BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sebagai
mahasiswa farmasi, sudah seharusnya kita mengetahui hal-hal yang berkaitan
dengan obat, baik dari segi farmasetik, farmakodinamik, farmakokinetik, dan
juga dari segi farmakologi. Kali ini kami akan membahas dalam bab farmakologi
obat dengan sub-bab rute pemberian obat. Adapun yang melatar belakangi
pengangkatan materi adalah agar kita dapat mengetahui kaitan antara rute
pemberian obat dengan waktu cepatnya reaksi obat yang ditampakkan pertama kali.
B. Tujuan percobaan
Adapun
tujuan yang diharapkan dalam praktikum ini adalah :
Ø Mahasiswa mengetahui beberapa hewan yang
dapat digunakan untuk pengujian obat
Ø Mahasiswa dilatih untuk mengetahui cara
pemberian obat
Ø Mahasiswa dilatih untuk mengetahui bagaimana
pengaruh obat yang diberikan secara berbeda rute pemberian
C. HIPOTESIS
· Metode yang paling baik di gunkan
adalah peroral karna dapar di peroleh efek yang
sistemik yaitu obat beredar ke seluruh tubuh
· Urethan menimbulkan efek anaestasi,
menurunkan aktifitas, dan membuat mengantuk
· Menurut literatur, pemberian obar
secara oral merupakan cara pemberian obar secara umum dilakukan karena mudah,
aman, dan murah.
BAB
2
TINJAUAN
PUSTAKA
Ditinjau
dari segi sistem pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana faktor
keturunan dan lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang
terlihat/karakteristik hewan percobaan, maka ada 4 golongan hewan, yaitu
1).
Hewan liar.
2).
Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka.
3).
Hewan yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan
sistim barrier (tertutup).
4).
Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang dipelihara
dengan sistem isolator Sudah barang tentu penggunaan hewan percobaan tersebut
di atas disesuaikan dengan macam percobaan biomedis yang akan dilakukan.
Semakin meningkat cara pemeliharaan, semakin sempurna pula hasil percobaan yang
dilakukan. Dengan demikian, apabila suatu percobaan dilakukan terhadap hewan
percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda bila menggunakan hewan percobaan
konvensional ilmiah maupun hewan yang bebas kuman (Sulaksonono, M.E., 1987).
D. Dasar teori
Rute pemberian obat ( Routes of
Administration ) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat,
karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda
pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah
suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat
di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang
dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung
dari rute pemberian obat (Katzug, B.G, 1989).
Memilih rute penggunaan obat
tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab
itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
a.
Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik
b.
Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama
c.
Stabilitas obat di dalam lambung atau usus
d.
Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute
e.
Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter
f.
Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-macam
rute
Bentuk
sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang
diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi
obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik.
Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran
darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat misalnya salep
(Anief, 1990).
Efek
sistemik dapat diperoleh dengan cara:
a.
Oral melalui saluran gastrointestinal atau rectal
b.
Parenteral dengan cara intravena, intra muskuler dan subkutan
c.
Inhalasi langsung ke dalam paru-paru.
Efek lokal dapat diperoleh dengan cara:
a.
Intraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan ada mata, hidung,
telinga
b.
Intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru
c.
Rektal, uretral dan vaginal, dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur, saluran
kencing dan kemaluan wanita, obat meleleh atau larut pada keringat badan atau
larut dalam cairan badan
Rute
penggunaan obat dapat dengan cara:
a.
Melalui rute oral
b.
Melalui rute parenteral
c.
Melalui rute inhalasi
d.
Melalui rute membran mukosa seperti mata, hidung, telinga, vagina dan
sebagainya
e.
Melalui rute kulit
(Anief,
1990).
Cara pemberian obat melalui oral
(mulut), sublingual (bawah lidah), rektal (dubur) dan parenteral tertentu,
seperti melalui intradermal, intramuskular, subkutan, dan intraperitonial, melibatkan
proses penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian secara parenteral yang
lain, seperti melalui intravena, intra-arteri, intraspinal dan intraseberal,
tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung masuk ke peredaran darah dan
kemudian menuju sisi reseptor (receptor site) cara pemberian yang lain adalah
inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui kulit atau mata. Proses
penyerapan dasar penting dalam menentukan aktifitas farmakologis obat.
Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan memperngaruhi
aktifitas obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan ( Siswandono dan Soekardjo,
B., 1995).
Penggunaan hewan percobaan dalam
penelitian ilmiah dibidang kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan tahun
yang lalu. Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis / keturunan
dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, disamping faktor ekonomis,
mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip
kejadiannya pada manusia (Tjay,T.H dan Rahardja,K, 2002).
Caramemegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara
memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan
ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya.
Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun
rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau
pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya (Katzug, B.G,
1989).
Fenobarbital, asam 5,5-fenil-etil
barbiturate merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam pengobatan
antikonvulsi. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan
ambang rangsang. Efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi
dapat dicapai mulai dari sedasi, hipnosis, berbagai tingkat anesthesia, koma,
sampai dengan kematian. Efek hipnotik barbiturate dapat dicapai dalam waktu
20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya merupakan tidur fisiologis, tidak
disertai mimpi yang mengganggu (Ganiswara, 1995).
Barbiturat secara oral diabsorbsi
cepat dan sempurna. Bentuk garam natrium lebih cepat diabsorbsi dari bentuk
asamnya. Mula kerja bervariasi antara 10-60 menit, bergantung kepada zat serta
formula sediaan dan dihambat oleh adanya makanan didalam lambung. Barbiturat
didistribusi secara luas dan dapat lewat plasenta, ikatan dengan PP sesuai
dengan kelarutannya dalam lemak, thiopental yang terbesar, terikat lebih dari
65%. Kira-kira 25% fenobarbital dan hampir semua aprobarbital diekskresi
kedalam urin dalam bentuk utuh (Ganiswara, 1995).
Resorpinya di usus baik (70-90%)
dan lebih kurang 50% terikat pada protein; plasma-t ½-nya panjang, lebih kurang
3-4 hari, maka dosisnya dapat diberikan sehari sekaligus. Kurang lebih 50%
dipecah menjadi p-hidrokdifenobarbitat yang diekskresikan lewat urin dan hanya
10-30% dalam kedaan utuh. Efek sampingnya berkaitan dengan efek sedasinya,
yakni pusing, mengantuk, ataksia dan pada anak-anak mudah terangsang. Bersifat
menginduksi enzim dan antara lain mempercepat penguraian kalsiferol (vitamin
D2) dengan kemungkinan timbulnya rachitis pada anak kecil. Pengunaannya bersama
valproat harus hati-hati, karena kadar darah fenobarbital dapat ditingkatkan.
Di lain pihak kadar darah fenitoin dan karbamazepin serta efeknya dapat
diturunkan oleh fenobarbital. Dosisnya 1-2 dd 30-125 mg, maksimal 400 mg (dalam
2 kali); pada anak-anak 2-12 bulan 4 mg/kg berat badan sehari; pada status
epilepticus dewasa 200-300 mg (Tjay dan Rahardja, 2006).
