Laporan Praktikum Pengujian Efek Antikolinergik
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sistem saraf otonom bekerja menghantarkan
rangsang dari SSP ke otot polos, otot jantung dan kelenjar. Sistem saraf otonom
merupakan saraf eferen (motorik), dan merupakan bagian dari saraf perifer.
Sistem saraf otonom ini dibagi dalam 2 bagian, yaitu sistem saraf simpatis dan
sistem saraf parasimpatis. Pada umumnya jika fungsi salah satu sistem
dirangsang maka sistem yang lain akan dihambat.
Sistem saraf otonom tersusun atas saraf
praganglion, ganglion dan saraf postganglion. Impuls saraf diteruskan dengan bantuan
neurotransmitter, yang dikeluarkan oleh saraf praganglion maupun saraf
postganglion.
Beberapa perbedaan antara saraf simpatis dan parasimpatis adalah sbb:
SARAF
SIMPATIS
|
SARAF
PRASIMPATIS
|
|
1. Letak
badan sel praganglion
|
Torax
1-12
Lumbal
1-3
(thoracolumbal)
|
Saraf
cranial III, VII, IX,X
Sakral
2,3,4
(crabiosakral)
|
2. Posisi
ganglion
|
Jauh
dari efektor
(praganglion
pendek)
|
Dekat
efektor
(praganglion
panjang)
|
3. Reseptor
|
α
dan β
|
Nikotinik
dan muskarinik
|
4. Neurotransmitter
- Praganglion
- Post
ganglion
|
Asetilkolin
Norsepineprin
|
Asetilkolin
Asetilkolin
|
Sistem saraf otonom yang dikenal juga dengan
nama sistem saraf vegetatif, sistem saraf keseimbangan visceral atau sistem
saraf sadar, sistem mengendalikan dan mengatur keseimbangan fungsi-fungsi
intern tubuh yang berada di luar pengaruh kesadaran dan kemauan. Sistem ini
terdiri atas serabut-serabut saraf-saraf ganglion-ganglion dan jaringan saraf
yang mendarafi jantung, pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, alat-alat dalaman
dan otot-otot polos.
Untuk selanjutnya, obat-obat yang berhubungan
dengan kerja asetilkolin disebut kolinergik, dan obat-obat yang berhubungan
dengan kerja norepineprin disebut adrenergik.
Penggolongan obat-obat yang bekerja pada sistem saraf otonom
1. Kolinergik
a. Agonis kolinergik,
contohnya pilokarpin
b. Antagonis kolinergik,
contohnyaatropine
2. Adrenergik
a. Agonis adrenergik,
contohnya amfetamin
b. Antagonis adrenergik,
contohnya fenoksibenzamin
I.2 Tujuan Percobaan
Setelah menyelesaikan
percobaan ini diharapkan mahasiswa :
Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem saraf
otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh
Mengenal suatu teknik mengevaluasi obat
antikolinergik pada neurofraktor parasimpatikus.
I.3 Prinsip Percobaan
Pemberian zat kolinergik pada hewan percobaan
menyebabkan salivasi dan hipersalivasi yang dapat diinhibisi oleh zat
antikolinergik.
Persen inhibisi
% Inhibisi = diameter kontrol -
diameter uji x 100 %
diameter kontrol
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem saraf otonom merupakan bagian sistem
syaraf yang mengatur fungsi visceral tubuh. Sistem ini mengatur tekanan arteri,
motilitas dan sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, berkeringat,
suhu tubuh dan aktivitas lain. Karakteristik utama SSO adalah kemampuan
memengaruhi yang sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saj denyut jantung
dapat meningkat hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah
dalam belasan detik, berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam
beberapa detik, juga pengosongan kandung kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat
untuk melakukan pengendalian terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadap
homeostasis dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan demikian,
SSO merupakan komponen dari refleks visceral (Guyton, 2006).
Perjalanan SSO dimulai dari persarafan sistem
saraf pusat (selanjutnya disebut SSP). Neuron orde pertama berada di SSP, baik
di sisi lateral medulla spinalis maupun di batang otak. Akson neuron orde
pertama ini disebut dengan serabut preganglion (preganglionic fiber).
Serabut ini bersinaps dengan badan sel neuron orde kedua yang terletak di dalam
ganglion. Serabut pascaganglion menangkap sinyal dari serabut preganglion
melalui neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut preganglion. Seperti yang
telah diketahui, ganglion merupakan kumpulan badan sel yang terletak di luar
SSP. Akson neuron orde kedua, yang disebut dengan serabut pascaganglion
(postganglionic fiber) muncul dari ganglion menuju organ yang akan diinervasi.
Organ efektor menerima impuls melalui pelepasan neurotransmiter oleh serabut
pascaganglion. Kecuali untuk medulla adrenal, baik sistem saraf simpatis dan
parasimpatis mengikuti pola seperti yang telah dijelaskan di atas (Regar,
2010).
Didalam sistem saraf otonom terdapat obat
otonom. Obat otonom adalah obat yang bekerja pada berbagai
bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor.
Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya
secara spesifik dan bekerja pada dosis kecil. Obat-obat otonom bekerja
mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan
mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian neurohormon tersebut
dan khasiatnya atas reseptor spesifik (Pearce, 2002).
Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut,
maka obat berkhasiat pada sistem saraf otonom digolongkan menjadi :
1. Obat yang berkhasiat
terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai
berikut:
·
a. Simpatomimetik atau
adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan dari saraf
simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan
lain-lain.
b. Simpatolitik atau
adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf parasimpatik ditekan atau
melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida sekale, propanolol, dan
lain-lain.
