More Text

Unordered List

Unordered List

BTricks

BThemes

Powered by Blogger.

Thursday, June 13, 2013

Laporan Praktikum ANALISIS URIN | Biokimia Klinik





I.       Tujuan
1.      Melakukan evaluasi skrining terhadap fungsi ginjal dengan cara urinalisis
2.      Menginterpretasikan hasil pemeriksaan yang diperoleh

II.    Prinsip
Prinsip pemeriksaan untuk setiap parameter:
1.      Glukosa


Untuk mengukur glukosa urin, reagent strip diberi enzim glukosa oksidase (GOD), peroksidase (POD), dan zat warna.


Glukosa + O2    glukosa oksidase ----------> asam glukonat + H2O2


                                  peroksidase 
H2O2 + Kromogen  ---------------->  kromogen teroksidasi + H2O



2.      Protein
Indikator yang digunakan tetrabromfenol biru didapar dengan asam sampai pH 3 atau tetraklorofenol tetrabromosulfoftalein. Daerah ini berwarna kuning jika protein negatif tetapi akan berubah menjadi hijau tergantung pada konsentrasi protein yang ada.

3.      Bilirubin
Berdasarkan reaksi diazo antara bilirubin dengan garam diazonium dalam suasana asam membentuk warna azobilirubin.

4.      Urobilinogen
Berdasarkan pada reaksi Ahrlich. Aldehid atau pembentukan warna merah azo dari senyawa diazonium

5.      pH
Berdasarkan prinsip double indicator yang mengandung metal merah dan bromtimol biru sehingga memungkinkan perubahan warna dari jingga, hijau sampai biru pada daerah 5-9.

6.      Berat jenis
Berdasarkan pada perubahan warna reagen dari biru hijau ke hijau kekuningan tergantung pada konsentrasi ion dalam urine

7.      Darah
Berdasarkan aktivitas pseudoperoxidatif hemoglobin yang mana katalisis reaksi dari dispropil benzene dihidroperoksid dan 3,3’,5,5’-tetrametilbenzidin, hasilnya mulai dari orange sampai hijau.

8.      Keton
Pemeriksaan keton dengan pereaksi nitroprussida berdasarkan prinsip tes lugol, yaitu dalam suasana basa, asam asetoasetat akan bereaksi dengan Na. nitroprussida menghasilkan warna ungu.

9.      Nitrit
Nitrit akan bereaksi dengan benzokinolin pada pH asam menghasilkan warna merah azo.    

10.  Leukosit
Berdasarkan prinsip leukosit esterase dalam urine yang dapat menghidrolisa suatu ester (indoxyl ester) menjadi alcohol dan asma. Cincin aromatic dalam alcohol (indoxyl) akan berpasangan dengan garam diazonium membentuk zat warna diazo.


III. Teori Dasar

Urin merupakan keluaran akhir yang dihasilkan ginjal sebagai akibat kelebihan urine dari penyaringan unsur-unsur plasma  (Frandson, 1992). Urine atau urin merupakan cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal kemudian dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi. Eksreksi urine diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang disaring oleh ginjal dan untuk menjaga homeostasis cairan tubuh. Urine disaring di dalam ginjal, dibawa melalui ureter menuju kandung kemih, akhirnya dibuang keluar tubuh melalui uretra (Ningsih, 2012). Proses pembentukan urin di dalam ginjal melalui tiga tahapan yaitu filtrasi (penyaringan), reabsorpsi (penyerapan kembali), dan augmentasi (penambahan) (Budiyanto, 2013).
Pada filtrasi terjadi proses sebagai berikut. Filtrasi darah terjadi di glomerulus, yaitu kapiler darah yang bergelung-gelung di dalam kapsul Bowman. Pada glomerulus terdapat sel-sel endotelium sehingga memudahkan proses penyaringan. Selain itu, di glomerulus juga terjadi pengikatan sel-sel darah, keping darah, dan sebagian besar protein plasma agar tidak ikut dikeluarkan. Hasil proses infiltrasi ini berupa urine primer (filtrate glomerulus) yang komposisinya mirip dengan darah, tetapi tidak mengandung protein. Di dalam urine primer dapat ditemukan asam amino, glukosa, natrium, kalium, ion-ion, dan garam-garam lainnya (Budiyanto, 2013).
Proses reabsorpsi terjadi di dalam pembuluh (tubulus) proksimal. Proses ini terjadi setelah urine primer hasil proses infiltrasi mengalir dalam pembuluh (tubulus) proksimal. Bahan-bahan yang diserap dalam proses reabsorpsi ini adalah bahan-bahan yang masih berguna, antara lain glukosa, asam amino, dan sejumlah besar ion-ion anorganik. Selain itu, air yang terdapat dalam urine primer juga mengalami reabsorpsi melalui proses osmosis, sedangkan reabsorpsi bahan-bahan lainnya berlangsung secara transpor aktif. Proses penyerapan air juga terjadi di dalam tubulus distal. Kemudian, bahan-bahan yang telah diserap kembali oleh tubulus proksimal dikembalikan ke dalam darah melalui pembuluh kapiler yang ada di sekeliling tubulus. Proses reabsorpsi ini juga terjadi di lengkung Henle, khususnya ion natrium. Hasil proses reabsorpsi adalah urine sekunder yang memiliki komposisi zat-zat penyusun yang sangat berbeda dengan urine primer. Dalam urine sekunder tidak ditemukan zat-zat yang masih dibutuhkan tubuh dan kadar urine meningkat dibandingkan di dalam urine primer (Budiyanto, 2013).
Pada augmentasi, terjadi proses sebagai berikut. Urine sekunder selanjutnya masuk ke tubulus kontortus distal dan saluran pengumpul. Di dalam saluran ini terjadi proses penambahan zat-zat sisa yang tidak bermanfaat bagi tubuh. Kemudian, urine yang sesungguhnya masuk ke kandung kemih (vesika urinaria) melalui ureter. Selanjutnya, urine tersebut akan dikeluarkan dari tubuh melalui uretra. Urine mengandung urea, asam urine, amonia, dan sisa-sisa pembongkaran protein. Selain itu, mengandung zat-zat yang berlebihan dalam darah, seperti vitamin C, obat-obatan, dan hormon serta garam-garam (Budiyanto, 2013).

