkan sesuai beratnya gangguan, mungkin sampai separuhnya. Perhatian. Jangan memberikan sisaprid bila peningkatan gerakan saluran cerna dapat berpengaruh buruk misalnya pada pendarahan, obstruksi, perforasi, atau keadaan pascabedah.
d.      Efek samping
Efek samping pada saluran cerna berupa : Kolik, borborigmi, dan diare. Gejala sistem saraf pusat berupa sakit kepala, pusing, konvulsi dan efek.

ATROPIN
Atropine adalah alkaloid belladonna yang mempunyai afinitas kuat terhadap reseptor muskarinik. Obat ini bekerja kompetitif antagonis dengan Ach untukmenempati kolinoreseptor. Umumnya masa kerja obat ini sekitar 4 jam. Terkecuali, pada pemberian sebagai tetets mata, masa kerjanya menjadi lama bahkan sampai beberapa hari
Farmakokinetik
Atropine mudah diabsorpsi sebagian dimetabolisme dalam hepar dan diekskresi ke dalam urine. Waktu paruhnya sekitar 4 jam.
Farmakodinamik
Efek antikolinergikdapat emnstimulasi ataupun mendepresi bergantung pada organ target. Di dalam otak, dosis rendah merangsang dan dosis tinggi mndepresi. Efek obat ini juga ditetukan oleh kondisi yang akan diobati.  Misalnya Parkinson yang dikarakteritsikan dengan defisiensi dopamine yang mengintensifkan eegfek stimulasi Ach. Antimuskarinik menumpulkan atau mendepresi efek ini. Pada kasus lain, efek obat ini pada SSP terlihat sebagai stimulator.
Efek pada mata – midriasi dapat sampai sikloplegia (tidak berakomodasi)
Saluran cerna – atropine digunakan sebagai antispasmodic (mungkin atropine merupakan obat terkuat untuk menghambat saluran cerna). Obat ini tidak mempengaruhi sekresi asam lambung sehingga tidak bermanfaat sebagai antiulkus.
Saluran kemih – attroopin digunakan untuk menurunkan hipermotilitas kandung kemih dan kadang-kadang masih digunakan untuk enuresis pada anak yang mengompol. Ole karena itu, agonis alfa-aderenergik lebih efektif dengan efek samping yahng lebih sedikit.
Kardiovaskular – efek atropine pada jantung bergantung pada besar dosis. Pada dosis kecil menyebabkan bradikardi. Atropine dosis tinggi terjadi penyekatan reseptor kolinergik di SA nodus dan denyut jantung sedikit bertambah (takikardi). Efek ini baru timbul bila atropine diberi 1mg.
Kelenjar eksokrin – atropine menghambat sekressi kelenjar saliva sehingga mukosa mulut menjadi kering ( serestomia). Kelenjar saliva sangat peka terhadap atriopin. Hambatan sekresi kelenjar keringat menyebabkan suhutubh jadi naik, juga kelenjar air mata mengalaami gangguan.
Indikasi klinis
·        Efek midriasi atropine digunakan untuk diagnostic tes pada kelainan dalam mata/retina.
·        Sebagai antisekretori pada waktu operasi.
·        Antispasmodic saluran cerna dan kandung kemih.
·        Antidotum obat-obat agoni kolinergik, seperti pada keracunan insektisisda karbamat, organofosfat, dan jamur.
Efek Samping
ESO atropine sangat bergantung pada besarnya dosis yang diberikan. Atropine dapat meyebabksn mulut kering, penglihatan kabur, mata rasa berpasir ( sandy eyes), takkikardi, dan konstipasi. ESO pada SSp berupa rasa capek, bingung, halusinasi, delirium yang dapat menjadi depresi, depresi napas dan kematian.

PILOKARPIN
Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier yang stabil terhadap hidrolisis oleh asetilkolinesterase. Pilokarpin termasuk obat yang lemah disbanding dengan asetilkolin danturunanya. Aktivitas utamanya adalah muskarinik dan digunakan untuk oftalmologi.
Efek samping
perangsangan keringat dan salvias yang berlebihan. Pilokarpin juga dapat masuk ke SSP dan menimbulkan gangguan SSP.