2. Obat yang berkhasiat
terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai berikut
a. Parasimpatomimetik atau
kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari saraf parasimpatik oleh
asetilkolin, contohnya pilokarpin dan phisostigmin
b. Parasimpatolitik atau
antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatik ditekan atau
melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida belladonna (atropine)
Obat adrenergik
merupakan obat yang memiliki efek yang ditimbulkankannya mirip
perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor epinefrin (yang
disebut adrenalin) dari susunan sistem saraf sistematis.
Kerja obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis yaitu
:
1. Perangsang
perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, dan terhadap
kelenjar liur dan keringat.
2. Penghambatan
perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot rangka.
3. Perangsangan jantung, dengan
akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi.
4. Perangsangan SSP, misalnya
perangsangan pernapasan, penungkatan kewaspadaan, aktivitas psikomotor, dan
pengurangan nafsu makan.
5. Efek
metabolik, misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot, lipolisis
dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak
6. Efek
endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, renin dan hormone
hipofisis.
7. Efek
prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan
neurotransmitter NE dan Ach.
b. Kerja obat adrenergik dibagi 2 yaitu :
1. Obat adrenergik kerja
langsung
Kebanyakan obat adrenergik bekerja secara langsung pada reseptor
adrenergic di membran sel efektor, tetapi berbagai obat adrenergik tersebut
berbeda dalam kapasitasnya untuk mengaktifkan berbagai jenis reseptor
adrenergic. Misalnya, isoproterenol praktis hanya bekerja pada reseptor β dan
sedikit sekali pengaruhnya pada reseptor α sebaliknya, fenilefrin praktis hanya
menunjukan pada reseptor α. Jadi suatu obat adrenergic dapat diduga bila
diketahui reseptor mana yang terutama dipengaruhi oleh obat.
2. Obat adrenergik kerja tidak
langsung
Banyak obat adrenergik, misalnya amfetamin dan efedrin bekerja
secara tidak lansung artinya menimbulkan efek adrenergik melalui pelepasan NE
yang tersimpan dalam ujung saraf adrenergic. Pemberian obat-obat ini secara
terus menerus dalam waktu singkat singkat akan menimbulkan takifilaksis.
c. Epinefrin
Pada umunya pemberian Epi menimbulkan efek mirip stimulasi saraf
adrenergik.
a. Efek yang paling
menonjol pada epinefrin
1. Kardiovaskular (pembuluh
darah)
Efek vaskular Epi terutama pada arteriol kecil dan sfingter
prekapiler, tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh darah
kulit, mukosa dan ginjal mengalami konstriksi akibat aktivasi reseptor α oleh
Epi. Pada manusia pemberian Epi dalam dosis terapi menimbulkan kenaikan tekanan
darah tidak menyebabkan konstriksi arteriol otak, tetapi menimbulkan
peningkatan aliran darah otak.
2. Arteri koroner
Epi meningkatkan aliran darah koroner tetapi Epi juga dapat
menurunkan aliran darah kroner karena kompresi akibat peningkatan kontraksi
otot jantung dan karena vasokonstriksi pembulu darah koroner akibat efek
reseptor α.
3. Jantung
Epi mengaktivasi reseptor β1 di otot jantung, sel pacu
jantung dan jaringan konduksi. Epi mempercepat konduksi sepanjang jaringan
konduksi mulai dari atrium ke nodus atrioventrikular (AV), sepanjangbundle of
His dan serat purkinje sampai ke ventrikel. Epi memperkuat kontraksi
dan mempercepat relaksasi serta memperpendek waktu sistolik tanpa mengurangi
waktu diastolik.
4. Tekanan darah
Pemberian Epi pada manusia secara SK atau secara IV dengan lambat
menyebabkan kenaikan tekanan sistolik yang sedang dan penurunan diastolik.
Tekanan nadi bertambah besar, tetapi tekanan darah rata-rata (mean arterial
pressure) jarang sekali menunjukkan kenaikan yang besar.
5. Otot polos
Efek Epi pada otot polos berbagai organ bergantung pada jenis
reseptor adrenergik pada otot polos yang bersangkutan.
b. Intoksikasi, efek samping
dan kontraindikasi
Pemberian Epi dapat menimbulkan
gejala seperti takut, khawatir, gelisah, tegang, nyeri kepala berdenyut,
tremor, rasa lemah, pusing, pucat, sukar bernapas dan palpitasi. Gejala-gejala
ini mereda dengan cepat setelah istirahat. Dosis Epi yang besar atau penyuntika
IV cepat yang tidak disengaja dapat menimbulkan perdarahan otak karena kenaikan
tekanan darah yang hebat. Bahkan penyuntikan SK 0,5 ml larutan 1 : 1000 dapat
menimbulkan perdarahan subaraknoid dan hemiplegia, untuk mengatasinya, dapat
dibrikan vasodilator yang kerjanya cepat, misalnya nitrit atau natrium
nitroprusid, α-bloker mungkin juga berguna.
Epi dikontraindikasikan pada
penderita yang mendapat α-bloker nonselektif, karena kerjanya yang tidak
terimbangi pada eseptor α pembuluh darah dapat menyebabkan hipertensi yang
berat dan perdarahan otak.
c. Penggunaan klinis
Manfaat Epi dalam klinis digunakan untuk menghilangkan sesak napas
akibat bronkokonstriksi, untuk mengatasi reaksi hipersensitivitas terhadap obat
maupun allergen lainnya, dan untuk memperpanjang masa kerja anestetik lokal.