Secara umum urin berwarna kuning. Urin yang didiamkan agak lama akan berwarna kuning keruh. Urin berbau khas yaitu  berbau ammonia. Ph urin berkisar antara 4,8 – 7,5 dan akan menjadi lebih asam jika mengkonsumsi banyak protein serta urin akan menjadi lebih basa jika mengkonsumsi banyak sayuran.  Berat jenis urin yakni 1,002 – 1,035 g/ml (Uliyah, 2008). Komposisi urin terdiri dari 95% air dan mengandung zat terlarut. Di dalam urin  terkandung bermacam – macam  zat, antara lain  (1) zat sisa pembongkaran protein seperti urea, asam ureat, dan amoniak, (2) zat warna empedu yang memberikan  warna kuning pada  urin, (3) garam, terutama NaCl, dan (4)  zat – zat yang berlebihan dikomsumsi, misalnya vitamin C, dan obat – obatan serta  juga kelebihan zat yang yang diproduksi sendiri oleh tubuh misalnya hormon (Ethel, 2003). 
Urin yang normal tidak mengandung protein dan glukosa. Jika urin mengandung protein, berarti telah terjadi kerusakan ginjal pada bagian glomerulus. Jika urin mengandung gula, berarti tubulus ginjal tidak menyerap kembali gula dengan sempurna. Hal ini dapat diakibatkan oleh kerusakan tubulus ginjal. Dapat pula karena kadar gula dalam darah terlalu tinggi atau melebihi batas normal sehingga tubulus ginjal tidak dapat menyerap kembali semua gula yang ada pada filtrat glomerulus. Kadar gula yang tinggi diakibatkan oleh proses pengubahan gula menjadi glikogen terlambat, kerena produksi hormon insulin terhambat. Orang yang demikian menderita penyakit kencing manis (diabetes melitus). Zat warna makanan juga dikeluarkan melalui ginjal dan sering memberi warna pada urin. Bahan pengawet atau pewarna membuat ginjal bekerja keras sehingga dapat merusak ginjal. Adanya insektisida pada makanan karena pencemaran atau terlalu banyak mengkonsumsi obat – obatan juga dapat merusak ginjal (Scanlon, 2000).

Pemeriksaan Urin
Menurut Wulangi (1990), menyatakan bahwa analisa urin itu penting, karena banyak penyakit dan gangguan metabolisme dapat diketahui dari perubahan yang terjadi didalam urin. Zat yang dapat dikeluarkan dalam keadaan normal yang tidak terdapat adalah glukosa, aseton, albumin, darah dan nanah (Wulangi, 1990). Pemeriksaan urin merupakan pemeriksaan yang dipakai untuk mengetahui adanya kelainan di dalam saluran kemih yaitu dari ginjal dengan salurannya, kelainan yang terjadi di luar ginjal, untuk mendeteksi adanya metabolit obat seperti zat narkoba dan mendeteksi adanya kehamilan (Medika, 2012).
Bahan urin yang biasa di periksa di laboratorium dibedakan berdasarkan pengumpulannya yaitu : urin sewaktu, urin pagi, urin puasa, urin postprandial (urin setelah makan) dan urin 24 jam (untuk dihitung volumenya). Tiap-tiap jenis sampel urin mempunyai kelebihan masing-masing untuk pemeriksaan yang berbeda misalnya urin pagi sangat baik untuk memeriksa sedimen (endapan) urin dan urin postprandial baik untuk pemeriksaan glukosa urin. Jadi sebaiknya sebelum kita melakukan pemeriksaan urin sebaiknya meminta keterangan dari petugas laboratorium tentang bahan urin yang mana yang diperlukan untuk pemeriksaan (Djojodibroto, 2001).
Pemeriksaan urin terbagi menjadi dua jenis yaitu pemeriksaan kimiawi dan pemeriksaan sedimen. Sebagaimana namanya dalam pemeriksaan kimia yang diperiksa adalah pH urin / keasaman, berat jenis, nitrit, protein, glukosa, bilirubin, urobilinogen,dll. Jenis zat kimia yang diperiksa merupakan penanda keadaan dari organ2 tubuh yang hendak didiagnosa. Seperti penyakit “kuning” yang disebabkan oleh bilirubin darah yang tinggi biasanya menghasilkan urin yang mengandung kadar bilirubin diatas normal. Begitu pula zat kimia lainnya yang dihubungkan dengan keadaan organ tubuh yang berbeda (Djojodibroto, 2001).
Dalam pemeriksaan sedimen yang diperiksa adalah zat sisa metabolisme yang berupa kristal, granula termasuk juga bakteri. Dengan pemeriksaan sedimen maka keberadaan suatu benda normal ataupun tidak normal yang terdapat dalam urin kita akan dapat menunjukkan keadaan organ tubuh. Dalam urin yang ditemukan jumlah eritrosit jauh diatas angka normal bisa menunjukkan terjadinya perdarahan di saluran kemih bagian bawah. Begitu juga dengan ditemukannya kristal-kristal abnormal dapat diprediksi jika seseorang beresiko terkena batu ginjal, karena kristal-kristal dalam urin merupakan pemicu utama terjadinya endapan kristal dalam saluran kemih terutama ginjal yang jika dibiarkan berlanjut akan membentuk batu ginjal (Djojodibroto, 2001).


