I. TUJUAN
1.
Mampu memahami azas dasar percobaan aktivitas
antiinflamasi dan memperoleh petunjuk-petunjuk yang praktis.
2.
Dapat menunjukkan beberapa kemungkinan dan batasan yang
merupakan sifat teknik percobaan.
II. PRINSIP PERCOBAAN
1. Penyuntikan secara
subkutan pada telapak kaki belakang tikus menyebabkan udema yang dapat
diinhibisi oleh obat antiinflamasi yang diberikan sebelumnya.
2. Hukum Archimedes :
penambahan volume air raksa sebanding dengan volume kaki tikus yang dimasukkan.
III. TEORI
Obat analgesik antipiretik serta
obat anti inflamasi nonsteorid merupakan sustu kelompok obat yang heterogen,
bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Walaupun demikian obat-obat
ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping.
Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena itu obat golongan ini sering
disebut juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin like drugs).
Kemampuan penelitian dalam dasawarsa
terakhir ini memberi penjelasan mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki
kesempatan efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas
penghambatan 6 biosintesisprostaglandin (PG). Akan diuraikan dahulu mekanisme
dan sifat dasar obat mirip aspirin sebelum membahas masing-masing sub golongan.
Mekanisme Kerja
Mekanisme
kerja dari obat anti inflamasi ini telah disebutkan di atas bahwa efek terapi
maupun efek samping obat-pbat ini sebagian besar tergantung dari penghambatan
biosintesis PG. Mekanisme kerja yang berhubungan dengan sistem biosintesis PG
ini mulai dilaporkan pada tahun 1971 oleh Vane dan kawan-kawan yang
memperlihatkan secara in vitro bahwa dosis rendah aspirin dan indometasin
menghambat produksi enzimatik PG. Penelitian lanjutan telah membuktikan bahwa
PG akan dilepaskan bilamana sel mengalami keruskan.
Walaupun in vitro obat AINS diketahui
menghambat berbagai reaksi biokomiawi, hubungan dengan efek analgesik,
antipiretik dan anti inflamasinya belum jelas. Selain itu obat AINS secara umum
tidak menghambat berbagai reaksi biokimiawi, hubungan dengan efek analgesik,
anti piretik dan anti inflamasinya belum jelas. Selain itu obat AINS secara
umum tidak menghambat biosintesis leukotrien, yang diketahui ikut berperan
dalam inflamasi.
Golongan
obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat
menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan cara yang
berbeda. Khusus parasetamol, hambatan biosintesis PG hanya terjadi bila
lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi
biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leukosit. Ini
menjelaskan mengapa efek anti inflamasi parasetamol praktis tidak ada. Aspiin
sendiri menghambat dengan mengasetilasi gugus akatif serin dari enzim ini. Dan
trombosit sangat rentan terhadap penghambatan ini karena sel ini tidak mampu
mengadakan regenerasi enzimnya. Sehingga dosis tunggal aspirin 40 mg sehari
telah cukup untuk menghambat siklo oksigenase trombosit manusia selama masa
hidup trombosit yaitu 8-11 hari.
Inflamasisampai sekarang fenomena inflamasi pada tingkat bioseluler masih belum dapat
dijelaskan secara rinci. Walaupun demikian banyak hal yang telah diketahui dan
disepakati. Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan likrovaskuler,
meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang.
Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal adalah kalor, rubor, tumor, dolor
dan functio laesa. Selama berlangsungnya fenomena inflamasi banyak mediatpr
kimiawi yang dilepaskan secara local antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin
(5HT), factor kemotaktik, bradikinin, leukotrien dan PG. Peneitian terakhir
menunjukkan autakoid lipid PAF juga merupakan mediator inflamasi. Dengan
migrasi sel fagosit ke daerah ini, terjadi lisis membran lisozim dan lepasnya
enzim pemecah. Obat mirip aspiri dapat dikatakan tidak berefek terhadap
mediator-mediator kimiawi tersebut kecuali PG.
Secara
in vitro terbukti bahwa prostaglandin E2 (PGE2) dan prostasiklin (PGI2) dalam
jumlah nanogram, menimbulkan eritem, vasodilatasi dan peningkatan aliran darah local.
Histamin dan bradikinin dapat meningkatkan permeabilitas vascular, tetapi efek
vasodilatasinya tidak besar. Dengan penambahan sedikit PG, efek eksudasi
histamin plasma dan bradikinin menjadi lebih jelas. Migrasi leukosit ke
jaringan radang merupakan aspek penting dalam proses inflamasi. PG sendiri
tidak bersifat kemotaktik, tetapi produk lain dari asam arakidonat yakni
leukotrien B4 merupakan zat kemotaktik yang sangat poten.