Epi dapat juga digunakan untuk merangsang jantung pada waktu henti jantung oleh
berbagai sebab. Secara lokal obat ini digunakan untuk menghentikan perdarahan
kapiler.
d. Posologi dan sediaan
Suntikan epinefrin adalah larutan steril 1 : 1000 Epi HCL
dalam air untuk penyuntikan SK, ini digunakan untuk mengatasi syok anafilaktik
dan reaksi-reaksi hipersensitivitas akut lainnya. Dosis dewasa berkisar antara
0,2-0,5 mg (0,2-0,5 ml larutan 1 : 1.000). untuk penyuntikan IV, yang jarang
dilakukan, larutan ini harus diencerkan lagi dan harus disuntikkan dengan
sangat perlahan-lahan. Dosisnya jarang sampai 0,25 mg, kecuali pada henti
jantung, dosis 0,5 mg dapat diberikan tiap 5 menit. Penyuntikan
intrakardial kadang-kadang dilakukan untuk resusitasi dalam keadaan
darurat (0,3-0,5 mg).
Inhalasi epinefrin adalah larutan tidak steril 1% Epi HCL
atau 2% Epi bitartrat dalam air untuk inhalasi oral (bukan nasal) yang
digunakan untuk menghilangkan bronkokonstriksi.
Epinefrin tetes mata adalah larutan 0,1-2% Epi HCL 0,5-2% Epi
borat dan 2% Epi bitartrat.
d. Norepinefrin
Obat ini dikenal sebagai levarterenol, I-arterenol atau
I-noradrenalin dan kmerupakan neurotransmitor yang dilepas oleh serat pasca
ganglion adrenergik. NE bekerja terutama pada reseptor α, tetapi efeknya masih
sedikit lebih lemah bila dibandingkan dengan Epi. NE mempunyai efek β1pada
jantung yang sebanding dengan Epi, tetapi efek β2nya jauh lebih lemah daripada
Epi. Infus NE pada manusia menimbulkan peningkatan tekanan diastolik, tekanan
sistolik dan biasanya juga tekanan nadi. Intoksikasi, efek samping dan
kontraindikasi, Efek samping NE yang paling umum berupa rasa kuatir, sukar
bernapas, denyut jantung yang lambat tetapi kuat dan nyeri kepala selintas.
Dosis berlebihan atau dosis biasa pada penderita yang hiper-reaktif (misalnya
penderita hipertiroid) menyebabkan hipertensi berat dengan nyeri kepala yang
hebat, fotofobia, nyeri dada, pucat, berkeringat banyak dan muntah. Obat ini
merupakan kontraindikasi pada anesthesia dengan obat-obat yang menyebabkan
sensitisasi jantung karena dapat timbul aritmia. Ne digunakan untuk pengobatan
syok kardiogenik
Obat ini merupakan amin
simpatomimetik yang kerjanya paling kuat pada semua reseptor β dan hampir tidak
bekerja pada reptor α. Infus isoproterenol pada manusia menurunkan resistensi
perifer, terutama pada otot rangka, ginjal dan ,esenterium sehingga tekanan
diatolik menurun.
· Kolenergika atau
parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang
sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan
neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama susunan
parasimpatis adalah mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat
penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron susunan parasimpatis
dirangsang, timbullah sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan
tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan
dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah
lambung (HCl), juga sekresi air mata, memperkuat sirkulasi,antara lain dengan
mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan
darah,memperlambat pernafasan, antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan
sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot mata dengan efek penyempitan
pupil (miosis) dan menurunnya
tekanan intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung
kemih dan ureter denganefek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh
dan kotraksi otot kerangka, menekanSSP setelah pada permulaan menstimulasinya,
dan lain-lain. (Tan dan Rahardja, 2002). Salah satu kolinergika yang sering
digunakan dalam pengobatatan adalah Pilokarpin yang juga merupakan salah
satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar keringat, air
mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk maksud
demikian.Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang dapat
menurunkan tekanan bolamata baik glaukoma bersudut sempit maupun bersudut
lebar.
· Antikolinergik adalah
ester dari asam aromatik dikombinasikan dengan basa organik. Ikatan ester
adalah esensial dalam ikatan yang efektif antara antikolinergik dengan reseptor
asetilkolin. Obat ini berikatan secara blokade kompetitif dengan asetilkolin dan
mencegah aktivasi reseptor. Efek selular dari asetilkolin yang diperantarai
melalui second messenger seperti cyclic guanosine monophosphate (cGMP)
dicegah. Reseptor jaringan bervariasi sensitivitasnya terhadap blokade. Faktanya
: reseptor muskarinik tidak homogen dan subgrup reseptor telah dapat
diidentifikasikan : reseptor neuronal (M1),cardiak (M2) dan kelenjar
(M3) (Yeni, 2011).
Obat kolinergik dibagi dalam 3 golongan :
1. Ester kolin
Dalam golongan ini termasuk asetilkolin, metakolin, karbokol,
betanekol. Asetilkolin (Ach) adalah prototip dari oabat golongan ester kolin.
Asetilkolin hanya bermanfaat dalam penelitian tidak berguna secara klinis
karena efeknya menyebar ke berbagai organ sehingga titik tangapnya
terlalu luas dan terlalu singkat. Selain itu Ach tidak dapat diberikan per
oral, karena dihidrolisis oleh asam lambung.
a. Farmakodinamik
Secara umum farmakodinamik dari Ach dibagi dalam dua golongan,
yaitu terhadap :
1. Kelenjar eksoskrin dan otot
polos, yanh disebut efek muskarinik
2. Ganglion (simpatis dan
parasimpatis) dan otot rangka, yang disebutefek nikotik.
Pembagian efek Ach ini berdasarkan obat yang dapat mengahambatnya,
yaitu atropin mengahambat khusus efek muskarinik, dan nikotin dalam dosis besar
mengahambat efek nikotinik asetilkolin terhadap ganglion. Bila asetilkolin
diberikan intravena, maka efeknya terhadap pembuluh darah merupakan resultante
dari beberapa efek tunggal :
1. Ach bekerja langsung pada
reseptor kolinergik pembuluh darah dan melaui pengelepasan EDRF (endhotelium
derived relaxing factory) menyebabkan fasodilatasi.