IV.  Alat Bahan


     Alat
1.      Beaker glass
2.      Kaca objek dan penutup kaca objek
3.      Mikroskop
4.      Sentrifugasi
5.      Tabung reaksi 10ml

    Bahan
1.      Reagentstrip
2.      Urin segar

  Gambar Alat



Kaca Objek                                 Beaker Glass



Mikroskop                                      Sentrifugator





Tabung Reaksi




V.     Prosedur

Sampel urin segar laki – laki dan perempuan masing – masing ditempatkan dalam suatu wadah (cup). Reagentstrip (reagent strip) dicelupkan maksimal satu detik ke dalam cup lalu reagent strip diangkat sambil menyapukannya pada pinggiran cup untuk membuang urin yang berlebih dari reagent strip. Petunjuk pembacaan waktu untuk setiap reaksi diikuti. Setiap perubahan warna pada reagent strip diamati dan hasilnya dibandingkan dengan skala warna yang biasanya terdapat pada wadah/botol reagent strip. Hasil pemeriksaan urin tersebut kemudian diinterpretasikan untuk setiap parameter (protein, glukosa, eritrosit, leukosit, nitrit, keton, urobilinogen, bilirubin, bobot jenis, dan pH).



VI.  Data Pengamatan




      
                Gambar 1. Reagent strip Laki-laki             Gambar 2 . Reagent strip Perempuan

Tabel 1. Pengamatan Hasil Reagent strip
Parameter
Laki-laki
Perempuan
Leukosit
1+
1+
Nitrogen
+
+
Protein
-
-
Glukosa
Normal
Normal
Keton
-
-
Urobilinogen
Normal
Normal
Bilirubin
-
-
Eritrosit
-
1+
HB
-
-
BJ
1,005
1,01
pH
8
7



VII.    Pembahasan

Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan analisis pendahuluan sampel urin secara kimia menggunakan reagent strip. Adapun tujuan dilakukannya percobaan ini adalah untuk mengevaluasi fungsi ginjal dengan cara urinalisis dan menginterpretasikan hasil pemeriksaan yang diperoleh. Urinalisis adalah tes yang dilakukan pada sampel urin pasien untuk tujuan diagnosis infeksi saluran kemih, batu ginjal, skrining dan evaluasi berbagai jenis penyakit ginjal, memantau perkembangan penyakit seperti diabetes melitus dan tekanan darah tinggi (hipertensi), dan skrining terhadap status kesehatan umum.
Ginjal mempunyai kemampuan memilih dan menahan zat-zat esensial pada saat mengekskresikan produk akhir metabolisme dan kelebihan zat dari makanan. Maka untuk mengetahui fungsi ginjal diantaranya dapat dilkakukan dengan cara skrining pada urin dengan metode urinalisis.
Pada urinalisis, banyak metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi zat-zat yang terkandung di dalam urin. Analisis urin sebagai uji pendahuluan  meliputi analisis fisik, analisis kimiawi dan analisis secara mikroskopik.
Sampel urin yang digunakan adalah urin dari wanita dan pria. Sampel urin yang digunakan untuk uji haruslah dalam keadaan segar. Artinya, reagent strip langsung dicelupkan ke dalam urin yang baru keluar dari tubuh. Alasannya karena ada kemungkinan urin mengalami perubahan jika tidak segera dilakukan pengujian. Dimana perubahan ini akan mempengaruhi hasil pemeriksaan. Pemeriksaan urin dengan menggunakan reagent strip mempunyai beberapa keuntungan yaitu mudah dilakukan, cepat dan biaya relatif murah. Akan tetapi, reagent strip tidak dapat dijadikan informasi yang akurat tentang adanya kelainan karena analisis urin reagent strip ini merupakan tes secara kualitatif. Untuk membuktikan adanya kelainan harus dilakukan tes lebih lanjut lagi.
Reagent strip merupakan strip plastik kecil yang memiliki beberapa kotak berwarna yang melekat padanya. Pada masing-masing kotak merupakan komponen dari uji yang digunakan untuk menafsirkan urinalisis berdasarkan nilai referensi urin. Uji kimia yang tersedia pada reagent strip umumnya adalah specific gravity (SG)/ berat jenis, pH, leukosit, nitrogen,  protein, glukosa, keton, urobilinogen, bilirubin, eritrosit dan Hb.
Cara analisis urin yaitu strip dicelupkan ke dalam sampel urin setelah itu dilihat perubahan warna pada kotak-kotak kecil tersebut. Setiap perubahan pada kotak kecil tersebut harus selalu diperhatikan dengan cermat dan dicatat karena warna pada reagent strip mudah berubah. Perubahan warna ini terjadi setelah beberapa detik hingga beberapa menit dari mencelupkan strip. Pembacaan tidak boleh terlalu cepat atau terlalu lama agar didapat hasil yang akurat. Setiap perubahan warna pada kotak tertentu mungkin menunjukkan kelainan tertentu dalam sampel urin yang disebabkan oleh reaksi kimia tertentu. Acuan perubahan warna terdapat pada wadah botol plastik strip tes urine, sehingga perubahan warna-warna tersebut dapat diinterpretasikan.
Ada beberapa prosedur yang harus diperhatikan saat pengujian menggunakan reagent strip dalam pengujian spesimen urin. Sampel urin harus diuji setelah 2 jam, kecuali untuk pengujian bilirubin dan urobilinogen harus segera dilakukan pengujian. Jika tidak, maka hasil pengujian bisa eror. Penyimpanan sampel urin dalam lemari pendingin dapat meningkatkan specific gravity dan mengganggu proses pengujian dengan reagent strip. Sebaiknya sampel urin yang digunakan adalah sampel yang disimpan pada suhu ruangan.