Rasa
nyeri PG hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerudakan jaringan
atau inflamasi. Penelitin telah membuktikan bahwa PG menyebabkan sensitisasi
reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. Jadi PG meni,bulkan
keadaan hiperalgesia kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin
merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata.
Obat
mirip aspirin tidak mempengaruhi hiperalgesia atau nyeri yang ditimbulkan oleh
efek langsung PG. Ini menunjukkan bahwa sintesis PG yang dihambat oleh golongan
obat ini dan bukannya blokade langsung.
Demam,
suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya panas. Alat
pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus. Pada keadaan emam keseimbangan ini
terganggu tetapi dapat dikembalikan ke normal oleh obat mirip aspirin. Ada
bukti bahwa peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik diawali penglepasan
suatu zat pirogen endogen atau sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) yang memacu
penglepasan PG yang berlebihan di daerah preoptik hipotalamus. Selain itu PGE2
terbukti menimbulkan demam setelah diinfuskan ke ventrikel serebral atau
disuntikkan ke daerah hipotalamus. Obat mirip aspirin menekan efek zat pirogen
endogen dengan menghambat sintesis PG. Tetapi demam yang timbul akibat
pemberian PG tidak dipengaruhi, demiian pula peningkatan suhu oleh sebab lain
seperti latihan fisik.
Efek Farmakodinamik
Semua obat mirip aspirin bersifat
antipiretik, anlagesik dan antiinflamasi. Ada perbedaaan aktivitas di antara
obat-obat tersebut misalnya parasetamol (asetaminofen) bersifat antipiretik dan
analgesik tetapi sifat anti inflamasinya lemah sekali.
Efek analgesik, sebagai analgesik
obat mirip aspirin hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai
sedang misalnya sakit kepala, mialgia, artralgia dan nyeri lain yang berasal
dari integumen, juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi.
Efek analgesiknya jauh lebih lemah daripada efek analgesik opiat. Tetapi
berbeda dengan opiat, obat mirip aspirin tidak menimbulkan ketagihan dan tidak
menimbulkan efek samping sentral yang merugikan. Obat mirip aspirin hanya
mengubah persepsi modalitas sensorik nyeri, tidak mempengaruhi sensorik lain.
Nyeri akibat terpotongnya saraf aferen, tidak teratasi dengan obat mirip
aspirin. Sebaliknya nyeri kronis pasca bedah dapat diatasi oleh obat mirip
aspirin.
Efek antipiretik, sebagai
antipiretik obat mirip aspirin akan menurunkan suhu badan hanya pada keadaan
demam. Walaupun demikian kebanyakan obat ini memperlihatkan efek antipiretik in
vitro, tidak semuanya berguna sebagai antipiretik ksrena bersifat toksik bila
digunakan secara rutin atau terlalu lama. Fenilbutazon dan antireumatik lainnya
tidak dibenarkan digunakan sebagai antipiretik
Efek anti inflamasi kebanyakan obat
mirip aspirin terutama yang baru lebih dimanfaatkan sebagai anti inflamasi pada
pengobatan kelainan muskuloskeletal, seperti arthritis rheumatoid,
osteoartritis dan spondilitis ankilosa. Tetapi harus diingat bahwa obat mirip
aspirin hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan
penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki atau mencegah
kerusakan jaringan pada kelainan muskulosketal ini.
Efek samping yang paling sering
terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptic yang kadang-kadang
disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna. Beratnya efek samping
ini berbeda pada masing-masing obat, dua mekanisme terjadinya iritasi lambung
adalah iritasi yang bersifat local yang menimbulkan difusi kembali asam lambung
ke mukosa dan menyebabkan kerusakan jaringan atau perdarahan lambung yang
bersifat sistemik melalui hambatan biosintesis PGE2 dan PGI2. kedua PG ini
banyak ditemukan di mukosa lambung dengan fungsi menghambat sekresi asam
lambung dan merangsang sekresi mucus usus halus yang bersifat sitoprotektif.
Mekanisme kedua ini terjadi pada pemberian parenteral. Inflamasi diidetifikasikan sebagai suatu reaksi
lokal organisme terhadap suatu iritasi atau keadaan non fisiologik.
Secara
skematis dibedakan 4 fase gejala-gejala inflamasi :
1.
Eritem: vasodilatasi pembuluh darah menyebabkan tertahannya darah oleh perubahan
permeabilitas pembuluh sehingga plasma dapat keluar dari dinding pembuluh.
2.
Ekstravasasi: keluarnya plasma melalui dinding pembuluh darah dan menyebabkan udem.
3.
Suppurasidan nekrosis : pembentukan nanah dan kematian jaringan yang disebabkan oleh
penimbunan lekosit-lekosit di daerah inflasi.
4.
Degenerasi jaringan : tidak terdapat pembentukan sel-sel baru untuk pembentukan pembuluh
darah dan makin bertambahnya serat-serat kolagen yang tidak berfungsi.