2. Ach bekerja pada ganglion
simpatis dengan akibat pelepasan NE pada akhir postsinaptik pembuluh darahdan
menyebabkan vasokonstriksi. Saraf parasimpatis hamper tidak mempunayi pengaruh
terhadap pembuluh darah melaluiganglion parasimpatis kecuali pada alat kelamin.
3. Ach bekerja merangsang sel
medulla anak ginjal yang melepaskan katekolamin dan menyebabkan vasokonstriksi
4. Ach dapat merangsang
reseptor muskarinik parasinaps saraf adrenergic dan mengurangi peepasan NE.
Resultante dari keempat efek ini akan menentukan apakah terjadi
kenaikan atau penurunan tekanan darah.
Saluran cerna. Pada saluran cerna semua obat dari golongan
ini dapat merangsang peristalsis dan sekresi lambung serta usus. Karbakol dan
betanekol menimbulkan hal ini tanpa mepengaruhi sisitem kardiovaskuler,
sedangkan efek asetilkolin dan metakolin disrtai engan hipotensi dan takikardi
kompensator.
Kelenjar eksoskrin. Ach dan ester kolin lainnya merangsang
kelenjar keringat, kelenjar air mata, kelenjar ludah dan pankreas. Efek ini
merupakan efek muskarinik dan tidak nyata pada orang sehat.
Bronkus. Ester kolin dikontraindikasikan pada penderita asma
bronkial karena terutama pada penderita ini akan menyebabkan spasme bronkus dan
produksi lendir berlebihan. Efek ini tidak nyata pada orang sehat.
Saluran kemih. Karbakol dan betanekol memperlihatkan efek
yang lebih jelas terhadap otot detrusor dan otot ureter dibandingkan dengan
asetilkolin dan metakolin. Obat ini menyebabkan kapasitas kandung kemih
berkurang dan peristalsis ureter bertambah.
b. Sediaan dan posologi
Karena jarang digunakan di klinik, sediaan kolinergik sulit
didapat di Indonesia.
Asetilkolin klorida/bromida dapat diperoleh sebagai bubuk
kering, dan dalam ampul berisi 200 mg, dosis : 10 – 100 mg IV.
Metakolin klorida tersedia sebagai tablet 200 mg pemberian
oral tidak dapat diandalkan , sebaliknya diberikan subkutan (SK) 2,5 – 40 mg,
tergantung dari respon penderita.
Karbakol klorida sebagai tablet 2 mg atau ampul 0,25 mg/ml,
pemberian oral cukup efektif dengan dosis 3 kali 0,2 – 0,8 mg. Dosis subkutan
adalah 0,2 – 0,4 mg. Preparat ini tidak boleh diberikan IV. Juga tersedia
sebagai tetes mata untuk miotikum.
Betanekol klorida tersedia sebagai tablet 5 dan 10 mg atau
dalam ampul yang mengandung 5 mg/ml. Dosis oral adalah 10 - 30 mg, sedangkutan
subkutan 2,5 – 5,0 mg. tidak boleh diberikan IV atau IM.
c. Efek Samping
Dosis berlebihan dari ester kolin sangat berbahaya karena itu
jangan diberikan secara IV, kecuali asetilkolin yang lama kerjanya sangat
singkat. Pemberian oral atau SK merupakan cara yang lazim digunakan. Kombinasi
dengan prostigmin atau obat kolinergik lain juga tidak boleh digunakan, karena
terjadi potensiasi yang dapat membawa akibat buruk. Ester kolin dapat
mendatangkan serangan iskemia jantung pada penderita angina pectori, karena
tekanan darah yang menurun mengurangi sirkulasi koroner. Penderita
hipertiroidisme dapat mengalami fibrilasi atrium terutama pada pemberian
metakolin. Tindakan pengamanan perlu diambil yaitu dengan menyediakan atropin
dan epinefrin sebagai antidotum. Gejala keracunan pada umumnya berupa efek
muskarinik dan nikotinik yang berlebihan, keracunan ini harus cepat diatasi
dengan atropin dan epinefrin.
d. Indikasi
Metakolin pernah digunakan untuk memperbaiki sirkulasi
perifer pada penyakit Raynaud atau tromboflebitis bedasarkan efek vasodilatasi
terhadap pembuluh darah arteri tetapi sekarang tidak digunakna lagi kerana
intensitas respons yang tidak dapat diramalkan.
Feokromositoma. Metakolin dapat digunakan untuk tes provokasi
penyakit ini pada waktu tekanan darah penderita sangat rendah. Pemberian
metakolin 25 mg SK akan menyebabkan turunnya tekanan darah seperti yang
diharapkan tetapi dengan cepat disusul dengan peningkatan tekanan sistolik
maupun diastolik. Uji semacam ini uga dapat dikerjakan dengan asetilkolin atau
dengan histamine. Bila tensi penderita sedang tinggi, sedikit-dikitnya diatas
190 mmHg, maka sebaiknya dilakukan uji fentoloamin. Hasil uji fentolamin
dikatakan positif bila penurunan tekanan darah sekurang-kurangnya 35/25 mmHg.
