I.
TUJUAN
Mengetahui
laju disolusi tablet ranitidin sebagai salah satu tahap dalam evaluasi obat,
dalam hubungannya dengan kecepatan absorpsi pada saluran cerna dan
bioavaibilitas dalam tubuh.
II.
PRINSIP
Ø Prinsip
kerja alat uji disolusi
Sediaan obat dibiarkan tenggelam ke dasar
labu sebelum diaduk. Labu itu berbentuk silindris dengan dasar berbentuk
hemisferik. Suhu labu dipertahankan pada 37oC ± 0,5oC,
dengan penangas bersuhu tetap. Motor yang menggerakkan pengaduk diatur dengan
kecepatan yang ditentukan, kemudian cairan sampel diambil pada selang waktu
tertentu untuk menentukan jumlah obat di dalam cairan tersebut.
Ø Prinsip kerja alat
Spektrofotometri
Penyerapan panjang
gelombang dengan metode penyebaran spektrum
III.
TEORI
Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat
fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya
ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan
zat aktif dari bentuk sediaan biasanya ditentukan oleh kecepatan melarutnya
dalam media sekelilingnya.
Disolusiadalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan
transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan menyeluruh ke pelarut
dari permukaan padat.
Teori disolusi yang umum adalah:
1. Teori
film (model difusi lapisan)
2. Teori
pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi)
3. Teori Solvasi
terbatas/Inerfisial
Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk
sediaan utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri.
Kecepatan disolusi zat aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya
didefinisikan sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi per unit waktu di bawah
kondisi antar permukaan padat-cair, suhu dan kompisisi media yang dibakukan. Kecepatan
pelarutan memberikan informasi tentang profil proses pelarutan persatuan waktu.
Hukum yang mendasarinya telah ditemukan oleh Noyes dan Whitney sejak tahun 1897
dan diformulasikan secara matematik.
Pada
peristiwa melarut sebuah zat padat disekelilingnya terbentuk lapisan tipis
larutan jenuhnya, darinya berlangsung suatu difusi suatu ke dalam bagian sisa
dari larutan di sekelilingnya. Untuk peristiwa melarut di bawah pengamatan
kelambatan difusi ini dapat menjadi persamaan dengan menggunakan hukum difusi. Dengan
mensubtitusikan hukum difusi pertama Ficks ke dalam persamaan Hernsi Brunner
dan Bogoski, dapat memberikan kemungkinan perbaikan kecepatan pelarutan
secara konkret.
Kecepatan pelarutan berbanding
lurus dengan luas permukaan bahan padat, koefisien difusi, serta berbanding
lurus dengan turunnya konsentrasi pada waktu t. Kecepatan pelarutan ini juga berbanding
terbalik dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan zat aktif dari suatu produk
obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan.
Ketersediaan zat aktif ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari
bentuk sediaan, dimana pelepasan zat aktif ditentukan oleh kecepatan melarutnya
dalam media sekelilingnya.
Lapisan difusi adalah lapisan molekul-molekul air yang tidak bergerak oleh
adanya kekuatan adhesi dengan lapisan padatan. Lapisan ini juga dikenal sebagai
lapisan yang tidak teraduk atau lapisan stagnasi. Tebal lapisan ini bervariasi
dan sulit untuk ditentukan, namun umumnya 0,005 cm (50 mikron) atau kurang.
Hal-hal dalam persamaan Noyes Whitney yang
mempengaruhi kecepatan melarut:
Ø Kenaikan
dalam harga A menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Ø Kenaikan
dalam harga D menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Ø Kenaikan
dalam harga Cs menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Ø Kenaikan
dalam harga Ct menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Ø Kenaikan
dalam harga d menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Hal-hal lainnya yang juga dapat mempengaruhi
kecepatan melarut adalah :
a. Naiknya
temperatur menyebabkan naiknya Cs dan D
b. Ionisasi obat (menjadi
spesies yang lebih polar) karena perubahan pH akan menaikkan nilai Cs.
Uji hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah
menjadi partikel-partikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut
menjadi lebih luas, dan akan berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan
tubuh. Namun, sebenarnya uji hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan
tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan
jaminan bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan
dengan kecepatan yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan
uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari
obat-obat bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah dalam saluran pencernaan
sering ditetapkan dengan laju larut obat dalam tablet.