Spesific Gravity (Berat jenis)
Berat jenis (yang berbanding lurus dengan osmolalitas urin yang mengukur konsentrasi zat terlarut) mengukur kepadatan urin serta dipakai untuk menilai kemampuan ginjal untuk memekatkan dan mengencerkan urin. BJ urine yang rendah persisten menunjukkan gangguan fungsi reabsorbsi tubulus. Untuk mengukur berat jenis urine dapat menggunakan urometer, refraktometer dan carik celup. Pemeriksaan berat jenis dalam urine berdasarkan pada perubahan pKa (konstanta disosiasi) dari polielektrolit (methylvinyl ether/maleic anhydride). Polielektrolit terdapat pada carik celup akan mengalami ionisasi, menghasilkan ion hydrogen (H+). Ion H+ yang dihasilkan tergantung pada jumlah ion yang terdapat dalam urine. Pada urine dengan berat jenis yang rendah, ion H+ yang dihasilkan sedikit sehingga pH lebih ke arah alkalis. Berdasarkan hasil percobaan, diperoleh spesific gravity pada laki-laki sebesar 1,005 dan pada perempuan sebesar 1,01.

Bila dibandingkan dengan berat jenis urin normal yaitu antara 1,003-1,030, maka sampel urin masih dalam batas normal. Hal ini menandakan tidak terjadi gangguan fungsi reabsorpsi tubulus. Selain itu, Berat jenis urin herhubungan erat dengan diuresa, makin besar diuresa makin rendah berat jenisnya dan sebaliknya. Makin pekat urin makin tinggi berat jenisnya, jadi berat jenis bertalian dengan faal pemekat ginjal. Urin yang mempunyai berat jenis 1,020 atau lebih, menunjukkan bahwa faal pemekat ginjal baik. Keadaan ini dapat dijumpai pada penderita dengan demam dan dehidrasi. Sedangkan berat jenis urin kurang dari 1,009 dapat disebabkan oleh intake cairan yang berlebihan, hipotermi, alkalosis dan kegagalan ginjal yang menahun. Berat jenis yang rendah ini bisa disebabkan oleh banyak minum, udara dingin, dan diabetes insipidus. Berat jenis yang tinggi disebabkan oleh dehidrasi, proteinuria, dan diabetes mellitus.

pH
pH urine normal berkisar antara 4,8-7,5 (sekitar 6,0). Pembacaan pH hendaknya segera dilakukan (urine dalam kondisi segar), karena urine yang lama cenderung menjadi alkalis (karena perubahan ureum menjadi amonia). Penentuan pH dapat dilakukan dengan menggunakan : kertas lakmus, nitrazin paper, pH-meter, dan dengan tes Carik Celup. Pemeriksaan pH urine segar dapat memberi petunjuk kearah infeksi saluran kemih. Infeksi oleh E. coli biasanya menghasilkan urine asam, sedangkan infeksi oleh Proteus yang merombak ureum menjadi amoniak menyebabkan urine menjadi basa. Filtrat glomerular plasma darah biasanya diasamkan oleh tubulus ginjal dan saluran pengumpul dari pH 7,4 menjadi sekitar 6 di final urin. Namun, tergantung pada status asam-basa, pH kemih dapat berkisar dari 4,5 – 8,0. pH bervariasi sepanjang hari, dipengaruhi oleh konsumsi makanan; bersifat basa setelah makan, lalu menurun dan menjadi kurang basa menjelang makan berikutnya. Urin pagi hari (bangun tidur) adalah yang lebih asam. Obat-obatan tertentu dan penyakit gangguan keseimbangan asam-basa juga dapat mempengaruhi pH urin. Berikut ini adalah keadaan-keadaan yang dapat mempengaruhi pH urin :
a.       pH basa : setelah makan, vegetarian, alkalosis sistemik, infeksi saluran kemih (Proteus atau Pseudomonas menguraikan urea menjadi CO2 dan ammonia), terapi alkalinisasi, asidosis tubulus ginjal, spesimen basi.
b.      pH asam : ketosis (diabetes, kelaparan, penyakit demam pada anak), asidosis sistemik (kecuali pada gangguan fungsi tubulus, asidosis respiratorik atau metabolik memicu pengasaman urine dan meningkatkan ekskresi NH4+), terapi pengasaman.
Pemeriksaan pH urine berdasarkan adanya indicator ganda (methyl red dan bromthymol blue), dimana akan terjadi perubahan warna sesuai pH yang berkisar dari jingga hingga kuning kehijauan dan hijau kebiruan. Rentang pemeriksaan pH meliputi pH 5,0 sampai 8,5.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, pH pada laki-laki yaitu 8 dan pH pada perempuan yaitu 7. Untuk sampel urin laki-laki dapat dikatakan normal, namun untuk sampel perempuan sedikit terlalu basa.