Masing-masing tahap diatas dipengaruhi
oleh faktor-faktor humoral seperti histamin, serotonin, bradikinin dan
prostaglandin. Kebanyakan dari gejala tersebut di atas telah dijadikan
sebagai dasar berbagai metode percobaan untuk mengevaluasi obat-obat
antiinflamasi. Gejala eritem dapat diuji pada marmot yang disinari ultraviolet:
pembentukan udem dapat dilakukan pada kaki tikus dengan penyuntikan seperti
karegen, kaolin, serotonin, dekstran dll.
Obat-obat Antiinflamasi
Efek terapi maupun efek samping dari
obat-obat anti-inflamasi ini tergantung dari penghambatan biosintesis
prostaglandin. Secara in vitro obat-obat AINS menghambat berbagai reaksi
biokimiawi, hubungan dengan efek analgesic, antipiretik dan anti-inflamasinya
belum jelas. Selin itu obat AINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrian,
yang diketahui berperan dalam inflamasi.
Golongan obat ini menghambat enzim
siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2
terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan cara berbeda.
Piroxicam
Obat ini merupakan salah satu AINS dengan
struktur baru yaitu oksikam. Waktu paruh dalam plasma lebih dari 45 jam
sehingga dapat diberikan hanya sekali sehari. Absorpsi berlangsung cepat di
lambung; terikat 99% pada protein plasma. Obat ini menjalani siklusenterohepatik. Kadar taraf mantap dicapai sekitar 7-10 hari dan kadar dalam
plasma kira-kira sama dengan kadar sinovia.
Efek samping tersering adalah gangguan
saluran cerna, antara lain yang berat adalah tukak lambung. Efek samping lain
adalah pusing, tinnitus, nyeri kepala dan eritem kulit. Piroxicam tidak
dianjurkan diberikan pada wanita hamil, penderita tukak lambung dan penderita
yang sedang minum antikoagulan. Indikasi piroxicam hanya untuk penyakit
inflamasi sendi misalnya arthritis reumatoid, osteoarthritis, spondilitis ankilosa
dengan dosis 10-20 mg sehari.
Ibuprofen
Merupakan
derivat asam propionate yang diperkenalkan pertama kali di banyak negara. Obat
ini bersifat analgesic dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek
analgesiknya sama seperti aspirin. Efek antiinflamasinya terlihat dengan dosis
1200-2400 mg sehari. Absorpsi ibuprofen cepat melalui lambung dan kadar
maksimun dalam plasma darah dicapai setelah 1-2 jam. Waktu paruh dalam plasma
sekitar 2 jam. Sembilan puluh % ibuprofen terikat dalam protein plasmua.
Ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap. Kira-kira 90% dari dosis yang
diabsorpsi akan diekskresi melalui urin sebagai metabolit atau konjugatnya.
Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi.
Obat
AINS derivat asam propionat hampir seluruhnya terikat pada protein plasma, efek
interaksi misalnya pergeseran obat warfarin dan oral hipoglikemik hampir tidak
ada. Tetapi pada pemberian bersama warfarin, tetap harus waspada karena adanya
gangguan fungsi trombosit yang memperpanjang masa pendarahan. Derivat asam
propionat dapat mengurangi efek diuresis dan natriuresis furosemid dan tiazid,
juga mengurangi efek antihipertensi obat beta bloker, prazosin dan kaptopril.
Efek ini mungkin akibat hambatan biosintesis PG ginjal. Efek samping terhadap
saluran cerna lebih ringan dibandingkan aspirin, indometasin naproksen. Efek
samping lainnya yang jarang adalah eritema kulit, sakit kepala,
trombositopenia, ambliopia toksik yang reversibel.
IV. ALAT DAN BAHAN
Hewan
percobaan : Tikus putih, BB 148 g, 153 g, 106 g; dipuasakan 10 jam
sebelum percobaan ( air minum ad libitum
).
- Jarum suntik 1 ml
Bahan : - Larutan
karagenan 1 % dalam air suling ( dibuatkan sehari sebelum percobaan )
- Larutan gom arab
3 %
- Aspirin 150 mg/kg BB
- Fenilbutazon 10 mg/kg BB.
Rute
pemberian obat : intraperitonial
V. PROSEDUR
1. Sebelum
mulai percobaan, masing-masing tikus dikelompokkan dan ditimbang bobot
badannya, kemudian diberi tanda pengenal.
2. Berikan
tanda batas pada kaki belakang kiri untuk setiap tikus dengan spidol, agar
pemasukan kaki ke dalam air raksa setiap kali selalu sama.
3. Pada
tahap pendahuluan volume kaki tikus diukur dan dinyatakan sebagai volume dasar.