Istilah untuk ester-ester asam karbonat atau turunan asam karbamat. Istilah uretan sering dipakai untuk menunjukan etil karbamat saja, sedangkan untuk ester-ester asam karbamat lain dinamakan secara sistematik kimia organic, misla propil uretan dinamakan etil propil karbamat. Uretna (etil karbamat) berupa Kristal putih , titik leleh 490 – 500 C dn titik didih 1820-1840 C mudah menyblim dan higroskopis. Dapat dibuat secara sintesa dengan berbagai cara. Digunakan dalam berbagai pengobatan. Turunan-turunan uretan digunakan dalam pembuatan plastic, baik sebagai monomer, komonomer ataupun sebaga pemelastik.




BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

1.      Percobaan untuk percobaan, buatkan larutan gom arab dan obat
2.      Hewan percobaan dipilih secara acak, kesehatan diamati, kemudian masing-masing hewan ditimbang dan diberi tanda pengenal.
3.      Pada waktu T = 0, satu kelompok diberi atropin p.o dan segera sesudah pemberian uretan i.p kelompok kontrol hanya diberi larutan gom dengan cara yang sama.
4.      Pada waktu T = 15 menit, kelompok lain disuntikkan atropin 0,015 mg/kgBB s.c, segera sesudah disuntikkan uretan.
5.      Pada waktu T = 45 menit, semua mencit diberikan pilokarpin secara subkutran.
6.      Kemudian masing-masing mencit diletakkan diatas kertas saring pada alat ( 1 mencit perkotak). Penempatan mencit haruslah sedemikian hingga mulutnya berada tepat diatas kertas, kemudian ekornya diikat dengan seutas tali dan diberi beban sebagai penahan.
7.      Setiap 5 menit mencit ditarik ke kotak berikutnya yang letaknya lebih atas. Selanjutnya diulang hal yang sama selama 25 menit sampai kotak paling atas.
8.      Amati besarnya noda yang terbentuk diatas kertas disetiap kotak dan tandai batas noda (menggunakan spidol)
9.      Diameter noda diukur dan dihitung persentase inhibisi yang diberikan oleh kelompok atropin.
10.  Data hasil perhitungan dimasukkan ke dalam tabel dan dibaut grafik inhibisi persatuan waktu. 


BAB IV
ALAT, BAHAN DAN HEWAN PERCOBAAN

IV.1 Alat Percobaan
-         Uretan (1,8 g/kgBB)
-         Atropin 0,04% (1 mg/kgBB) p.o
-         Atropin 0,015 mg/kgBB s.c
-         Pilokarpin 0,02% (2 mg/kgBB) s.c
-         Gom arab 3%
IV.2 Bahan Percobaan
Papan berukuran 40 x 30 cm yang diletakan diatas papan lain dengan ukuran yang sama. Papan pertama membuat sudut 10 dengan papan kedua, sehingga membentuk segitiga. Papan bagian atas diberi alas 4 cm. setelah itu kertas saring ditaburi metilen sebagai lapisan tipis.
IV.3 Hewan Percobaan
Mencit putih jantan dengan berat badan 20-25 g dipuasakan sebelum percobaan (6 jam).



BAB V
HASIL PERCOBAAN

I.                    Kelompok kontrol
No
Bobot mencit (gram)
Volume pemberian gom arab 1% p.o (mL)
Volume pemberian uretan i.p (mL)
Volume pemberian pilokarpin s.c (mL)
Diameter noda pada t= …
5’
10’
15’
20’
25’
1.
27,34
0,6835
0,68
0,275
0,92
2,65
3,63
3,67
3,58
2.
32
0,8


3,67
4,07
4,20
5,03
5,20
3.
26,56
0,6
0,6
0,24
2,26
2,43
2,53
2,7
2,93
4.
34
0,6


3,67
5,33
4,33
4,17
3,67
5.
30,52
0,8
0,7
0,3
3,0
3,9
3
1,8
1,3
6.
25
0,625
0,625
0,25
3,2
4,1
3,7
3,7
3,9
7.
26
0.65
0,65
0,26
0
1,625
3,2
3,1
2,9
8.
31
0,775
0,775
0,31
3
4,8
4,33
4,16
3,5


II.                 Kelompok dosis uji I
No
Bobot mencit (gram)
Volume pemberian atropin p.o   (mL)
Volume pemberian uretan i.p (mL)
Volume pemberian pilokarpin s.c (mL)
Diameter noda pada t= …
5’
10’
15’
20’
25’
1.
26,40
0,66
0,67
0,265
0,92
3,02
3,97
4,22
3,75
2.
26
0,65