Antikolinesterase terdiri dari eserin (fisostigmin), prostigmin
(neostigmin), disospropil-fluorofosfat (DFP), dan insektisida golongan
organofosfat. Antikolinesterase menghambat kerja kolinesterase (dengan mengikat
kolinesterase) dan mengakibatkan perangsangan saraf kolinergik terus menerus
karena Ach tidak dihidrolisis. Dalam golongan ini kita kenal dua kelompok obat
yaitu yang menghambat secara reversible misalnya fisostigmin, prostigmin,
piridostigmin dan edrofonium. Dan menghambat secara ireversibel misalnya gas
perang, tabung, sarin, soman, insektisida organofosfat, parathion, malation,
diazinon, tetraetil-pirofosfat (TEPP), heksaetiltetrafosfat (HETP) dan
oktametilpiro-fosfortetramid (OMPA).
a. Mekanisme kerja
Hampir semua kerja antikolinesterase dapat diterangkan adanya
asetikolin endogen. Hal ini disebabkan oleh tidak terjadinya hidrolisis
asetilkolin yang biasanya terjadi sangat cepat, karena enzim yang diperlukan
diikat dan dihambat oleh antikolinesterase. Hambatan ini berlangsung beberapa
jam utuk antikolinesterase yang reversible, tetapi yang ireversibel dapat
merusak kolinesterase sehingga diperlukan sisntesis baru dari enzim ini untuk
kembalinya transmisi normal. Akibat hambatan ini asetilkolin tertimbun pada
rseptor kolinergik ditempat Ach dilepaskan.
b. Farmakodinamik
Efek utama antikolinesterase yang menyangkut terapi terlihat pada
pupil, usus dan sambungan saraf-otot. Efek-efek lain hanya mempunyai arti
toksikologi.
Mata. Bila fisostigmin (Eserin) atau DFP diteteskan pada
konjungtiva bulbi, maka terlihat suatu perubahan yang nyata pada pupil berupa
miosis, hilangnya daya akomodasi dan hiperemia konjungtiva. Miosis terjadi cepat
sekali, dalam beberapa menit, dan menjadi maksimal setelah setengah jam.
Tergantung dari antikolinesterase yang digunakan, kembalinya ukuran pupil ke
normal dapat terjadi dalam beberapa jam (fisostigmin) atau beberapa hari sampai
seminggu (DFP). Miosis menyebabkan terbukannya saluran Schlemm, sehingga
pengaliran cairan mata lebih mudah, maka tekanan intraokuler menurun. Terutama
bila ada glaukoma. Miosis oleh obat golongan ini dapat diatasi oleh atropin.
c. Farmakokinetik
Fisostigmin mudah diserap melalui saluran cerna, tempat suntikan
maupun melaui selaput lendir lainya. Seperti atropin, fisostigmin dalam obat
tetes mata dapat menyebabkan obat sistemik. Hal ini dapat dicegah dengan
menekan sudut medial mata dimana terdapat kanalis lakrimalis. Prostigmin dapat
diserap secara baik pada pemberian parenteral, sedangkan pada pemberian oral
diperlukan dosis 30 kali lebih besar dan penyerapannya tidak teratur. Efek
hipersalivasi baru tampak 1-1 ½ jam setelah pemberian oral 15-20 mg.
d. Sediaan dan posologi
Fisostigmin salisilat (eserin salisilat) tersedia sebagai
obat tetes mata, oral dan parenteral. Prostigmin bromida (Neostigmin
bromida)tersedia untuk pemakian oral (15mg per tablet) dan neostigmin
metilsulfat untuk suntikan, dalam ampul 0,5 dan 1,0 mg/ml.Pridostigmin
bromida (Mestinon bromida) sebagai tablet 60 mg dan juga ampul 0,5
mg/ml. Edrofonium klorida ( Tensilon klorida), dalam ampul 10 mg/ml, dapat
dipakai untuk antagonis kurareatau diagnosis miastenia
gravis. Diisopropilfluorofosfat (DFP) atau isoflurorattersedia
sebagai larutan dalam minyak untuk pemberian parenteral dan sebagai obat tetes
mata (0,1 % larutan dalam air).
e. Indikasi
1. Antonio otot polos
Prostigmin terutama berguna untuk keadaan atoni otot polos
saluran cerna dan kandung kemih yang sering terjadi pada pasca bedah atau
keadaan toksik. Pemberian sebaiknya secara SK atau IM. Prostigmin yang
diberikan sebelum pengambilan X-foto abdomen juga bermanfaat untuk
menghilangkan bayangan gas dalam usus.
2. Sebagai miotika
Fisostigmin dan DFP secara local digunakan dalam oftalmologi untuk
menyempitkan pupil, terutama setelah pemberian atropin pada funduskopi.
Dilatasi pupil oleh atropin berlangsung berhari-har dan menggangu penglihaan
bila tidak diantagonis dengan eserin. Dalam hal ini DFP merupakan miotik yang
kuat. Perlekatan iris dengan lensa kadang-kadang terjadi akibat peradangan
dalam hal ini atropin dan fisostigmin digunakan berganti-ganti untuk mencegah
timbulnya perlengketan tersebut.
3. Diagnosis dan pengobatan
miastenia gravis
Miastenia gavis ditandai dengan kelemhan otot yang ekstrim. Gejala
penyakit ini adalah berkurangnya produksi asetilkolin pada sambungan saraf-otot
atau dapat ditandai juga dengan peninggian ambang rangsangan. Setelah pemberian
1,5 mg prostigmin SK kelemahan otot rangka diperbaiki sedemikian rupa sehingga
dapat dianggap sebagai suatu tes diagnostik. Untuk diagnosis digunakan 2 mg
androfonium, disusul 8 mg 45 detik kemudian bila dosis pertama tidak mempan.
Prostigmin dan piridostigmin merupakan kolinergik yang sering digunakan untuk
mengobati miastenia gravis. Pengobatan dimulai dengan 7,5 mg prostigmin atau 30
mg prodiatigmin biasanya 3 kali sehari. Bila diragukan apakah efek kolinergik
sudah cukup apa belum, dapat diuji dengan pemberian endrofonium, bila terjadi
perbaikan berarti dosis perlu ditambah.
4. Penyakit Alzheimer
Dosis yang diberiakn pada penyakit Alzheimer yaitu 3 kali sehari
25-50 mg diawali dengan 50 mg/hari dan ditingkatkan sampai 150 mg/hari dalam 4
minggu. Efek samping mual dan efek kolinergik perofer lainnya tidak menibulkan
masalah, mungkin karena dosis dinaikan secra bertaha dalam 4 minggu. Obat ini
meningkatkan enzim aminotransferase dan dikhawatirkan bersifat hepatotoksisk.