Pada setiap kali pengukuran volume, tinggi cairan raksa pada alat diperiksa dan
dicatat sebelum dan sesudah pengukuran, usahakan jangan sampai ada air raksa
yang tertumpah.
4. Tikus
diberi obat atau larutan kontrol secara i.p atau oral. Satu jam kemudian
telapak kaki kiri diukur volume pembengkakan dengan alat Plethysmometer dengan mencatat kenaikan
air raksa pada alat tersebut (Vo). Selanjutnya, 0,05 ml larutan karagenan diberikan pada telapak kaki kiri
tikus secara subkutan.
5. Volume
kaki yang diberi karagenan diukur setiap 1 jam sampai menit ke 75. Catat
perbedaan volume kaki untuk setiap jam pengukuran (Vt).
6. Hasil
pengamatan dicantumkan dalam table untuk setiap kelompok. Tabel harus berisi
persentase kenaikan volume setiap jam untuk masing-masingtikus. Perhitungan
persentase kenaikan volume kaki dilakukan dengan membandingkannya terhadap
volume dasar sebelum menyuntikkan karagenan.
7. Selanjutnya untuk setiap kelompok dihitung
persentase rata-rata dan bandingkan persentase yang diperoleh kelompok yang
diberi obat terhadap kelompok kontrol pada jam yang sama.
8. Gambarkan grafik persentase inhibisi radang
terhadap waktu.
VI. DATA PENGAMATAN
KEL UJI
|
TIKUS NO
|
WAKTU
(menit)
|
Jumlah
|
|||
30
|
45
|
60
|
75
|
|||
Kontrol
(SUSPENSI PGA)
|
1
|
0.045
|
0.045
|
0.03
|
0.04
|
|
2
|
0.03
|
0.017
|
0.14
|
0.02
|
||
3
|
0.05
|
0.02
|
0.014
|
0.034
|
||
4
|
0.042
|
0.05
|
0.05
|
0.055
|
||
Jumlah
|
0.167
|
0.132
|
0.234
|
0.149
|
0.682
|
|
rata-rata
|
0.04175
|
0.033
|
0.0585
|
0.03725
|
||
UJI 1
(ASPIRIN)
|
1
|
0.03
|
0.02
|
0.06
|
0.02
|
|
2
|
0.012
|
0.018
|
0.016
|
0.015
|
||
3
|
0.01
|
0.08
|
0.009
|
0.011
|
||
4
|
0.055
|
0.06
|
0.04
|
0.06
|
||
Jumlah
|
0.107
|
0.178
|
0.125
|
0.106
|
0.516
|
|
rata-rata
|
0.02675
|
0.0445
|
0.03125
|
0.0265
|
||
UJI 2
(FENIL BUTAZON)
|
1
|
0.04
|
0.042
|
0.035
|
0.04
|
|
2
|
0.09
|
0.03
|
0.018
|
0.009
|
||
3
|
0.01
|
0.02
|
0.014
|
0.019
|
||
4
|
0.06
|
0.066
|
0.05
|
0.055
|
||
Jumlah
|
0.2
|
0.158
|
0.117
|
0.123
|
0.598
|
|
rata-rata
|
0.05
|
0.0395
|
0.02925
|
0.03075
|
||
Jumlah
Total
|
0.474
|
0.468
|
0.476
|
0.378
|
1.796
|
VII. PERHITUNGAN DAN GRAFIK
PERHITUNGAN
Perhitungan
Persentase Radang Kelompok
% Radang
= Vt – Vo x
100 %
Vo
Kontrol
% Radang 1 = 0,033 – 0.04175 x 100 % =
-20,96 %
0,04175
% Radang 2 = 0.0585 – 0.04175 x 100 % =
77,27 %
0,04175
% Radang 3 = 0.03725 – 0.04175 x 100 % =
-36,32 %
0,04175
Uji I
%
Radang 1
= 0.0445 – 0.02675
x 100 % = 66,36 %
0,02675
% Radang 2 = 0.03125 – 0.02675
x 100 % = -29,78
%
0,02675
% Radang 3 = 0.0265 – 0.02675
x 100 % =
-15,20 %
0,02675
Uji II
% Radang 1 = 0.0395 – 0.05
x 100 % =
-21,00 %
0,05
% Radang 2 = 0.0395 – 0.05
x 100 % =
-25,95 %
0,05
% Radang 3 = 0.0395 – 0.05
x 100 % =
5,13 %
0,05
Persentase
Inhibisi Radang Kelompok
Inhibisi = %
Radang Kontrol - % Radang uji x 100 %
% Radang
Kontrol
Uji I
Inhibisi 1
= -20,96% – 66,36%
x 100 % =
416,61 %
-20,96%
Inhibisi 2
= 77,27% – (-29,78%)
x 100 % =
138,53 %
77,27%
Inhibisi 3
= -36,32% – (-15,20%)
x 100 % = 58,16 %
-36,32%
Uji II
Inhibisi 1
= -20,96% – (-21,00)
x 100 % =
-0,2%
-20,96%
Inhibisi 2
= 77,27% – (-25,95)
x 100 % = 133,5815 %
77,27%
Inhibisi 3
= -36,32% – 5,13
x 100 % =
114,1176 %
-36,32%
VII. PEMBAHASAN
Percobaan yang dilakukan kali ini bertujuan untuk
mengetahui aktivitas farmakologi Aspirin dan Fenilbutazon sebagai obat antiinflamasi pada tikus yang kemudian
diinjeksi karagenan, sebagai inisiator terjadinya inflamasi tersebut. Selain itu, untuk membandingkan efektivitas
farmakologi Aspirin dan Fenilbutazon sebagai obat antiinflamasi pada tikus. Inflamasi diidentifikasikan sebagai suatu reaksi lokal
organisme terhadap suatu iritasi atau keadaan non fisiologik.