0
2,2
2,5
2,43
2,5
3.
23,5
1
0,5
0,22
0
0
0
0
0
4.
20
0,6


1,4
1,57
1,63
2.67
3,07
5.
27,05
0,7
0,7
0,3
0,8
2,9
3,5
3,2
3,5
6.
26
0,65
0,65
0,26
1,7
0,5
0,6
0,5
0,6
7.
28
0,7
0,7
0,28
0
2
2,8
2,5
3,1
8.
24
0,6
0,6
0,24
1,6
1,96
2,43
3
2,16

t
% inhibisi
5
-66,09%
10
-49,39%
15
-33,89%
20
-25,75%
25
-16,11%


III.               Kelompok dosis uji II
No
Bobot mencit (gram)
Volume pemberian atropin p.o   (mL)
Volume pemberian uretan i.p (mL)
Volume pemberian pilokarpin s.c (mL)
Diameter noda pada t= …
5’
10’
15’
20’
25’
1.
25,08
0,627
0,625
0,25
0
2,3
2,97
3,02
2,88
2.
30
0,75


1,33
4,67
4,63
3,8
4,83
3.
21,76
1,25
0,6
0,24
0
0
1,8
2,0
2,0
4.
24
0,5


3,37
5,3
4,2
4,46
3,8
5.
24,17
0,6
0,6
0,2
0
0
0
0
1,8
6.
24
0,6
0,6
0,24
2,3
0,3
0
0
0
7.
28
0,7
0,7
0,28
1,63
3,6
4
4,2
3,5
8.
27
0,675
0,675
0,27
1,3
0,3
0
0
0

t
% inhibisi
5
-66,08%
10
-57,85%
15
-40,39%
20
-47,22%
25
-26,63%









IV.              










Kelompok dosis uji III
No
Bobot mencit (gram)
Volume pemberian atropin p.o   (mL)
Volume pemberian uretan i.p (mL)
Volume pemberian pilokarpin s.c (mL)
Diameter noda pada t= …
5’
10’
15’
20’
25’
1.
20,75
0,5
0,514
0,2075
0
0
0
0
0
2.
30
0,75


0
0
0
0
0
3.
24,38
0,6
0,6
0,2
0
0
0
0
0
4.
26
0,65


1,47
0,93
0,8
0,67
0,47
5.
22,11
0,6
0,6
0,2
0
0
0
0
0
6.
32
0,8
0,8
0,32
1,3
0,6
0
0
0
7.
31
0,78
0,78
0,31
2,4
2,4
2,4
3
3
8.
20
0,5
0,5
0,2
1,67
0
0
0,4
0,5