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka
kecepatan obat dan tablet melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju
larut dapat berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dan perbedaan
bioavaibilitas dari berbagai formula. Karena itu, dilakukannya evaluasi
mengenai apakah suatu tablet melepas kandungan zat aktifnya atau tidak bila
berada di saluran cerna, menjadi minat utama dari para ahli farmasi.
Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula
tablet diperoleh dengan mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada
berbagai alasan mengapa penggunaan in vivo menjadi sangat
terbatas, yaitu lamanya waktu yang diperlukan untuk merencanakan, melakukan,
dan mengitepretasi; tingginya keterampilan yang diperlukan bagi pengkajian pada
manusia.; ketepatan yang rendah serta besarnya penyimpangan pengukuran;
besarnya biaya yang diperlukan; pemakaian manusia sebagai obyek bagi
penelitian yang “nonesensial”; dan keharusan menganggap adanya hubungan yang
sempurna antara manusia yang sehat dan tidak sehat yang digunakan dalam uji.
Dengan demikian, uji disolusi secara in vitro dipakai dan
dikembangkan secara luas, dan secara tidak langsung dipakai untuk mengukur bioavabilitas
obat, terutama pada penentuan pendahuluan dari faktor-faktor formulasi dan
berbagai metoda pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi bioavaibilitas.
Seperti pada setiap uji in vitro, sangat penting untuk
menghubungkan uji disolusi dengan tes bioavaibilitas in vitro. Ada dua
sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk
menunjukkan :
1. Penglepasan
obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%
2. Laju
penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama
dengan laju penglepasan dari batch yang telah dibuktikan
bioavaibilitas dan efektif secara klinis.
Tes
kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif dari
satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui
sebagai indikator kualitas dan dapat memberikan informasi sangat berharga
tentang konsistensi dari “batch” satu ke “batch” lainnya. Tes disolusi ini
didesain untuk membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di dalam
suatu sediaan pada kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi.
Kecepatan
disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan
sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif
yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap
kecepatan dan besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin
cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul,
serbuk, suppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan emulsi), atau
sediaan-sediaan semisolid (salep,krim,pasta) mengalami disolusi dalam
media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi
sistemik.
Kecepatan
disolusi dalam berbagai keadaan dapat menjadi tahap pembatasan kecepatan zat
aktif ke dalam cairan tubuh. Apabila zat padat ada dalam saluran cerna, mama
terdapat dua kemungkinan tahap pembatasan kecepatan zat aktif tersebut, yaitu :
² Zat aktif mula-mula harus larut
² Zat aktif harus dapat melewati membrane saluran cerna
Analisis kecepatan
disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis yang penting dalam
pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis
disolusi telah masuk persyaratan wajib USP untuk persyaratan tablet dan kapsul,
sejak tahun 1960. Berbagai studi telah berhasil dalam korelasi
disolusi invivo dengan disolusi invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu
peramal koefisien terapi, tetapi disolusi lebih merupakan parameter mutu yang
dapat memberikan informasi berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu
produk.
Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk
mengevaluasi dan menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan :
a) Untuk mengetahui
kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada dalam model disolusi dapat
berarti atau berpengaruh dalam proses invivo apabila dikembangkan suatu model
yang berhasil meniru situasi invivo
b) Untuk menyaring zat
aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan sifat disolusi dan
absorbsinya sesuai.
c) Sistem uji disolusi
invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian mutu untuk produk akhir.
d) Menjamin kesetaraan
hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari bentuk sediaan solid apabila
korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan hayati telah ditetapkan.
e) Metode yang baik sekali
dan handal untuk memantau proses formulasi dan manufaktur.
f) Penetapan kecepatan
disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat disolusi zat aktif yang baru.
g) Agar sistem disolusi
invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat sistem invivo sampai
tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai. Oleh karena itu keuntungan
dalam biaya, tenaga kerja, kemudahan dapat diberikan dengan penggunaan sistem.