Pemeriksaan ini berdasarkan adanya reaksi esterase yang merupakan enzim pada granula azurofil atau granula primer dari granulosit dan monosit. Esterase akan menghidrolisis derivate ester naftil. Naftil yang dihasilkan bersama dengan garam diazonium akan menyebabkan perubahan warna dari coklat muda menjadi warna ungu. Banyaknya esterase menggambarkan secara tidak langsung jumlah leukosit di dalam urine. Leukosit neutrofil mensekresi esterase yang dapat dideteksi secara kimiawi. Hasil tes lekosit esterase positif mengindikasikan kehadiran sel-sel lekosit (granulosit), baik secara utuh atau sebagai sel yang lisis. Limfosit tidak memiliki memiliki aktivitas esterase sehingga tidak akan memberikan hasil positif. Hal ini memungkinkan hasil mikroskopik tidak sesuai dengan hasil pemeriksaan carik celup. Temuan laboratorium negatif palsu dapat terjadi bila kadar glukosa urin tinggi (>500mg/dl), protein urin tinggi (>300mg/dl), berat jenis urin tinggi, kadar asam oksalat tinggi, dan urin mengandung cephaloxin, cephalothin, tetrasiklin. Temuan positif palsu pada penggunaan pengawet formaldehid.
Apabila urine tidak segar, pH urine menjadi alkalis, neutrofil mudah lisis sehingga jumlah neutrofil yang dijumpai dalam sedimen urine berkurang dibandingkan dengan derajat positifitas pemeriksaan esterase leukosit. jika terdapat glukosa dan protein dalam konsentrasi tinggi atau pad urine dengan berat jenis tinggi, dapat terjadi hasil negative palsu, karena leukosit mengkerut dan menghalangi penglepasan esterase. Kehadiran esterase leukosit di urin merupakan pertanda peradangan, yang umumnya disebabkan oleh infeksi saluran kemih.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, didapatkan hasil 1+ pada urine laki-laki dan perempuan. Hasil ini bukan berarti terjadi infeksi saluran kemih. Hasil ini masih menunjukkan nilai normal meskipun hasilnya positif, karena hanya menunjukkan angka 1

Test nitrit urine adalah test yang dapat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya bakteriuri. Test ini berdasarkan kenyataan bahwa sebagian besar bakteri penyebab infeksi saluran kemih dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit. Di dalam urin orang normal terdapat nitrat sebagai hasil metabolisme protein, yang kemudian jika terdapat bakteri dalam jumlah yang signifikan dalam urin (Escherichia coli, Enterobakter, Citrobacter, Klebsiella, Proteus) yang megandung enzim reduktase, akan mereduksi nitrat menjadi nitrit. Hal ini terjadi bila urin telah berada dalam kandung kemih minimal 4 jam. Hasil negatif bukan berarti pasti tidak terdapat bakteriuria sebab tidak semua jenis bakteri dapat membentuk nitrit, atau urin memang tidak mengandung nitrat, atau urin berada dalam kandung kemih kurang dari 4 jam. Disamping itu, pada keadaan tertentu, enzim bakteri telah mereduksi nitrat menjadi nitrit, namun kemudian nitrit berubah menjadi nitrogen. Spesimen terbaik untuk pemeriksaan nitrit adalah urin pagi dan diperiksa dalam keadaan segar, sebab penundaan pemeriksaan akan mengakibatkan perkembang biakan bakteri di luar saluran kemih, yang juga dapat menghasilkan nitrit. Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
a.       Hasil positif palsu karena metabolisme bakteri invitro apabila pemeriksaan tertunda, urin merah oleh sebab apapun, pengaruh obat (fenazopiridin).
b.      Hasil negatif palsu terjadi karena diet vegetarian menghasilkan nitrat dalam jumlah cukup banyak, terapi antibiotik mengubah metabolisme bakteri, organisme penginfeksi mungkin tidak mereduksi nitrat, kadar asam askorbat tinggi, urine tidak dalam kandung kemih selama 4-6 jam, atau berat jenis urin tinggi.
Hasilnya dilaporkan sebagai positif bila pita dalam 40 detik menjadi merah atau kemerahan yang berarti air kemih dianggap mengandung lebih dari 105kuman per ml. negative bila tidak terdapat nitrit maka warna tidak berubah. Warna yang terbentuk tidaklah sebanding dengan jumlah bakteri yang ada. Sensitivitas pemeriksaan ini adalah 0,075 mg/dl nitrit.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, pada laki-laki dan perempuan keduanya positif mengandung nitrogen, yang berarti terdapat kandungan nitrit dalam urine. Hasil ini mengindikasi terdapat bakteri yang dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit, atau sampel urine yang diambil telah berada di kandung kemih selama 4 jam atau lebih.