t
% inhibisi
5
-74,45%
10
-64,89%
15
-31,02%
20
-79,29%
25
-82,03%











BAB VI
PEMBAHASAN
           
            Dalam praktikum farmakologi kali ini mengenai obat sistem syaraf otonom atau obat kolinergik, dimana dilakukan pengujian terhadap pengaruh aktivitas obat-obat sistem syaraf otonom pada mencit. Syaraf otonom atau dapat disebut juga sebagai sistem saraftak sadar merupakan syaraf-syaraf yang bekerja tanpa disadari atau bekerja secara otomatis tanpa diperintah oleh sistem saraf pusat dan terletak khusus pada sumsum tulang belakang. Sistem saraf otonom ini terdiri dari neuron-neuron motorik yang mengatur kegiatan organ-organ dalam, misalnya jantung, paru-paru, ginjal, kelenjar keringat, otot polos sistem pencernaan dan otot polos pembuluh darah.
Percobaan kali ini bertujuan untuk menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem syaraf otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh dan mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada neoroefektor parasimpatikus. Sehingga digunakan obat antikolinergik dengan berbagai cara pemberian obat yang berbeda untuk melihat pengaruhnya terhadap system syaraf otonom.
Percobaan ini dimulai dengan mempersiapkan berbagai alat yang dibutuhkan. Kemudian dilakukan pemilihan hewan percobaan yaitu mencit. Setiap kelompok praktikum masing-masing memilih 4 mencit, dimana satu mencit sebagai kontrol, serta tiga mencit lainnya merupakan mencit yang diberikan atropin dengan berbagai variasi dosis.  Mencit yang telah dipilih, lalu ditimbang. Penimbangan mencit ini dilakukan dengan meletakkan seekor mencit yang akan digunakan, diatas neraca ohauss dan diamati angka yang menunjukkan berat badan mencit. Penimbangan mencit ini bertujuan untuk mengetahui perhitungan dosis yang tepat pada perlakuan percobaan, karena setiap individu yang memiliki berat badan yang berbeda akan mendapatkan pemberian dosis yang berbeda, mengingat berat badan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan pemberian jumlah dosis. Setelah ditimbang setiap mencit diberikan tanda pengenal yang berbeda. Hal ini bertujuan agar mempermudah mengenali mencit baik pada saat pemberian perlakuan maupun saat dilakukan pengamatan terhadap percobaan. Mencit dibagi menjadi 3 kelompok, yang nantinya akan diberikan perlakuan yang berbeda. Masing-masing kelompok diberikan uretan dengan dosis yang sesuai, secara intraperitonial menggunakan jarum suntik. Uretan yang diberikan dalam bentuk larutan. Pemberian dilakukan dengan cara memegang atau menjepit tengkuk diantara jari telunjuk dan jari tengah, dengan membuat posisi abdomen yang lebih tinggi dari kepala. Jarum disuntik dengan membentuk sudut 10. Penyuntikan harus sedikit menepi dari garis tengah, untuk menghindari terkenanya kandung kemih. Jangan pula terlalu tinggi agar tidak mengenai hati.Tujuan pemberian uretan adalah untuk membuat mencit tertidur atau  menurunkan aktivitasnya. Selain itu, pembiusan mencit dilakukan karena dalam keadaan tertidur biasanya akan terjadi salivasi dimana salivasi ini akan digunakan sebagai parameter dalam pengujian obat-obat sistem saraf otonom.
Sistem syaraf otonom terbagi menjadi 2 bagian, yaitu sistem syaraf simpatik dan sistem syaraf parasimpatik. Kelenjar saliva yang merupakan salah satu kelenjar dalam sistem pencernaan, akan meningkat aktivitasnya jika distimulasi oleh sistem saraf parasimpatik atau oleh obat-obat parasimpatomimetik. Tetapi sebaliknya, jika diberikaan obat-obat yang aktivitasnya berlawanan dengan sistem parasimpatik yaitu obat simpatomimetik, maka aktivitas kelenjar saliva akan menurun.
Setelah masing-masing kelompok diberi uretan, mencit pada kelompok 1 diberikan atropin secara peroral. Atropin yang diberikan dalam bentuk larutan. Perlakuan pada mencit dilakukan dengan menggunakan jarum suntik yang ujungnya tumpul atau yang biasa disebut dengan sonde oral. Alat ini dimasukan ke dalam mulut, kemudian perlahan-lahan dimasukan melalui tepi langit-langit ke belakang sampai esotagus. Uretan yang tersedia memiliki konsentrasi 72 mg/mL.
Setelah 15 menit dari pemberian uretan, mencit pada kelompok 2 juga dilakukan pemberian atropin namun diberikan secara subkutan dengan menggunakan jarum suntik.Penyuntikan secara subkutan ini dilakukan di bawah kulit tengkuk. Sedangkan mencit pada kelompok 3 tidak diberikan atropin karena digunakan sebagai kelompok kontrol.
Atropin merupakan obat antikolinergik (obat simpatomimetik) yang akan diuji dengan diberikan pada mencit untuk dilakukan pengamatan terhadap pengaruhnya pada sistem saraf otonom. Atropin merupakan obat yang digolongkan sebagai antikolinergik atau simpatomimetik. Atropin termasuk dalam alkaloid beladona, yang bekerja memblokade asetilkolin endogen maupun eksogen. Atropin bekerja sebagai antidotum dari pilokarpin. Efek atropin pada saluran cerna yaitu mengurangi sekresi liur, sehingga pemberian atropin ini dilakukan agar produksi saliva menurun karena mukosa mulut mencit menjadi kering (serostomia). Atropin, seperti agen antimuskarinik lainnya, yang secara kompetitif dapat menghambat asetilkolin atau stimulan kolinergik lain pada neuroefektor parasimpatik postganglionik, kelenjar sekresi dan sistem syaraf pusat, meningkatkan output jantung, mengeringkan sekresi, juga mengantagonis histamin dan serotonin. Pada dosis rendah atropin dapat menghambat salivasi. Hal ini dikarenakan kelenjar saliva yang sangat peka terhadap atropin.
Selain atropin juga digunakan uretan. Uretan adalah senyawa etil ester dari asam karbaminik, menimbulkan efek anaestesi dengan durasi yang panjang seperti choralose. Biasanya senyawa ini digunakan untuk percobaan fisiologi dan farmakologi. Uretan sering dikombinasikan dengan choralose untuk menurunkan aktivitas muskular. Uretan memiliki efek yang kecil pada respirasi dan tekanan darah arteri. Uretan tidak digunakan sebagai anaestesi dalam kedokteran hewan, tetapi dianjurkan dalam penggunaannya untuk tujuan eksperimen (percobaan). Dalam praktikum ini, uretan digunakan pada tikus dalam tahap vegetatif (vegetative stage).
Setelah 45 menit dari pemberian uretan, semua kelompok mencit diberikan pilokarpin menggunakan jarum suntik secara subkutan agar efek yang ditimbulkan cepat. Pilokarpin yang diberikan kepada mencit bertujuan agar mencit tersebut dapat mengeluarkan saliva. Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolisis oleh asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannya, senyawa ini ternyata sangat lemah.
Pilokarpin merupakan obat kolinergik yang merangsang saraf parasimpatik yang dimana efeknya akan menyebabkan percepatan denyut jantung dan mengaktifkan kelenjar-kelenjar pada tubuh salah satunya kelenjar saliva. Obat kolinergik adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Efek kolinergis yang ditimbulkan juga termasuk dalam merangsang atau menstimulasi sekresi kelenjar ludah, sehingga hal tersebut dapat memicu terjadinya hipersalivasi sehingga air liur atau saliva yang dikeluarkan oleh mencit menjadi lebih banyak karena  pilokarpin merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar saliva.
            Setelah semua obat diberikan kepada mencit, kemudian disiapkan kertas saring yang sudah diletakkan diatas papan dengan kemiringan ±30°. Kemudian letakkan tikus di atas kertas saring, dan ukur diameter saliva yang terdapat pada kertas saring. Dari hasil percobaan menunjukan bahwa atropin cukup efektif bekerja sebagai antikolinergik. Hal tersebut terbukti dengan dosis atropin yang semakin besar, pengaruh pilokarpin sebagai kolinergik yang mampu meningkatkan ekskresi saliva dapat menurun.