Tikus yang digunakan dalam percobaan ini berjumlah tiga
ekor dengan tiga perlakuan yang masing-masing berbeda. Mula-mula, semua tikus
yang akan digunakan ditimbang dahulu. Tikus I, sebagai kontrol,
memiliki berat badan 148 gr, sebagai uji, yang berat badannya secara berurutan adalah 153 gr dan 106 gr. Penimbangan berat badan dilakukan untuk menentukan dosis injeksi yang
akan diberikan. Adapun dosis yang diberikan untuk masing-masing tikus memiliki
konsentrasi obat 2 gr/2 mL, sehingga setelah dihitung diperoleh dosis untuk tikus I = 0,37 mL, tikus II = 0,3825 mL, tikus III = 0,265 mL, yang dipergunakan untuk
semua jenis obat yang akan diinjeksikan. Sedangkan obat antiinflamasi yang
digunakan adalah Aspirin dan Fenilbutazon.
Aspirin atau asam
asetilsalisilat (asetosal) adalah sejenis obat turunan
dari salisilat yang sering digunakan sebagai
senyawa analgesik (penahan rasa sakit atau nyeri
minor), antipiretik (terhadap demam), dan
anti-inflamasi (peradangan). Aspirin juga memiliki
efek antikoagulan dan dapat digunakan dalam dosis rendah dalam tempo
lama untuk mencegah serangan jantung. Kepopuleran penggunaan aspirin
sebagai obat dimulai pada tahun 1918 ketika terjadi pandemik flu di
berbagai wilayah dunia. Sedangkan Fenilbutazon dan turunannya saat ini
yang digunakan adalah dipiron sebagai analgesik antipiretik, karena efek
inflamasinya lemah. Efek samping semua derivat pirazolon dapat menyebabkan
agranulositosis, anemia aplastik dan trombositopenia.
Dibeberapa negara
penggunaannya sangat dibatasi bahkan dilarang karena efek samping tersebut,
tetapi di Indonesia frekuensi pemakaian dipiron cukup tinggi meskipun sudah ada
laporan mengenai terjadinya agranulositosis. Fenilbutazon digunakan untuk
mengobati arthritis rheumatoid. Karagenan digunakan untuk
pembentukan udem, karagenan adalah suatau polisakarida sulfat yang berasal dari
tanaman Chondrus crispus.
Pembentukan udem oleh karagenan tidak menyebabkan kerusakan jaringan meskipun
udem dapat bertahan selama 6 jam dan berangsur-angsur akan berkurang dan
setelah 24 jam menghitung tanpa meninggalkan bekas.
Percobaan ini menggunakan alat
yang bernama Plethysmometer air raksa untuk mengindikasikan terjadinya
inflamasi pada kaki bawah sebelah kiri tikus, dengan pengukuran persentase besarnya
radang pembengkakan. Caranya, tikus yang belum diberi obat diberi tanda yang
melingkari pergelangan kakinya sampai batas bulu, lalu kaki tersebut dicelupkan
dalam air raksa sampai batas lingkaran tadi dan diamati tinggi air raksa
sebagai konversi volume kaki tikus yang tercelup dalam air raksa tersebut. Kaki
kiri tikus dipakai karena kaki tikus tidak terdapat bulu, sehingga efek
inflamasinya secara fisik dapat diamati lebih jelas karena bulu pada tikus
dapat menghambat pengamatan volume inflamasi yang terbentuk. Untuk memudahkan
pengamatan, karagenan diinjeksikan secara subkutan pada kaki tikus tersebut
agar efeknya lebih cepat. Selain itu, kaki kiri bawah digunakan agar memudahkan
pada saat pencelupan dalam air raksa dan memperhitungkan bahwa kaki bawah
ukurannya lebih besar daripada kaki atas.