Disolusi dapat terjadi
langsung pada permukaan tablet, dari granul-granul bilamana tablet telah pecah
atau dari partikel-partikel halus bilamana granul-granul telah pecah. Pada
tablet yang tidak berdesintegrasi, kecepatan disolusinya ditentukan oleh proses
disolusi dan difusi. Namun demikian, bagi tablet
yang berdesintegrasi, profil disolusinya dapat menjadi sangat berbeda
tergantung dari apakah desintegrasi atau disolusinya yang menjadi penentu
kecepatan.
1.Suhu
Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh lima persen
dapat disebabkan oleh adanya perbedaan suhu satu derajat.
2.Medium
Media yang paling umum adalah air, buffer dan 0,1 N HCl. Dalam
beberapa hal zat tidak larut dalam larutan air, maka zat organik yang dapat
merubah sifat ini atau surfaktan digunakan untuk menambah kelarutan. Gunanya
adalah untuk membantu kondisi “sink” sehinggan kelarutan obat di dalam medium
bukan merupakan faktor penentu dalam proses disolusi. Untuk mencapai keadaan
“sink” maka perbandingan zat aktif dengan volume medium harus dijaga tetap pada
kadar 3-10 kali lebih besar daripada jumlah yang diperlukan bagi suatu larutan
jenuh.
Masalah yang mungkin mengganggu adalah adanya gas dari medium
sebelum digunakan. Gelembung udara yang terjadi dalam medium karena suhu naik
dapat mengangkat tablet, sehingga dapat menaikkan kecepatan melarut.
3.Kecepatan Perputaran
Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat
kelarutan. Umumnya kecepatan pengadukan adalah 50 atau 100 rpm. Pengadukan di
atas 100 rpm tidak menghasilkan data yang dapat dipakai untuk membeda-bedakan
hasil kecepatan melarut. Bilamana ternyata bahwa kecepatan pengadukan perlu
lebih dari 100 rpm maka lebih baik untuk mengubah medium daripada menaikkan
rpm. Walaupun
4% penyimpangan masih diperbolehkan, sebaiknya dihindarkan.
4.Ketepatan Letak
Vertikal Poros
Disini termasuk tegak lurusnya poros putaran dayung atau
keranjang, tinggi dan ketepatan posisi dayung/ keranjang yang harus sentris.
Letak yang kurang sentral dapat menimbulkan hasil yang tinggi, karena hal ini
akan mengakibatkan pengadukan yang lebih hebat di dalam bejana.
5. Goyangnya poros
Goyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi karena
dapat menimbulkan pengadukan yang lebih besar di dalam medium. Sebaiknya
digunakan poros dan bejana yang sama dalam posisi sama bagi setiap percobaan
karena masalah yang timbul karena adanya poros yang goyang akan dapat lebih
mudah dideteksi.
6. Vibrasi
Bilamana vibrasi timbul,
hasil yang diperoleh akan lebih tinggi. Hampir semua masalah vibrasi berasal
dari poros motor, pemanas penangas air atau adanya penyebab dari luar. Alas
dari busa mungkin dapat membantu, tetapi kita harus hati-hati akibatnya yaitu letak
dan kelurusan harus dicek.
7. Gangguan pola aliran
Setiap hal yang mempengaruhi pola aliran di dalam bejana disolusi dapat
mengakibatkan hasil disolusi yang tinggi. Alat pengambil cuplikan serta adanya
filter pada ujung pipet selama percobaan berlangsung dapat merupakan
penyebabnya.
8. Posisi pengambil
cuplikan
Posisi yang dianjurkan untuk pengambilan cuplikan adalah di antara bagian
puncak dayung (atau keranjang) dengan permukaan medium (code of GMP). Cuplikan
harus diambil 10-25 mm dari dinding bejana disolusi, karena bagian ini
diperkirakan merupakan bagian yang paling baik pengadukannya.
9. Formulasi bentuk sediaan
Penting untuk diketahui bahwa hasil kecepatan melarut yang aneh tidaklah selalu
disebabkan oleh masalah peralatan saja, tetapi beberapa mungkin juga disebabkan
oleh kualitas atau formulasi produknya sendiri. Beberapa faktor yang misalnya
berperan adalah ukuran partikel dari zat berkhasiat, Mg stearat yang berlebih
sebagai lubrikan, penyalutan terutama dengan shellak dan tidak memadainya zat
penghancur. Ada juga yang menambahkan faktor kekerasan tablet.