Karena itu dianjurkan melakukan uji fungsi hati setiap 2 minggu dalam 3 bulan
pertama dan setiap bulan setelahnya.
Alkaloid tumbuhan yaitu : muskarin yang berasal dari
jamur Amanita muscaria, pilokarpin yang berasal dari
tanaman Pilocarpus jaborandi danPilokarpus microphyllus dan
arekolin yang berasal dari Areca catehu(pinang). Ketiga obat ini bekerja
pada efek muskarinik, kecuali pilokarpin yang juga memperlihatkan efek
nikotinik. Pilokorpin terutama menyebabkan rangsangan terhadap kelenjar
keringat yang terjadi karena perangangan langsung (efek muskarinik) dan
sebagian karena perangsangan ganglion (efek nikotinik), kelenjar air mata dan
kelenjar ludah. Produksi keringat dapat mencapai 3 liter. Pada penyuntika IV
biasanya terjadi kenaikan tekanan darah akibat efek ganglionik dan sekresi
katekolamin dari medulla adrenal.
a. Intoksikasi
Keracunan muskarin dapat terjdi akibat keracunan jamur. Keracunan
jamur Clitocybe dan Inocybe timbul cepat dalam beberapa
menit sampai dua jam setelah makan jamur sedangkan gejala keracunan A.
phalloidestimbul lambat, kira-kira sesudah 6-15 jam, dengan sifat gejala yang
berlainan. Amanita muscaria dapat menyebabkan gejala muskarinik
tetapi efek utama disebabkan oleh suatu turunan isoksazol yang merupakan
antidotum yang ampuh bila efek muskariniknya yang dominan. Amanita
phalloides lebih berbahaya, keracunannya ditandai dengan gejala-gejala
akut di saluran cerna dan dehidrasi yang hebat.
b. Indikasi
Pilokarpin HCL atau pilokarpin nitrat digunakan sebagai obat tetes
mata untuk menimbulkan miosis dengan larutan 0,5-3 %. Obat ini juga digunakan
sebagai diaforetik dan untuk menimbulkan saliva diberikan per oral dengan dosis
7,5 mg. Arekolin hanya digunakan dalam bidang kedokteran hewan untuk penyakit
cacing gelang. Musakrin hanya berguna untuk penelitian dalam laboratorium dan
tidak digunakan dalam terapi. Aseklidin adalah suatu senyawa sintetik
yang strukturnya mirip arekolin. Dalam kadar 0,5-4% sama efektifnya dengan
pilokarpin dalam menurunkan tekanan intraokular. Obat ini digunakan pada
penderita glaukoma yang tidak tahan pilokarpin.
1. Metoklopramid
Metoklopramid merupakan senyawa golongan benzamid. Gugus kimianya
mirip prokainamid, tetapi metoklopramid memiliki efek anestetik lokal yang
sangat lemah dan hamper tidak berpengaruh terhadap miokard.
a. Efek
farmakologi metoklopramid sangat nyata pada saluran cerna, obat ini juga
dapat meningkatkan sekresi prolaktin. Mekanisme kerja metoklopramid
pada saluran cerna, yaitu :
1. Potensiasi efek kolinergik
2. Efek langsung pada otot
polos
3. Penghambatan dopaminergik
sentral
b. Indikasi. Metaklopramid
terutama digunakan untuk memperlancar jalannya zat kontras pada waktu
pemeriksaan radiologic lambung dan deuodenum untuk mencegah atau mengurangi
muntah akibat radiasi dan pascabedah, untuk mempermudah intubasi saluran cerna.
selain itu obat ini diindikasikan pada berbagai gangguan saluran cerna dengan
gejala mual, muntah, rasa terbakar di ulu hati, perasaan penuh setelah makan
dan gangguan cerna (indigestion) misalnya pada gastroparesis diabetik.
c. Kontraindikasi, efek
samping dan interaksi obat
Metoklopiramid dikontraindikasikan pada obstruksi, perdarahan, dan
perforasi saluran cerna, epilepsi, feokromositoma dan gangguan ekstrapiramidal.
Efek samping yang timbul pada penggunaan metoklopramid pada umunya ringan. Yang
penting diantaranya adalah kantuk, diare, sembelit dan gejala ekstrapiramidal.
d. Sediaan dan posologi
Metoklopiramid tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg, sirup
mengandung 5 mg/ 5 ml dan suntikan 10 mg/2ml untuk penggunaan IM atau IV. Dosis
untuk dewasa ialah 5-10 mg 3 kali sehari, untuk anak 5-14 tahun 2,5 mg – 5 mg
diminum 3 kali sehari, anak 3-5 tahun 2 mg diminum 2 atau 3 kali sehari, anak
1-3 tahun 1 mg diminum 2 atau 3 kali sehari dan bayi 1 mg diminum 2 kali
sehari.
2. Sisaprid
Sisaprid merupakan senyawa benzamid yang merangsang motilitas
saluran cerna. Kerja obat ini diduga meningkatkan pelepasan ACH di saluran
cerna.
a. Eksperimental pada hewan
Sisaprid meningkatkan tonus istirahat sfingter bawah esofagus dan
meningkatkan amplitudo kontraksi esofagus bagian distal. Pengosongan lambung
dipercepat, waktu transit mulut-saekum memendek, peristalsis kolon meningkat.
b. Indikasi
Sisaprid diindikasikan pada refluks gastroessofagial, gangguan
mobilitas gaster dan dyspepsia bukan karena tukak.
c. Sediaan dan posologi
Dosis 3-4 kali sehari 10 mg, 15-30 menit sebelum makan. Lama
pengobatan 4-12 minggu. Obat ini dimetabolisme secara ekstensif di hati
sehingga dosis perlu disesuaikan pada gagal hati. Pada pasien gagal ginjal,
dosis juga perlu diturunkan sesuai beratnya gangguan, mungkin sampai
separuhnya. Perhatian. Jangan memberikan sisaprid bila peningkatan
gerakan saluran cerna dapat berpengaruh buruk misalnya pada pendarahan, obstruksi,
perforasi, atau keadaan pascabedah.
d. Efek samping
Efek samping pada saluran cerna berupa : Kolik, borborigmi, dan
diare. Gejala sistem saraf pusat berupa sakit kepala, pusing, konvulsi dan
efek.