Perlakuan yang diberikan pada
tikus I, sebagai kontrol, adalah pemberian suspensi PGA secara peroral, lalu 60 menit kemudian disuntikkan karagenan secara subkutan,
lalu diamati pembengkakan yang terjadi setiap 15 menit selama 75 menit. Suspensi PGA berfungsi sebagai
injeksi untuk kontrol, yakni sebagai pelarut dari kedua obat (indometasin dan
piroksikam tidak larut dalam air, sehingga pada tikus uji I dan uij II obat
yang diinjeksikan dilarutkan dalam PGA), PGA digunakan untuk memperoleh efek
yang sama, atau dengan kata lain, sebagai blangko. Suspensi PGA diberikan
secara peroral untuk memperoleh efek sistemik. Karagenan berfungsi sebagai
inflamator, dan disuntikkan secara subkutan pada telapak kaki kiri bawah tikus
untuk memperoleh efek lokal yang cepat. Pengamatan setiap 15 menit selama 75 menit dilakukan dengan tujuan
mengukur besarnya inflamasi yang
terjadi pada kaki tikus akibat injeksi karagenan. Dari hasil pengamatan secara
umum diperoleh bahwa pada t ke 1 ( setelah 30 menit penyuntikan) tinggi air raksa menurun agak tajam dibandingkan pada t ke 0.
Selanjutnya, pada tiap jam berikutnya tinggi air raksa mengalami peningkatan
secara bertahap, lalu turun pada t ke 75 menit.
Selain itu, dari data di atas
dapat dilihat bahwa pada t ke 0 tinggi air raksa lebih besar dibandingkan
dengan t selanjutnya. Seharusnya tidak demikian, hal ini disebabkan karena pada
saat pencelupan kaki tikus ke dalam air raksa, volume air raksa ada yang hilang
dikarenakan kaki tikus bergerak-gerak. Volume tersebut tidak dihitung sehingga
menyebabkan kekeliruan dalam pembacaan tinggi air raksa. Peningkatan tinggi air raksa
terjadi mulai dari t ke 1 secara bertahap, hal ini menunjukkan pembentukan
inflamasi pada kaki tikus, walaupun sangat kecil hingga nyaris tidak terlihat.
Lalu penurunan tinggi air raksa pada t ke 75 menit menunjukkan bahwa efek injeksi karagenan sudah mulai berkurang sehingga
inflamasi yang terbentuk mulai mereda (dalam hal ini ukuran telapak kaki
mengecil) dan kemudian lama kelamaan akan menghilang. Tikus kontrol ini berguna
untuk membandingkan antara volume inflamasi pada kaki kiri bawah tikus yang
tidak diberi obat antiinflamasi dengan volume inflamasi pada kaki kiri bawah
tikus yang diberi obat antiinflamasi. Inflamasi yang terbentuk diamati, dan
ternyata terbukti bahwa volumenya lebih besar daripada volume inflamasi pada
tikus uji. Dalam hal ini, karagenan yang dinjeksi secara subkutan berhasil
menimbulkan efek inflamasi sebagaimana fungsinya yakni untuk membentuk udem.
Pembentukan udem oleh karagenan tidak menyebabkan kerusakan jaringan meskipun
udem dapat bertahan selama 6 jam dan berangsur-angsur akan berkurang dan
setelah 24 jam menghitung tanpa meninggalkan bekas.
Pada tikus II, sebagai tikus
uji, mendapat perlakuan yakni pemberian oral Aspirin, lalu 60 menit kemudian disuntikkan karagenan secara subkutan
lalu diamati setiap 15 menit selama 75
menit. Aspirin diberi secara per oral.
Percobaan ini dilakukan untuk menguji efektivitas Aspirin pada pembentukan anti inflamasi. Setelah
penyuntikan karagenan, pengamatan dilakukan dengan cara yang sama pada tikus I.
Yakni tiap 15 menit, kaki tikus dicelupkan dalam air raksa dan diamati tinggi
air raksa yang terjadi untuk mengindikasikan volume inflamasi yang terbentuk. Dari hasil pengamatan secara umum diperoleh bahwa
pada t ke 1 (setelah 1 jam penyuntikan) tinggi air raksa menurun agak tajam
dibandingkan pada t ke 0. Selanjutnya, pada tiap jam berikutnya tinggi air
raksa mengalami peningkatan secara bertahap, lalu turun pada t ke 4 (75 menit).