10. Kalibrasi alat disolusi
Kalibrasi alat disolusi selama ini banyak diabaikan orang, ternyata hal ini
merupakan salah satu faktor yang paling penting. Tanpa
melakukannya tidak dapat kita melihat adanya kelainan pada alat. Untuk mencek
alat disolusi digunakan tablet khusus untuk kalibrasi yaitu tablet prednisolon
50 mg dari USP yang beredar di pasaran. Tes dilakukan pada kecepatan dayung atau
keranjang 50 dan 100 rpm. Kalibrasi harus dilakukan secara teratur minimal
setiap enam bulan sekali.
Perbaikan kelarutan
Untuk
menghasilkan kerja terapetik yang optimal maka kelarutan bahan obat dalam
konsentrasi yang memadai seringkali menjadi persyaratan penting. Prinsip untuk perbaikan
kelarutan:
v Usaha Teknis
a
Penghalusan
Melalui penghalusan, yang mengarahkan kepada pembesaran permukaan yang tidak
terelakkan, dapat sangat mendukung kepada suatu perbaikan perbandingan
kelarutan. Hal tersebut berlaku terutama untuk bahan
suakr larut, dimana dapat diperlukan suatu mikronisasi.
b.
Pengeringan sembur
Pada pengeringan sembur dari larutan cair umumnya membentuk pola berongga
920-200 μm),
yang memiliki suatu karakter busa kering dan disebabkan oleh pembesaran
permukaan yang dihasilkan dengan demikian, memberikan suatu kelarutan yang
cepat.
a. Pemancang sembur
Peningkatan kecepatan
melarut bahan obat sangat sukar larut dihasilkan melalui semburannya
bersama-sama dengan polimer hidrofil (metilselulosa, natrium karboksi
metilselulosa, polietilenglikol, polivinilpirolidon). Meningkatnya kecepatan
melarut terdapat dalam perbandingan langsung terhadap bagian bahan aktif yang
terdapat secara kristalografis amof dalam produk sembur.
b. Pemancang leburan,
kopresipitas
Juga melalui leburan
bersama suatu bahan obat dengan suatu bahan pembawa (misalnya polietilenglikol
6000 atau urea) dan akhirnya leburan dibekukan (pemancang leburan) dapat
meningkatkan kelarutan.
c. Penarikan pada pembawa
padat
Dengan prosedur teknik
ini juga dapat dihasilkan suatu peningkatan nyata kecepatan melarut pada suatu
deret bahan obat sukar larut (misalnya digitoksin, benzokain).
v Pembentukan garam larut air
Metode yang telah lama
digunakan ini dijumpai penggunaannya secara luas pada bahan obat base seperti
alkaloida (misalnya pilokarpin hidroklorida, morfin hidroklorida) dan asam
(misalnya natrium benzoat).
v Pemasukan gugus polar ke dalam molekul
Untuk penghidrofiliksasian
dapat dimasukkan gugus polar ke dalam molekul. Hal tersebut berlangsung melalui
karboksilasi, sulfurisasi, sulfonisasi, aminsai, amidasi, metansulfonisasi
hidroksilasi, alkilasi, polioksietilasi dan sebagiannya.
v Pembentukan kompleks
Pembentukan kompleks
sering dikaitkan dengan suatu perubahan sifat yang lebih penting dari baha
obat, seperti ketetapan, daya resorpsinya, dan tersatukannya, sehingga dalam
setiap kasus diperlukan suatu pengujian yang cermat dan cocok.
v Penambah senyawa hidrotropi
Efek yang dinyatakan
sebagai hidrotropi pada hakekatnya adalah diarahkan kembali
terhadap efektifnya ikatan jembatan hidrogen, sebagian terdapat pembentukan
kompleks dan terhadap turunnya tergangan permukaan.