ATROPIN
Atropine adalah alkaloid belladonna yang mempunyai
afinitas kuat terhadap reseptor muskarinik. Obat ini bekerja kompetitif
antagonis dengan Ach untukmenempati kolinoreseptor. Umumnya masa kerja obat ini
sekitar 4 jam. Terkecuali, pada pemberian sebagai tetets mata, masa kerjanya
menjadi lama bahkan sampai beberapa hari
Farmakokinetik
Atropine mudah diabsorpsi sebagian dimetabolisme
dalam hepar dan diekskresi ke dalam urine. Waktu paruhnya sekitar 4 jam.
Farmakodinamik
Efek antikolinergikdapat emnstimulasi ataupun
mendepresi bergantung pada organ target. Di dalam otak, dosis rendah merangsang
dan dosis tinggi mndepresi. Efek obat ini juga ditetukan oleh kondisi yang akan
diobati. Misalnya Parkinson yang dikarakteritsikan dengan defisiensi
dopamine yang mengintensifkan eegfek stimulasi Ach. Antimuskarinik menumpulkan
atau mendepresi efek ini. Pada kasus lain, efek obat ini pada SSP terlihat
sebagai stimulator.
Efek pada mata – midriasi dapat sampai sikloplegia (tidak berakomodasi)
Saluran cerna – atropine digunakan sebagai antispasmodic (mungkin
atropine merupakan obat terkuat untuk menghambat saluran cerna). Obat ini tidak
mempengaruhi sekresi asam lambung sehingga tidak bermanfaat sebagai antiulkus.
Saluran kemih – attroopin digunakan untuk menurunkan
hipermotilitas kandung kemih dan kadang-kadang masih digunakan untuk enuresis
pada anak yang mengompol. Ole karena itu, agonis alfa-aderenergik lebih efektif
dengan efek samping yahng lebih sedikit.
Kardiovaskular – efek atropine pada jantung
bergantung pada besar dosis. Pada dosis kecil menyebabkan bradikardi. Atropine
dosis tinggi terjadi penyekatan reseptor kolinergik di SA nodus dan denyut
jantung sedikit bertambah (takikardi). Efek ini baru timbul bila atropine
diberi 1mg.
Kelenjar eksokrin – atropine menghambat sekressi kelenjar saliva
sehingga mukosa mulut menjadi kering ( serestomia). Kelenjar saliva sangat peka
terhadap atriopin. Hambatan sekresi kelenjar keringat menyebabkan suhutubh jadi
naik, juga kelenjar air mata mengalaami gangguan.
Indikasi klinis
· Efek midriasi atropine
digunakan untuk diagnostic tes pada kelainan dalam mata/retina.
· Sebagai antisekretori
pada waktu operasi.
· Antispasmodic saluran
cerna dan kandung kemih.
· Antidotum obat-obat
agoni kolinergik, seperti pada keracunan insektisisda karbamat, organofosfat,
dan jamur.
Efek Samping
ESO atropine sangat bergantung pada besarnya
dosis yang diberikan. Atropine dapat meyebabksn mulut kering, penglihatan
kabur, mata rasa berpasir ( sandy eyes), takkikardi, dan konstipasi. ESO pada
SSp berupa rasa capek, bingung, halusinasi, delirium yang dapat menjadi
depresi, depresi napas dan kematian.
PILOKARPIN
Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier
yang stabil terhadap hidrolisis oleh asetilkolinesterase. Pilokarpin termasuk
obat yang lemah disbanding dengan asetilkolin danturunanya. Aktivitas utamanya
adalah muskarinik dan digunakan untuk oftalmologi.
Efek samping
perangsangan keringat dan salvias yang berlebihan. Pilokarpin juga
dapat masuk ke SSP dan menimbulkan gangguan SSP.
Istilah untuk ester-ester asam karbonat atau
turunan asam karbamat. Istilah uretan sering dipakai untuk menunjukan etil
karbamat saja, sedangkan untuk ester-ester asam karbamat lain dinamakan secara
sistematik kimia organic, misla propil uretan dinamakan etil propil karbamat.
Uretna (etil karbamat) berupa Kristal putih , titik leleh 490 –
500 C dn titik didih 1820-1840 C
mudah menyblim dan higroskopis. Dapat dibuat secara sintesa dengan berbagai
cara. Digunakan dalam berbagai pengobatan. Turunan-turunan uretan digunakan
dalam pembuatan plastic, baik sebagai monomer, komonomer ataupun sebaga
pemelastik.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
1. Percobaan untuk
percobaan, buatkan larutan gom arab dan obat
2. Hewan percobaan dipilih
secara acak, kesehatan diamati, kemudian masing-masing hewan ditimbang dan
diberi tanda pengenal.
3. Pada waktu T = 0, satu
kelompok diberi atropin p.o dan segera sesudah pemberian uretan i.p kelompok
kontrol hanya diberi larutan gom dengan cara yang sama.
4. Pada waktu T = 15 menit,
kelompok lain disuntikkan atropin 0,015 mg/kgBB s.c, segera sesudah disuntikkan
uretan.
5. Pada waktu T = 45 menit,
semua mencit diberikan pilokarpin secara subkutran.
6. Kemudian masing-masing
mencit diletakkan diatas kertas saring pada alat ( 1 mencit perkotak).