Protein
Biasanya, hanya sebagian kecil protein plasma disaring di glomerulus yang diserap oleh tubulus ginjal dan diekskresikan ke dalam urin. Dengan menggunakan spesimen urin acak (random) atau urin sewaktu, protein dalam urin dapat dideteksi menggunakan strip reagen (dipstick). Normal ekskresi protein biasanya tidak melebihi 150 mg/24 jam atau 10 mg/dl urin. Lebih dari 10 mg/dl didefinisikan sebagai proteinuria.
Sejumlah kecil protein dapat dideteksi pada urin orang yang sehat karena perubahan fisiologis. Selama olah raga, stres atau diet yang tidak seimbang dengan daging dapat menyebabkan proteinuria transien. Pra-menstruasi dan mandi air panas juga dapat menyebabkan proteinuria. Bayi baru lahir dapat mengalami peningkatan proteinuria selama usia 3 hari pertama.
Proteinuria biasanya disebabkan oleh penyakit ginjal akibat kerusakan glomerulus dan atau gangguan reabsorbsi tubulus ginjal. Pemeriksaan protein dalam urin berdasarkan pada prinsip kesalahan penetapan ph oleh adanya protein. Sebagai indikator digunakan tetrabromphenol blue yang dalam suatu sistem buffer akan menyebabkan ph tetap konstan. Akibat kesalahan penetapan oleh adanya protein, urin yang mengandung albumin akan bereaksi dengan indikator menyebabkan perubahan warna hijau muda sampai hijau. Indikator tersebut sangat spesifik dan sensitif terhadap albumin. Perubahan warna terjadi dalam waktu 60 detik. Hasilnya dilaporkan sebagai negatif, +1 (30 mg/dl), +2(100 mg/dl), +3(300 mg/dl), +4(2000 mg/dl). Adapun nilai rujukan adalah urin acak : negatif (≤15 mg/dl).
Pengukuran proteinuria dapat dipakai untuk membedakan antara penderita yang memiliki risiko tinggi menderita penyakit ginjal kronik yang asimptomatik dengan yang sehat. Proteinuria yang persistent (tetap ≥ +1, dievaluasi 2-3x / 3 bulan) biasanya menunjukkan adanya kerusakan ginjal. Proteinuria persistent juga akan memberi hasil ≥ +1 yang terdeteksi baik pada spesimen urine pagi maupun urine sewaktu setelah melakukan aktivitas.
Protein terdiri atas fraksi albumin dan globulin. Peningkatan ekskresi albumin merupakan pertanda yang sensitif untuk penyakit ginjal kronik yang disebabkan karena penyakit glomeruler, diabetes mellitus, dan hipertensi. Sedangkan peningkatan ekskresi globulin dengan berat molekul rendah merupakan petanda yang sensitif untuk beberapa tipe penyakit tubulointerstitiel.
Proteinuria positif perlu dipertimbangkan untuk analisis kuantitatif protein dengan menggunakan sampel urine tampung 24 jam. Jumlah proteinuria dalam 24 jam digunakan sebagai indikator untuk menilai tingkat keparahan ginjal. Proteinuria rendah (kurang dari 500mg/24jam). Pengaruh obat : penisilin, gentamisin, sulfonamide, sefalosporin, media kontras, tolbutamid (Orinase), asetazolamid (Diamox), natrium bikarbonat.
Proteinuria sedang (500-4000 mg/24 jam) dapat berkaitan dengan glomerulonefritis akut atau kronis, nefropati toksik (toksisitas obat aminoglikosida, toksisitas bahan kimia), myeloma multiple, penyakit jantung, penyakit infeksius akut, preeklampsia. Proteinuria tinggi (lebih dari 4000 mg/24 jam) dapat berkaitan dengan sindrom nefrotik, glomerulonefritis akut atau kronis, nefritis lupus, penyakit amiloid.
Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh hematuria, tingginya substansi molekular, infus polivinilpirolidon (pengganti darah), obat, pencemaran urine oleh senyawa ammonium kuaterner (pembersih kulit, klorheksidin), urine yang sangat basa (pH > 8). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh urine yang sangat encer, urine sangat asam (pH di bawah 3).

Berdasarkan hasil percobaan, didapatkan perubahan warna pada kotak uji protein pada sampel urin wanita adalah kunig terang yang jika dibandingkan dengan skala warna di atas, maka hasilnya adalah negatif. Hal ini juga serupa dengan sampel urin pria. Artinya sampel urin pria maupun wanita dinyatakan tidak mengandung protein(tidak proteinuria).

Glukosa
Reagent strip untuk glukosa dilekati dua enzim, yaitu glukosa oksidase (GOD) dan peroksidase (POD), serta zat warna (kromogen) seperti orto-toluidin yang akan berubah warna biru jika teroksidasi. Zat warna lain yang digunakan adalah iodide yang akan berubah warna coklat jika teroksidasi.
Pemeriksaan glukosa dalam urin berdasarkan pada glukosa oksidase yang akan menguraikan glukosa menjadi asam glukonat dan hidrogen peroksida. Kemudian hidrogen peroksida ini dengan adanya peroksidase akan mengkatalisis reaksi antara kalium iodida dengan hidrogen proksidase menghasilkan H2O dan On (O nascens). O nascens akan mengoksidasi zat warna kalium iodida dalam waktu 10 detik membentuk warna biru muda, hijau sampai coklat.
Pada uji dengan strip hasil yang diperoleh berupa: negatif, trace(100 mg/dl), +1(250 mg/dl), +2(500 mg/dl), +3(1000 mg/dl), +4(<2000 mg/dl). Hasil negatif palsu pada pemeriksaan ini dapat disebabkan oleh bahan reduktor dalam urin seperti vitamin C (>40 mg/dl), asam homogentisat, aspirin serta bahan yang mengganggu reaksi enzimatik seperti levodova, gluthation dan obat-obatan seperti dyhyrone., berat jenis urin>1,020 dan terutama bila disertai dengan ph urin yang tinggi, adanya badan keton dapat mengurangi sensitivitas pemeriksaan, infeksi bakteri. Hasil uji positif palsu dapat disebabkan oleh bahan pengoksidasi (hidrogen peroksida, hipoklorit atau klorin) dalam wadah sampel urin atau urin yang sangat asam(pH di bawah 4). Adapun uji glukosa normal adalah negatif (<50 mg/dl).

Berdasarkan perubahan warna yang terjadi pada kotak uji(pads) reagent strip, yaitu terbentuk warna kuning pada kedua sampel urin pria dan wanita, maka dapat disimpulkan bahwa sampel urin kedua-duanya tidak mengandung glukosa dengan membandingkan warna pada pads dengan skala warna di atas.