v Penglarutan dari larutan tensid
Pada bahan yang
nyata-nyata hidrofob (misalnya fenasetin, propifenazon) suatu penghalusan
partikel tidak mengarahkan kepada suatu peningkatan, melainkan kepada suatu
penurunan dari perbandingan kelarutannya. Hal ini mempunyai penyebabnya, bahwa
dengan berlangsungnya pembesaran permukaan sekaligus batas antarpermukaan yang
tidak dapat dibasahi meninggi, di mana masuknya ke dalam larutan sangat
dihambat.
v Pensolubilisasian
Pensolubilisasian adalah
suatu perbaikan kelarutan melalui senyawa aktif permukaan, yang pada tempatnya,
untukmerubah bahan obat kurang larut air atau bahan obat tak larut air menjadi
larutan dalam air jernih, setinggi-tingginya beropalesensi, tanpa menjalani
suatu perubahan struktur kimia obat.
Merupakan
H2-Blocker pertama yang menduduki reseptor histamin H2 di
mukosa lambung yang memicu produksi asam lambung. Penggunaanya pada terapi dan
profilaksis lambung-usus, reflux oesophagitis ringan sampai sedang, dan
sindroma Zollinger-Ellison. Efek samping jarang terjadi dan
berupa diare (sementara), nyeri otot, pusing-pusing dan reaksi kulit.
Senyawa furan ini daya menghambat terhadap sekresi asam lebih kuat daripada
simetidin, tetapi lebih ringan dibandingkan penghambat pompa proton (omeprazol,
dll).
Bioavailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral hanya 50% dan meningkat
pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira0kira 1,7 – 3 jam pada orang
dewasa, dan memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal.
IV. ALAT dan
BAHAN
a. Alat-alat
yang digunakan, yaitu :
1. Alat
uji disolusi
2. Alat
Spektrofotometri
b. Bahan-bahan
yang digunakan yaitu :
1. Tablet
Ranitidin
2. Baku pembanding Ranitidin
V.
PROSEDUR
1. Dicari
panjang gelombang serapan maksimum untuk baku pembanding ranitidin.
2. Sebuah
tablet dicelupkan ke dalam medium aquadest sampai ke dasar yang terdapat dalam
labu sebanyak 900mL, suhu dipertahankan pada 37 ± 0,5oC,
motor diatur pada kecepatan konstan 50 rpm. Kemudian cairan sample diambil pada
selang waktu ke-0 menit, 1 menit, 5 menit, 10 menit , 20 menit, 30 menit, 45
menit, dan 50 menit untuk menentukan jumlah obat dalam cairan itu. Ganti
kehilangan air pada setiap pengambilan cuplikan
3.
Encerkan 1 mL dari setiap cuplikan menjadi 10 mL dengan medium dan tentukan
absorbansinya pada lamda (panjang gelombang) maksimum yang didapat pada
percobaan.
4. Untuk
menentukan kadar obat maka digunakan alat spektrophotometri dengan mengukur
tingkat absorbansi-nya.
5. Dilakukan
sampai dengan batas waktu 50 menit.
VI. DATA
PENGAMATAN
Pembuatan
larutan baku standar Ranitidine
* Pembuatan
larutan Ranitidine 100
ppm
100
ppm = 100 mg/L = 50 mg/500ml
* Pembuatan
larutan Ranitidine 5
ppm
V1. N1 =
V2. N2
V.100 ppm = 20ml. 5ppm
V = 1 ml
volume aquadest yang ditambahkan 20 ml – 1 ml = 19 ml
* Pembuatan
larutan Ranitidine 4
ppm
V1. N1 =
V2. N2
V.100 ppm = 25ml. 4ppm
V = 1 ml
volume aquadest yang ditambahkan 25 ml
– 1 ml = 24 ml
* Pembuatan
larutan Ranitidine 2
ppm
V1. N1 =
V2. N2
V.100 ppm = 50ml. 2ppm
V = 1 ml
volume aquadest yang ditambahkan 50
ml - 1 ml = 49 ml
* Pembuatan
larutan Ranitidine 1
ppm
V1.