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A. Perhitungan dan Hasil
pengamatan
|
Hewan
Coba
|
||
Kelinci
|
Mencit
|
Tikus
|
|
Bobot
Badan
|
1kg
30 gr
|
30
gram
|
178
gram
|
Frekuensi
Jantung
|
200/menit
|
199/menit
|
189/menit
|
Laju
nafas
|
+
+ +
|
+
+ +
|
+
+ +
|
Refleks
|
+
+ +
|
+
+ +
|
+
+ +
|
Tonus
otot
|
+
+ +
|
+
+ +
|
+
+ +
|
Kesadaran
|
+
+ +
|
+
+ +
|
+
+ +
|
Rasa
nyeri
|
+
+ +
|
+
+ +
|
+
+ +
|
Perhitungan
Dosis:
-
Oral pada mencit : v
= BB (gr) x Dosis
Konsentrasi
obat
v = 30 x1.8 = 0,05gram
1000
-Oral
pada
Tikus: v
= BB (gr) x Dosis
Konsentrasi
obat
v= 178x1.8 = 0,32
gram
1000
Mencit
|
BB
(Gram)
|
Rute
Pemberian
|
Dosis
|
T
(waktu)
|
Respon
|
Kel
I
|
36
|
Oral
|
0,6
ml
|
50detik
|
mati
|
Kel
2
|
27
|
Subkutan
|
0,486
|
1
menit 30detik
|
Lemas
|
Kel
3
|
31
|
Intra
vena
|
0,58
|
1
menit 20 detik
|
Lemas
|
Kel
4
|
30
|
oral
|
0,5
ml
|
10
detik
|
mati
|
Kel
5
|
29
|
subkutan
|
0,522
|
30
menit 1 detik
|
Lemas
|
Kel
6
|
31
|
Intra
vena
|
0,58l
|
18
menit 14 detik
|
Aktifitas
melemah
|
Kel
7
|
34
|
oral
|
0,6ml
|
2
menit 40 detik
|
lemah
|
Kel
8
|
31
|
subkutan
|
0,55
|
4
menit 26 detik
|
lemah
|
B. Pembahasan
Pada
praktikum ini, di lakukan berbagai macam cara pemberian obat urethan kepada 8
mencit. Pada awalnya mencit bersifat
normal (aktif berlari, memanjat, dll). Kemudian disuntikkan obat urethan ke
masing-masing mencit dengan berbagai
macam cara pemberian obat, yaitu oral, intra vena, intra peritoneal, intra
muscular, dan subcutan. Dosis yang diberikan kepada masing-masing mencit
berbeda-beda, sesuai dengan berat badan mencit masing-masing. Setelah pemberian
urethan, perubahan mulai terjadi pada mencit, namun ada 1 perbedaan pada
hasilnya, yaitu perbedaan pada waktu obat mulai bereaksi terhadap masing-masing
mencit. Injeksi melalui vena dilihat paling cepat memberikan efek obatnya. Itu
disebabkan obat langsung diinjeksikan ke dalam pembuluh darah vena , sehingga
distribusi dan absorpsi obat lebih cepat. Sedangkan oral sangat lama kerjanya,
dikarenakan obat harus diabsorpsi melalui saluran cerna terlebih dahulu.dan
juga hewan percobaan rentan sekali mati dikarnakan adanya kesalahan pada teknis
pemberian obat kali ini yaitu perhitungan dosis, dimana dosis
yang diberikan harus sesuai dengan bobot hewan coba, yang berarti setiap hewan
coba memiliki dosis yang berbeda-beda.Percobaan pertama diberikan pada jalur peroral dan intravena. Pemberian obat secaraoral tidak memperlihatkan efek obat
yang diinginkan, rata-rata memerlukan waktu yanglama untuk dapat mencapai
onsetnya. Hal ini disebabkan banyaknya faktor yangmempengaruhi bioavailabilitas
obat, yaitu jumlah obat dalam persen terhadap dosis yang mencapai sirkulasi
sistemik dalam bentuk utuh atau aktif. Salah satu faktor yangmempengaruhi yaitu
faktor obat itu sendiri, misalnya sifat-sifat fisikokimia obat.Sifat fisikokimia obat yang mempengaruhi, antara lain
1.Stabilitas
pada pH lambung,
2.stabilitas
terhadap enzim-enzim pencernaan,
3.stabilitas
terhadap flora usus
4.kelarutan
dalam air atau cairan saluran cerna
5.ukuran
molekul,6.derajat ionisasi pada pH salauran cerna,
7.kelarutan
bentuk non-ion dalam lemak,
8.stabilitas
terhadap enzim-enzim dalam dinding saluran cerna, dan
9.stabilitas
terhadap enzim-enzim di dalam hati.
Keterangan
:
· Poin nomor 1—3 menentukan jumlah obat
yang tersedia untuk diabsorpsi.
· Poin nomor 4—7 menentukan kecepatan
absorpsi obat.
· Poin nomor 8 dan 9 menentukan
kecepatan disintegrasi dan disolusi obat.