Pada tikus III sebagai tikus
uji, mendapat perlakuan yakni pemberian oral fenilbutazon, lalu 60 menit kemudian disuntikkan karagenan secara subkutan
lalu diamati setiap 15 menit selama 75
menit. Percobaan
ini dilakukan untuk menguji efektivitas fenilbutazon pada pembentukan inflamasi. Setelah penyuntikan karagenan, pengamatan
dilakukan dengan cara yang sama pada tikus I. Yakni tiap 15 menit, kaki tikus dicelupkan dalam air
raksa dan diamati tinggi air raksa yang terjadi untuk mengindikasikan volume
inflamasi yang terbentuk. Dari hasil pengamatan secara umum diperoleh bahwa
pada t ke 1 (setelah 1 jam penyuntikan) tinggi air raksa menurun agak tajam
dibandingkan pada t ke 0. Selanjutnya, pada tiap jam berikutnya tinggi air raksa
mengalami peningkatan secara bertahap, lau turun pada t ke 4 (75 menit). Hasil-hasil pengamatan dicantumkan dalam tabel untuk setiap
kelompok. Kemudian perhitungan persentase peradangan (kenaikan volume
kaki) dilakukan.
Perhitungan persentase
peradangan dilakukan untuk tiap 15 menitnya agar kita dapat mengetahui seberapa
besar proses peradangan pada kaki tikus telah terjadi tiap 15 menit.
Selanjutnya untuk setiap kelompok dihitung persentase rata-rata dan bandingkan
persentase yang diperoleh kelompok yang diberi obat terhadap kelompok kontrol
pada jam yang sama dan perhitungan persentase inhibisi peradangan dilakukan.
Perhitungan persentase
inhibisi peradangan dilakukan agar kita dapat mengetahui seberapa besar
penghambatan obat uji (fenilbutazon) terhadap peradangan pada kaki tikus. Lalu
grafik persentase inhibisi peradangan terhadap waktu dibuat.
Sebagian
besar efek terapi dan efek samping obat analgesik-antipiretik dan antiinflamasi
(AINS) berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG). Dosis
rendah aspirin dapat menghambat produksi enzimatis prostaglandin. Prostaglandin
akan dilepaskan bilamana sel mengalami kerusakan. Walaupun in vitro obat AINS
diketahui menghambat berbagai reaksi biokimiawi, hubungan dengan efek
analgesik, antipiretik dan anti inflamasinya belum jelas. Selain itu obat AINS
secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrien, yang diketahui ikut
berperan dalam inflamasi. Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase
sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap
obat menghambat siklooksigenase dengan cara yang berbeda.
Berdasarkan
percobaan yang telah dilakukan didapatkan hasil, pada tikus yang tidak
diberikan obat antiinflamasi mengalami peradangan sebesar –20,96% pada menit
ke-45, 77,27% pada menit ke-60, dan -36,32% pada menit ke-75. Seharusnya
terjadi peningkatan besar peradangan yang disebabkan oleh tidak adanya obat
antiinflamasi di dalam tubuh tikus sehingga proses peradangan tidak terhambat,
tetapi hasil perhitungan data pengamatan yang diperoleh menunjukkan bahwa pada
menit ke-75 terjadi penurunan besar peradangan. Penurunan besar peradangan ini
kemungkinan disebabkan oleh cara pemberian intrakutan karagenan pada telapak
kaki tikus yang masih salah sehingga karagenan yang bertindak sebagai penginduksi
inflamasi tidak bekerja dengan baik dan cepat pada telapak kaki tikus.
Kemungkinan lain juga bisa disebabkan oleh pengukuran volume kaki tikus yang
tidak tepat karena memang tikus tidak mau mendiamkan kakinya ketika akan
dicelupkan ke dalam air raksa sehingga mungkin saja pencelupan kaki tikus ke
dalam air raksa tidak sesuai tanda batas. Kemungkinan lainnya juga bisa
disebabkan karena pembacaan tinggi air raksa yang tidak tepat oleh praktikan.
Dan juga seharusnya tidak ada nilai negatif pada hasil perhitungan persentase
perradangan karena ini menandakan bahwa volume awal (Vo) yang dipakai bukanlah
volume yang sebenarnya yang kemungkinan disebabkan oleh tidak tepatnya
pengukuran tinggi air raksa volume kaki tikus.
Pada
tikus yang diberikan aspirin didapat hasil sebesar (isi)% pada menit ke-45, (isi)% pada menit ke-60 dan (isi)% pada menit ke-75. Bila dibandingkan dengan tikus yang
tidak diberikan antiinflamasi, pada menit ke-45, 60, dan 75, besar peradangan
pada tikus yang diberikan aspirin lebih kecil. Hal ini menandakan adanya efek
antiinflamasi oleh aspirin yang telah bekerja di dalam tubuh tikus. Pada tikus
yang diberikan obat uji fenilbutazon, diperoleh hasil sebesar -(isi)% pada menit ke-45, (isi)% pada menit ke-60 dan (isi)% pada menit ke-75. Hasil perhitungan
persentase peradangan ini sangat aneh sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa
apakah fenilbutazon kurang efektif atau lebih efektif sebagai antiinflamasi
dibandingkan dengan aspirin.