N1 =
V2. N2
V.100 ppm = 100ml. 1ppm
V = 1 ml
volume aquadest yang ditambahkan 100
ml - 1 ml = 99 ml
Pembuatan kurva
baku dengan λ 314 nm
Konsentrasi (ppm)
|
Absorbansi
|
0.00
|
0.000
|
1.00
|
0.072
|
2.00
|
0.115
|
4.00
|
0.152
|
5.00
|
0.174
|
100.00
|
1.75
|
Y = ax + b
Persamaan
linier yang didapat dari gafik
Y =
0,0167x +
0,0779
Waktu
|
Absorban
|
Kadar (ppm)
|
0
|
0.14
|
3.7186
|
1
|
0.19
|
6.71
|
3
|
0.3
|
132.994
|
5
|
0.36
|
168.92
|
10
|
0.535
|
273.71
|
20
|
0.64
|
336.586
|
30
|
0.635
|
333.59
|
45
|
0.675
|
357.54
|
50
|
0.675
|
357.54
|
Perhitungan
konsentrasi obat (dalam ppm)
Y =
ax + b
Y = absorbansi; x = konsentrasi
Dari grafik diketahui, a = 0,0167 dan b = 0.0779
Konsentrasi
pada tiap selang waktu, rumusnya :
Untuk t = 0 menit
X = 0.14-0.0779
= 3.7186 ppm
0.0167
Untuk t = 1 menit
X = 0.19-0.0779
= 6.71 ppm
0.0167
Untuk t = 3 menit
X = 0.3-0.0779
= 13.2994 ppm
0.0167
Karena dilakukan pengenceran 10x maka
konsentrasi yang diperoleh juga dikali 10, sehingga pada t = 3 menit
konsentrasinya adalah 132.994 ppm
Untuk t = 5 menit
X = 0.36-0.0779
= 16.892 ppm
0.0167
Karena dilakukan pengenceran 10x maka
konsentrasi yang diperoleh juga dikali 10, sehingga pada t = 5 menit
konsentrasinya adalah 168.92 ppm
Untuk t = 10 menit
X = 0.535-0.0779
= 27.371 ppm
0.0167
Karena dilakukan pengenceran 10x maka konsentrasi
yang diperoleh juga dikali 10, sehingga pada t = 10 menit konsentrasinya adalah
273.71 ppm
Untuk t = 20 menit
X = 0.64-0.0779
= 33.6586 ppm
0.0167
Karena dilakukan pengenceran 10x maka
konsentrasi yang diperoleh juga dikali 10, sehingga pada t = 20 menit
konsentrasinya adalah 336.586 ppm
Untuk t = 30 menit
X = 0.635-0.0779
= 33.359 ppm
0.0167
Karena dilakukan pengenceran 10x maka
konsentrasi yang diperoleh juga dikali 10, sehingga pada t = 30 menit konsentrasinya
adalah 333.59 ppm
Untuk t = 45 menit
X = 0.675-0.0779
= 35.754 ppm
0.0167
Karena dilakukan pengenceran 10x maka
konsentrasi yang diperoleh juga dikali 10, sehingga pada t = 45 menit
konsentrasinya adalah 357.54ppm
Untuk t = 50 menit
X = 0.675-0.0779
= 35.754 ppm
0.0167
Karena dilakukan pengenceran 10x maka
konsentrasi yang diperoleh juga dikali 10, sehingga pada t = 50 menit
konsentrasinya adalah 357.64 ppm
VII. PEMBAHASAN
Agar
suatu obat dapat masuk ke dalam sirkulasi darah dan menghasilkan efek terapeutik, obat tersebut tentunya harus memiliki daya hancur yang baik dan
laju disolusi yang relatif cukup cepat. Dalam percobaan ini, dilakukan uji
disolusi terhadap tablet Simetidin. Dalam percobaan ini, tidak didapatkan data
serapan dari masing-masing konsentrasi sampel yang diukur.
Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang
tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali
pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah.
Alat
yang digunakan pada uji disolusi kali ini berbentuk dayung yang terletak tepat
di tengah-tengah media agar tidak terjadi turbulensi aliran. Tinggi dasar
dayung ke dasar media adalah 2,5 cm tujuannya untuk memperkecil kemungkinan
tablet melayang-layang antara dasar media dengan dasar dayung bergesekan
dengan alat uji (dayung).