Keton
Badan keton terdiri dari 3 senyawa, yaitu aseton, asam aseotasetat, dan asam β-hidroksibutirat, yang merupakan produk metabolisme lemak dan asam lemak yang berlebihan. Badan keton diproduksi ketika karbohidrat tidak dapat digunakan untuk menghasilkan energi yang disebabkan oleh : gangguan metabolisme karbohidrat (misalnya diabetes mellitus yang tidak terkontrol), kurangnya asupan karbohidrat (kelaparan, diet tidak seimbang : tinggi lemak – rendah karbohidrat), gangguan absorbsi karbohidrat (kelainan gastrointestinal), atau gangguan mobilisasi glukosa, sehingga tubuh mengambil simpanan asam lemak untuk dibakar.
Peningkatan kadar keton dalam darah akan menimbulkan ketosis sehingga dapat menghabiskan cadangan basa (misalnya bikarbonat, HCO3) dalam tubuh dan menyebabkan asidosis. Pada ketoasidosis diabetik, keton serum meningkat hingga mencapai lebih dari 50 mg/dl. Keton memiliki struktur yang kecil dan dapat diekskresikan ke dalam urin. Namun, kenaikan kadarnya pertama kali tampak pada plasma atu serum, kemudian baru urin. Ketonuria (keton dalam urin) terjadi akibat ketosis. Benda keton yang dijumpai di urin terutama adalah aseton dan asam asetoasetat.
Uji ketonuria dengan strip reagen (Ketostix atau strip reagen multitest) lebih sensitif terhadap asam asetoasetat daripada aseton. Berdasarkan reaksi antara asam asetoasetat dengan senyawa nitroprusida. Warna yang dihasilkan adalah coklat muda bila tidak terjadi reaksi, dan warna ungu untuk hasil yang positif.
Hasil yang diperoleh berupa negatif, trace(5 mg/dl), +1(15 mg/dl), +2(40 mg/dl), +3(80 mg/dl), +4(160 mg/dl). Hasil positif palsu dapat terjadi apabila urin banyak mengandung pigmen atau metabolit levodopa serta fenilketon. Urin yang mempunyai berat jenis tinggi, ph yang rendah dapat memberikan reaksi hingga terbaca hasil yang sangat sedikit (5 mg/dl). Untuk dewasa dan anak : uji keton negatif (kurang dari15 mg/dl).
Uji keton positif dapat dijumpai pada : Asidosis diabetic (ketoasidosis), kelaparan atau malnutrisi, diet rendah karbohidrat, berpuasa, muntah yang berat, pingsan akibat panas, kematian janin. Pengaruh obat : asam askorbat, senyawa levodopa, insulin, isopropil alkohol, paraldehida, piridium, zat warna yang digunakan untuk berbagai uji (bromsulfoftalein dan fenosulfonftalein). Diet rendah karbohidrat atau tinggi lemak dapat menyebabkan temuan positif palsu. Urin yang disimpan pada suhu ruangan dalam waktu yang lama dapat menyebabkan hasil uji negaif palsu serta adanya dalam urin dapat menyebabkan kehilangan asam asetoasetat. Anak penderita diabetes cenderung mengalami ketonuria daripada penderita dewasa.

Pada percobaan kali dengan uji keton pada sampel urin dengan menggunakan reagent strip, diperoleh perubahan warna pads pada strip uji keton yaitu menjadi berwarna kuning pucat. Jika warna yang terbentuk pada pads dibandingkan dengan skala warna di atas, maka warna pada pads masuk kategori negatif. Maka dapat disimpulkan bahwa pada sampel urin pria dan wanita tidak ditemukan adanya keton.

Urobilinogen
Empedu, yang sebagian besar dibentuk dari bilirubin terkonjugasi mencapai area duodenum, tempat bakteri usus mengubah bilirubin menjadi urobilinogen. Sejumlah besar urobilinogen berkurang di feses, sejumlah besar kembali ke hati melalui aliran darah; di sini urobilinogen diproses ulang menjadi empedu, dan kira-kira sejumlah 1% diekskresikan oleh ginjal ke dalam urin.
Ekskresi urobilinogen ke dalam urine kira-kira 1-4 mg/24jam. Ekskresi mencapai kadar puncak antara jam 14.00 – 16.00, oleh karena itu dianjurkan pengambilan sampel dilakukan pada jam-jam tersebut. Adapun nilai rujukan adalah sebagai berikut:
a.       Urin acak : negatif (kurang dari 2mg/dl>
b.      Urin 2 jam : 0.3 – 1.0 unit Erlich
c.       Urin 24 jam : 0.5 – 4.0 unit Erlich/24jam, atau 0,09 – 4,23 µmol/24 jam (satuan SI)
Peningkatan ekskresi urobilinogen dalam urine terjadi bila fungsi sel hepar menurun atau terdapat kelebihan urobilinogen dalam saluran gastrointestinal yang melebehi batas kemampuan hepar untuk melakukan rekskresi. Urobilinogen meninggi dijumpai pada : destruksi hemoglobin berlebihan (ikterik hemolitika atau anemia hemolitik oleh sebab apapun), kerusakan parenkim hepar (toksik hepar, hepatitis infeksiosa, sirosis hepar, keganasan hepar), penyakit jantung dengan bendungan kronik, obstruksi usus, mononukleosis infeksiosa, anemia sel sabit.
Hasil positif dapat diperoleh setelah olahraga atau minum atau dapat disebabkan oleh kelelahan atau sembelit. Orang yang sehat dapat mengeluarkan sejumlah kecil urobilinogen. Urobilinogen urine menurun dijumpai pada ikterik obstruktif, kanker pankreas, penyakit hati yang parah (jumlah empedu yang dihasilkan hanya sedikit), penyakit inflamasi yang parah, kolelitiasis, diare yang berat.
Pemeriksaan urobilinogen dalam urin berdasarkan reaksi antara urobilinogen dengan reagen Ehrlich (paradimethylaminobenzaldehiyde serta buffer asam). Intensitas warna yang terjadi dari jingga hingga merah tua, dibaca dalam waktu 60 detik. Warna yang timbul sesuai dengan peningkatan kadar urobilinogen dalam urin. Urin yang terlalu alkalis menunjukkan kadar urobilinogen yang lebih tinggi, sedangkan urin yang terlalu asam menunjukkan kadar urobilinogen yang lebih rendah dari seharusnya. Kadar nitrit yang tinggi juga menyebabkan hasil negatif palsu.

Perubahan warna terjadi pada uribilinogen untuk urin pria dan wanita. Keduanya setelah dilihat pada skala warna menunjukkan nilai normal. Hal tersebut berarti tidak ada indikasi gangguan hati/hepatitis.

Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kuning yang berasal dari perombakan heme dari hemoglobin dalam proses pemecahan eritrosit oleh sel retikuloendotel. Di samping itu sekitar 20% bilirubin berasal dari perombakan zat-zat lain. Sel retikuloendotel membuat bilirubin tidak larut dalam air; bilirubin yang disekresikan dalam darah harus diikatkan kepada albumin untuk diangkut dalam plasma menuju hati. Di dalam hati, hepatosit melepaskan ikatan itu dan mengkonjugasinya dengan asam glukoronat sehingga bersifat larut air. Proses konjugasi ini melibatkan enzim glukoroniltransferase.
Bilirubin terkonjugasi (bilirubin glukoronida atau hepatobilirubin) masuk ke saluran empedu dan diekskresikan ke usus. Selanjutnya flora usus akan mengubahnya menjadi urobilinogen dan dibuang melalui feses serta sebagian kecil melalui urin. Bilirubin terkonjugasi bereaksi cepat dengan asam sulfanilat yang terdiazotasi membentuk azobilirubin (reaksi van den Bergh), karena itu sering dinamakan bilirubin direk atau bilirubin langsung.
Bilirubin tak terkonjugasi (hematobilirubin) yang merupakan bilirubin bebas yang terikat albumin harus lebih dulu dicampur dengan alkohol, kafein atau pelarut lain sebelum dapat bereaksi, karena itu dinamakan bilirubin indirek atau bilirubin tidak langsung.
Jadi bila dalam urine ditemukan adanya peningkatan kadar bilirubin yang berlebih, dapat diduga pasien tersebut menunjukkan adanya gangguan pada hati (kerusakan sel hati) atau saluran empedu (batu atau tumor).

Eritrosit
Eritrosit merupakan bagian utama dari sel-sel darah. Setiap mm kubiknya darah pada seorang laki-laki dewasa mengandung kira-kira 5 juta sel darah merah dan pada seorang perempuan dewasa kira-kira 4 juta sel darah merah. Tiap-tiap sel darah merah mengandung 200 juta molekul hemoglobin.
Masa hidup eritrosit hanya sekitar 120 hari atau 4 bulan, kemudian dirombak di dalam hati dan limpa. Sebagian hemoglobin diubah menjadi bilirubin dan biliverdin, yaitu pigmen biru yang memberi warna empedu. Zat besi hasil penguraian hemoglobin dikirim ke hati dan limpa, selanjutnya digunakan untuk membentuk eritrosit baru. Kira-kira setiap hari ada 200.000 eritrosit yang dibentuk dan dirombak. Jumlah ini kurang dari 1% dari jumlah eritrosit secara keseluruhan.
Oleh karena itu, bila di dalam urine terdapat kandungan erytrosit adalah wajar, karena memang tubuh membuang sel-sel darah merah yang sudah mati keluar dari tubuh salah satunya melalui urine. Namun, bila jumlahnya sangat banyak diatas batas normal maka bisa saja pasien memiliki kerusakan pada bagian glomerulus di ginjal yang berfungi untuk menyaring zat-zat penting dari dalam darah.

Hemoglobin
Hemoglobin(Hb) merupakan suatu protein yang mengandung senyawa besi hemin. Hemoglobin mempunyai fungsi mengikat oksigen di paru-paru dan mengedarkan ke seluruh jaringan tubuh. Jadi, dapat dikatakan bahwa di paruparu terjadi reaksi antara hemoglobin dengan oksigen.
2 Hb2+ 4 O2 ==> 4 Hb O2 (oksihemoglobin)
Setelah sampai di sel-sel tubuh, terjadi reaksi pelepasan oksigen oleh Hb.
4 Hb O2 ==> 2 Hb2+ 4 O2
Kandungan hemoglobin inilah yang membuat darah berwarna merah.
Karena Hb merupakan bagian dari erytrosit, maka bila ditemukan jumlah Hb dalam urine diatas batas normal, maka bisa saja pasien mengalami kerusakan ginjal tepatnya pada bagian glomerulus.


VIII.   Kesimpulan
1.    Evaluasi skrining terhadap fungsi ginjal dapat dilakukan dengan cara urinanalisis menggunakan carik uji atau reagent strip.
2.    Dari hasil pemerikasaan disimpulkan bahwa pada sampel urin baik laki – laki maupun perempuan, semua parameter (protein, glukosa, eritrosit, leukosit, nitrit, keton, urobilinogen, bilirubin, bobot jenis, dan pH) menunjukkan nilai normal.





DAFTAR PUSTAKA


Budiyanto. 2013. Proses Pembentukan Urin Pada Ginjal. Tersedia di: http://budisma.web.id/materi/sma/biologi-kelas-xi/proses-pembentukan-urine-pada-ginjal/ [Akses tanggal 6 April 2013].
Djojodibroto, R.D. 2001. Seluk Beluk Pemeriksaan Kesehatan (Medical Check Up): Bagaimana Menyikapi Hasilnya. Pustaka Populer Obor. Jakarta.
Ethel, S. 2003. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Pemula. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi Keempat. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Medika. 2012. Pemeriksaan Urin. Tersedia di: http://www.biomedika. co.id/services/laboratorium/31/pemeriksaan-urin.html  [Akses tanggal 6 April 2013].
Ningsih, Suti. 2012. Proses Pembentukan Urin. Tersedia di: http://sutiningsih2/2012/12/proses_pembentukan_urin_15.html. [Akses tanggal 6 April 2013].
Scanlon, Valerie C. dan Tina Sanders. 2000. Buku Ajar Anatomi dan Fisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Uliyah, Musrifatul. 2008. Keterampilan Dasar Praktek Klinik. Salemba Medika. Jakarta.
Wulangi, Kartolo. 1990. Prinsip-prinsip Fisiologi Hewan. ITB Press. Bandung.