Percobaan
pengaruh obat, terhadap jenis kelamin yang berbeda ternyata tidak menunjukkan
efek yang berbeda. Efek yang ditimbulkan obat adalah tidur tidak
bereaksi.Perbedaan cara pemberian obat ke dalam tubuh akan mempengaruhi onset
dan durasi dariobat. Dengan kata lain, perbedaan cara pemberian obat akan
memberikan efek yang yang berbeda-beda. Pada pemberian secara oral, akan
memberikan onset paling lambat karenamelalui saluran cerna dan lambat di
absorbsi oleh tubuh. Selain itu banyak faktor yangdapat mempengaruhi
bioavaibilitas obat sehingga mempengaruhi efek yang ditimbulkan.Pemberian
secara intravena seharusnya menunjukkan onset paling cepat karena kadar obat
langsung terdistribusi dan dibawa oleh darah dalam pembuluh.
Kesalahan hasil percobaan ini dikarenakan
antara lain :
1. Mekanisme injeksi yang kurang benar. Hal
ini dikarenakan setiap hewan ujidiperlakukan oleh praktikan yang berbeda-beda
dengan skill
2. Injeksi yang salah dapat mengakibatkan
obat terakumulasi dalam jaringan yang salah sehingga absorbsi dan distribusi
obat menjadi berbeda dari yangseharusnya. Injeksi yang salah juga bisa
mengakibatkan dosis obat yang masuk tidak sesuai dengan yang diharapkan atau
bahkan obat tidak masuk ke sirkualsi sistemik.
3. Tingkat resistensi dari hewan percobaan
yang berbeda-beda. Hewan percobaan yang lebih resisten tentu mengakibatkan
onset dan durasi obat menjadi lebihcepat dari pada seharusnya atau tidak timbul
efek pada hewan percobaan walaupundiberikan injeksi sesuai dosis yang telah
ditentukan.
4. Kondisi hewan coba
5. Kesimpulan
· Pada penandaan hewan percobaan dibuat
pada ekor dengan garis-garis yang disesuaikan dengan
urutan mencit.
· Cara pemberian secara intraperitonial(i.p.) dengan menyuntikkan tepat pada bagian abdomen mencit dan melaui oral
dengan menggunakan oral sonde untuk mempermudah masukknya obat kedalam mulut
mencit yang sempit dan langsung ke kerongkongan.
· Pada pemberian obat secara oral lebih
lama menunjukkan onset of action dibanding secara Intraperitonial, hal ini
dikarenakan Intraperitonial tidak mengalami fase absorpsi tapi langsung ke
dalam pembuluh darah.Sementara pemberian secara oral, obat akan mengalami
absorpsi terlebih dahulu lalu setelah itu masuk ke pembuluh darah dan
memberikan efek.
· Semakin tinggi dosis yang diberikan akan
memberikan efek yang lebih cepat
· Onset of action dari rute pemberian
obat secar IP lebih cepat diperoleh daripada rute pemberian obat secara oral.
· Duration of action dari rute pemberian
obat secara IP lebih panjang (lama) dibandingkan rute pemberian obat secara
oral.
6. Saran
· Lebih berhati-hati dalam penanganan
hewan percobaan dan dalam pembacaan skala spuit
agar dosis yang diberikan tepat dan tercapai efek yang dikehendaki.
· Lebih berhati-hati dalam pemberian
obat secara interperitonial agar tidak mengalami kerusakan pada abdomen maupun
tusukan pada organ-organ dalam yang vital.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M., 1994. Farmasetika. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. Hal. 42-43.
Katzung, B.G., 1998. Farmakologi Dasar
dan Klinik. Edisi VI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 351.
Reksohadiprodjo, M.S., 1994. Pusat
Penelitian Obat Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 3.
Setiawati, A. dan F.D. Suyatna, 1995.
Pengantar Farmakologi Dalam “Farmakologi dan Terapi”. Edisi IV. Editor:
Sulistia G.G. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 3-5.
Sulaksono, M.E., 1992. Faktor Keturunan
dan Lingkungan Menentukan Karakteristik Hewan Percobaan dan Hasil Suatu
Percobaan Biomedis. Jakarta.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_FaktorKeturunandanLingkungan.pdf/15_FaktorKeturunandanLingkungan.html
Source
: http://linggawidayana.blogspot.com