Langkah pertama yang dilakukan dalam percobaan ini adalah membuat kurva baku
dari zat ranitidin. Seperti sudah diketahui bahwa panjang gelombang maksimum
untuk ranitidin adalah 314 nm sehingga dilakukan pengukuran absorbansi zat
dengan berbagai variasi konsentrasi pada λmaksimum tersebut. Dalam
percobaan ini dibuat variasi konsentrasi zat sebesar 1 ppm, 2 ppm, 4 ppm, 5
ppm, dan 100 ppm. Serbuk ranitidine diambil sebanyak 50 mg lalu dilarutkan di
dalam air sebanyak 500ml untuk memperoleh konsentrasi sebesar 100 ppm. Dari
konsentrasi sebesar 100 ppm tersebut kemudian dilakukan pengenceran hingga
diperoleh variasi konsentrasi yang diinginkan.
Setelah semua variasi konsentrasi selesai dibuat maka dilakukan pengukuran
serapan/absorbansi dengan spektroskopi sinar UV. Saat pengukuran sampel dengan
spektrofotometer ultraviolet, kuvet yang akan digunakan dikalibrasi terlebih
dahulu. Pertama, kuvet diisi dengan aquadest, lalu disesuaikan nilai
absorbansinya hingga menunjukkan angka nol. Tujuan melakukan kalibrasi adalah
untuk menghindari kesalahan perhitungan konsentrasi. Kuvet dibilas dengan
larutan yang akan dihitung konsentrasinya sebanyak tiga kali, sehingga kuvet
hanya berisi larutan uji tanpa pengotor. Adanya
pengotor dapat menyamarkan perhitungan konsentrasi karena pengotor dapat
memberikan absorbansi. Sebelum dimasukkan ke dalam spektrofotometer
ultraviolet, kuvet dibersihkan menggunakan kertas tissue bersih. Jika tidak
dibersihkan, mungkin pengotor yang berasal dari praktikan, seperti uap
air dapat menempel pada kuvet dan memberikan absorbansi, sehingga hasil
akhir absorbansi dapat keliru.
Pengukuran
dilakukan pada λ maksimum supaya dihasilkan serapan yang maksimum
juga. Untuk melakukan pengukuran dengan metode spektrofotometri UV, sampel
dimasukkan ke dalam kuvet. Alat spektrofotometri yang digunakan memiliki dua
tempat kuvet (double beam). Kuvet pertama berfungsi untuk tempat blanko. Kuvet
kedua berfungsi untuk tempat sampel. Sampel kemudian diukur absorbansinya.
Pengukuran absorbansi hendaknya dimulai dari sampel yang konsentrasinya kecil
agar tidak mempengaruhi pengukuran konsentrasinya lainnya. Setiap akan
mengganti sampel dengan konsentrasi yang berbeda, kuvet hendaknya dibilas
dengan larutan sampel agar tidak ada sisa sampel yang sebelumnya yang dapat
mempengaruhi nilai dari absorbansi.
Setelah dilakukan pengukuran absorbansi dengan berbagai variasi konsentrasi
senyawa baku, maka dari data yang ada dibuat persamaan regresi linearnya.
Persamaan regresi linear yang didapat dari hasil pengukuran adalah y = 0.0167x
+ 0.0779. Persamaan regresi linear yang didapat ini nantinya digunakan untuk
mencari konsentrasi tablet ranitidine yang telah diukur absorbansinya dengan
spektrofotometer UV.
Tablet ranitidine kemudian diuji disolusi dengan alat disolusi dengan
menggunakan tipe dayung. Sebanyak 1 tablet ranitidine 150 mg dimasukkan ke
dalam alat yang diisi aquades sebanyak 900 ml. Alat dayung kemudian dijalankan
dan rpm di set pada angka 50rpm, kemudian pada menit ke 0, 1, 3, 5, 10, 20, 30,
45, dan 50 diambil cuplikan sampel dengan alat penghisap sebanyak 10 ml. Cuplikan
sampel dimasukkan ke dalam botol vial untuk kemudian diukur
absorbansinya. Pada cuplikan sampel mulai menit ke 3 hingga ke 50
dilakukan pengenceran 10 kali karena cuplikan sampel yang diukur memberikan
serapan yang sangat besar hingga tidak terdeteksi pada alat spektrofotometer
UV. Pengenceran dilakukan dengan cara mengambil sebanyak 1 ml cuplikan
sampel, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml lalu ditambahkan aquades hingga
batas labu ukur.