BAB VII
KESIMPULAN

1.      Semakin besar bobot hewan percobaan, maka volume pemberian obat semakin besar.
2.      Pilokarpin sebagai zat klinergik yang dapat meningkatkan sekresi saliva.
3.      Atropin sebagai zat antikolinergik mampu menginhibisi hipersaliva pada hewan percobaan.
4.  Semakin tinggi dosis atropin yang diberikan terhadap hewan percobaan, semakin sedikit saliva yang dikeluarkan oleh hewan percobaan tersebut





DAFTAR PUSTAKA

Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
Tan, H. T. dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
Staf pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2009. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Prof.Mr.A.G Pringgodigdo.1977. Ensiklopedi Umum. Yogyakarata : Penerbit Kanisius
Tjay hoan Tiondan dian raharja kirana, 1991. Obat-obat penting .Edisi IV.Jakarta : pt Elex media kompatindo.



LAMPIRAN

Pertanyaan :
1.      Apa yang disebut dengan obat simpatometik ? Tuliskan paling sedikit 5 contoh obat !
Jawaban        :
Simpatomimetik
Obat golongan ini disebut obat adrenergik karena efek yang ditimbulkannya mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor norepinefrin dan epinefrin dari susunan saraf simpatis.
Contoh Obat Adrenergik
  Epineprin
  Norepineprin
  Isoproterenol
  Dopamin
  Dobutamin
  Amfetamin
  Metamfenamin
  Efedrin
  Metoksamin
  Fenilefrin

2.      Apa yang disebut dengan obat parasimpatometik ? Tuliskan paling sedikit 5 contoh obat !
Jawaban :
Parasimpatomimetik
Obat ini disebut juga obat kolinergik, obat yang kerjanya serupa dengan perasangan saraf simpatis.
Ada 2 macam reseptor kolinergik:
Reseptor muskarinik: merangsang otot polos dan memperlambat denyut jantung dan reseptor nikotinik/ neuromuskular → mempengaruhi otot rangka.
Penggolongan obat parasimpatomimetik
Cholinester (asetil kolin, metakolin, karbakol, betanekol)
  Cholinesterase inhibitor (eserin, prostigmin, dilsopropil fluorofosfat)
  Alkaloid yang berkasiat seperti asetikolin (muskarin, pilokarpin, arekolin)
  Obat kolinergik lain ( metoklopramid, sisaprid)