Selanjutnya
berdasarkan persen inhibisi obat uji fenilbutazon dibandingkan dengan aspirin,
didapat hasil pada menit ke-45 sebesar (isi)% menit ke-60 sebesar (isi)% dan pada menit ke-75 sebesar (isi)% Berdasarkan hasil tersebut, tidak dapat dikatakan
apakah fenilbutazon lebih efektif atau kurang efektif untuk menginhibisi
peradangan karena pada menit ke-60 ke menit ke-75 terjadi pengurangan
potensinya sehingga hasil pengamatan percobaan kali ini dipertanyakan. Hal ini
kemungkinan dapat disebabkan oleh, selama percobaan kali ini, dari awal hingga
akhir, cara pemberian intrakutan karagenan pada telapak kaki tikus yang masih
salah sehingga karagenan yang bertindak sebagai penginduksi inflamasi tidak
bekerja dengan baik dan cepat pada telapak kaki tikus. Kemungkinan lain juga
bisa disebabkan oleh pengukuran volume kaki tikus yang tidak tepat karena
memang tikus tidak mau mendiamkan kakinya ketika akan dicelupkan ke dalam air
raksa sehingga mungkin saja pencelupan kaki tikus ke dalam air raksa tidak
sesuai tanda batas. Kemungkinan lainnya juga bisa disebabkan karena pembacaan
tinggi air raksa yang tidak tepat oleh praktikan.
Aktivitas antiinflamasi obat
ditunjukkan oleh kemampuan obat mengurangi udema yang diinduksi pada telapak
kaki hewan percobaan. Berdasarkan percobaan yang
telah dilakukan, didapatkan bahwa
tikus kelompok kontrol yang diberikan PGA mengalami peradangan sebesar 77,27 % Sedangkan pada tikus
kelompok uji I yang diberikan aspirin didapat hasil peradangan 66,36 %. Pada tikus kelompok uji II yang diberikan obat fenilbutazon, diperoleh hasil peradangan 5,13 %. Persentase peradangan yang
terjadi pada kelompok kontrol lebih besar dibanding persentase peradangan yang
terjadi pada kelompo uji I (aspirin) dan uji II (fenilbutazon), menunjukkan
bahwa aspirin dan fenilbutazon memiliki aktivitas antiinflamasi. Selain itu,
adanya aktivitas antiinflamasi pada aspirin dan fenilbutazon juga menunjukkan
cara pemberian obat pada tikus yakni dengan cara oral telah dilakukan dengan
baik sehingga aspirin dan fenilbutazon mampu memberikan efek antiinflamasi pada
hewan percobaan.
Nilai inhibisi radang rata-rata pada aspirin adalah
sebesar 204,4 % sementara pada fenilbutazon, nilai inhibisi radang rata-rata
adalah sebesar 82,5%. Nilai inhibisi radang adalah nilai yang menunjukkan
kemmapuan obat uji untuk menekan radang (aktivitas inflamasi) dimana peradangan
pada kelompok kontrol adalah 100%. Pada
percobaan, didapatkan bahwa nilai inhibisi aspirin lebih besar dibandingkan
dengan nilai inhibisi radang fenilbutazon.
Dari grafik, dapat dilihat
bahwa uji I (aspirin) mampu menurunkan peradangan pada hewan uji dimulai pada
menit ke 60 dan 75 secara signifikan. Sementara, kemampuan inhibisi
fenilbutazon dimulai dari menit 60 namun tidak terlalu signifikan di menit 75.
Dari percobaan ini dapat disimpulkan bahwa kemampuan inhibisi radang aspirin
lebih tinggi dari fenilbutazon.
VIII.
KESIMPULAN
1. Azas dasar percobaan aktivitas
antiinflamasi dapat dipahami dan diperoleh petunjuk-petunjuk yang praktis bahwa
untuk menguji efek antiinflamasi suatu obat, hewan percobaan harus diberi obat antiinflamasi terlebih dahulu baru dibuat inflamasi sehingga persentase
inhibisi peradangan dapat diamati.
2. Beberapa kemungkinan dan batasan yang
merupakan sifat teknik percobaan dapat ditunjukkan bahwa pembentukan udem oleh
karagenan tidak menyebabkan kerusakan jaringan meskipun udem dapat bertahan
selama beberapa jam dan berangsur-angsur akan berkurang tanpa meninggalkan
bekas.
DAFTAR PUSTAKA
Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002. Farmakologi
Dan Terapi Edisi 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Muhtadi, A, Anas Subarnas, Sri Adi Sumiwi, Rini
Hendriani, Ellin Febrina, Gofarana Wilar . 2011. Penuntun Praktikum Farmakologi. Jatinangor: Laboratorium
Farmakologi, Fakultas Farmasi UNPAD.