Pada saat dilakukan pengukuran absorbansi cuplikan dengan spektrofotometer,
prosedur yang dilakukan sama dengan prosedur ketika melakukan pengukuran
terhadap larutan baku. Langkah pertama yaitu meng-nol kan blanko yaitu pelarut,
dan setelah itu melakukan pengukuran absorbansi sampel. Ketika akan mengganti sampel,
kuvet juga terlebih dahulu harus dibilas dengan larutan yang akan diuji untuk
meminimalisir kontaminasi dari zat-zat lain sebanyak tiga kali.
Kuvet yang digunakan dalam percobaan ini memiliki 2 macam sisi, yaitu yang
halus dan yang kasar. Bagian yang halus nantinya akan disinari oleh sinar UV
sehingga pada bagian tersebut tidak boleh tersentuh tangan. Alasan tidak boleh
tersentuh oleh tangan karena dikhawatirkan akan ada kotoran yang berasal dari
tangan (berupa keringat ataupun lemak lainnya) yang menempel pada kuvet
yang nantinya dapat mempengaruhi/mengganggu hasil dari pengukuran
absorbansi karena kontaminan yang ada akan ikut memberikan serapan.
Setelah
semua cuplikan sampel diukur absorbansinya, maka hasil absorbansi yang didapat
diplotkan ke dalam persamaan regresi linier untuk dicari konsentrasi pada
masing-masing cuplikan. Hasil yang didapat adalah konsentrasi pada menit 0
sebesar 3,7186 ppm; pada menit 1 sebesar 6.71ppm; pada menit 3 sebesar 132.994;
pada menit 5 sebesar 168.92 ppm; pada menit 10 sebesar 273.92 ppm; pada menit
20 sebesar 336.586 ppm; pada menit 30 sebesar 333.59 ppm; pada menit 45 sebesar
357.94 ppm; pada menit 50 sebesar 357.94 ppm. Konsentrasi yang didapat
menunjukkan peningkatan dari menit ke menit karena semakin lama tablet akan
hancur dan bercampur dengan aquades dan meningkat konsentrasinya. Hasil
konsentrasi yang diperoleh kemudian dibuat grafik disolusi ranitidine yaitu
grafik konsentrasi terhadap waktu.
Ketidaktepatan
dalam percobaan dapat diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu :
- Ketidaktepatan
pembuatan larutan simetidin standar
- Pengenceran
larutan sampel yang tidak akurat
- Ketidaktepatan
penimbangan
- Kesalahan
pembacaan pada penggunaan spektrofotometer
- Faktor
lingkungan
VIII. KESIMPULAN
Tablet
ranitidin memiliki laju disolusi yang cukup baik, hal ini ditunjukkan dengan
kurva laju disolusi ranitidin yang hampir sama dengan kurva laju disolusi zat
yang seharusnya
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Syarif.dr, dkk.2007. Farmakologi
dan Terapi. Edisi kelima.
Jakarta:
Gaya Baru
Ansel, C Howard. 1989. Pengantar
Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat.
Penerjemah
Farida Ibrahim. Jakarta : Universitas Indonesia Press.
Anonymous. 2002. United
State Pharmacopeia 25. Volume 2. Washington DC : USP
Convention, Inc.
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan. Departemen Kesehatan. 1995. Farmakope Indonesia.
Edisi ke-4. Jakarta : Departemen Kesehatan.
Lachman,
Leon, Lieberman, Hebert, Kahig, Joseph. 1994. Teori
dan
Praktek Farmasi Industri. Edisi
ketiga. Penerjemah Siti Suyatmi. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi
dan Farmakokinetika Terapan.
Edisi II. Penerjemah Dr.
Fasich, Apt. dan Dra. Siti Sjamsiah, Apt. Surabaya :
Airlangga University Press.
Tjay, Hoan Tan dan Kirana
Rahardja. 2002. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek
Sampingnya. Edisi kelima. Cetakan kedua. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia
Voigt, 1995. Buku Pelajaran Teknologi
Farmasi. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Press.