Penempatan mencit haruslah sedemikian hingga mulutnya berada tepat diatas
kertas, kemudian ekornya diikat dengan seutas tali dan diberi beban sebagai
penahan.
7. Setiap 5 menit mencit
ditarik ke kotak berikutnya yang letaknya lebih atas. Selanjutnya diulang hal
yang sama selama 25 menit sampai kotak paling atas.
8. Amati besarnya noda yang
terbentuk diatas kertas disetiap kotak dan tandai batas noda (menggunakan
spidol)
9. Diameter noda diukur dan
dihitung persentase inhibisi yang diberikan oleh kelompok atropin.
10. Data hasil perhitungan dimasukkan ke dalam tabel
dan dibaut grafik inhibisi persatuan waktu.
BAB IV
ALAT, BAHAN DAN HEWAN PERCOBAAN
IV.1 Alat Percobaan
- Uretan (1,8 g/kgBB)
- Atropin 0,04% (1
mg/kgBB) p.o
- Atropin 0,015 mg/kgBB
s.c
- Pilokarpin 0,02% (2
mg/kgBB) s.c
- Gom arab 3%
IV.2 Bahan Percobaan
Papan berukuran 40 x 30
cm yang diletakan diatas papan lain dengan ukuran yang sama. Papan pertama
membuat sudut 10⁰ dengan papan
kedua, sehingga membentuk segitiga. Papan bagian atas diberi alas 4 cm. setelah
itu kertas saring ditaburi metilen sebagai lapisan tipis.
IV.3 Hewan Percobaan
Mencit putih jantan
dengan berat badan 20-25 g dipuasakan sebelum percobaan (6 jam).
BAB V
HASIL PERCOBAAN
I. Kelompok kontrol
No
|
Bobot
mencit (gram)
|
Volume
pemberian gom arab 1% p.o (mL)
|
Volume
pemberian uretan i.p (mL)
|
Volume
pemberian pilokarpin s.c (mL)
|
Diameter
noda pada t= …
|
||||
5’
|
10’
|
15’
|
20’
|
25’
|
|||||
1.
|
27,34
|
0,6835
|
0,68
|
0,275
|
0,92
|
2,65
|
3,63
|
3,67
|
3,58
|
2.
|
32
|
0,8
|
3,67
|
4,07
|
4,20
|
5,03
|
5,20
|
||
3.
|
26,56
|
0,6
|
0,6
|
0,24
|
2,26
|
2,43
|
2,53
|
2,7
|
2,93
|
4.
|
34
|
0,6
|
3,67
|
5,33
|
4,33
|
4,17
|
3,67
|
||
5.
|
30,52
|
0,8
|
0,7
|
0,3
|
3,0
|
3,9
|
3
|
1,8
|
1,3
|
6.
|
25
|
0,625
|
0,625
|
0,25
|
3,2
|
4,1
|
3,7
|
3,7
|
3,9
|
7.
|
26
|
0.65
|
0,65
|
0,26
|
0
|
1,625
|
3,2
|
3,1
|
2,9
|
8.
|
31
|
0,775
|
0,775
|
0,31
|
3
|
4,8
|
4,33
|
4,16
|
3,5
|
II. Kelompok dosis uji I
No
|
Bobot
mencit (gram)
|
Volume
pemberian atropin p.o (mL)
|
Volume
pemberian uretan i.p (mL)
|
Volume
pemberian pilokarpin s.c (mL)
|
Diameter
noda pada t= …
|
||||
5’
|
10’
|
15’
|
20’
|
25’
|
|||||
1.
|
26,40
|
0,66
|
0,67
|
0,265
|
0,92
|
3,02
|
3,97
|
4,22
|
3,75
|
2.
|
26
|
0,65
|
0
|
2,2
|
2,5
|
2,43
|
2,5
|
||
3.
|
23,5
|
1
|
0,5
|
0,22
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
4.
|
20
|
0,6
|
1,4
|
1,57
|
1,63
|
2.67
|
3,07
|
||
5.
|
27,05
|
0,7
|
0,7
|
0,3
|
0,8
|
2,9
|
3,5
|
3,2
|
3,5
|
6.
|
26
|
0,65
|
0,65
|
0,26
|
1,7
|
0,5
|
0,6
|
0,5
|
0,6
|
7.
|
28
|
0,7
|
0,7
|
0,28
|
0
|
2
|
2,8
|
2,5
|
3,1
|
8.
|
24
|
0,6
|
0,6
|
0,24
|
1,6
|
1,96
|
2,43
|
3
|
2,16
|
t
|
%
inhibisi
|
5
|
-66,09%
|
10
|
-49,39%
|
15
|
-33,89%
|
20
|
-25,75%
|
25
|
-16,11%
|
III. Kelompok dosis uji II
No
|
Bobot
mencit (gram)
|
Volume
pemberian atropin p.o (mL)
|
Volume
pemberian uretan i.p (mL)
|
Volume
pemberian pilokarpin s.c (mL)
|
Diameter
noda pada t= …
|
||||
5’
|
10’
|
15’
|
20’
|
25’
|
|||||
1.
|
25,08
|
0,627
|
0,625
|
0,25
|
0
|
2,3
|
2,97
|
3,02
|
2,88
|
2.
|
30
|
0,75
|
1,33
|
4,67
|
4,63
|
3,8
|
4,83
|
||
3.
|
21,76
|
1,25
|
0,6
|
0,24
|
0
|
0
|
1,8
|
2,0
|
2,0
|
4.
|
24
|
0,5
|
3,37
|
5,3
|
4,2
|
4,46
|
3,8
|
||
5.
|
24,17
|
0,6
|
0,6
|
0,2
|
0
|
0
|
0
|
0
|
1,8
|
6.
|
24
|
0,6
|
0,6
|
0,24
|
2,3
|
0,3
|
0
|
0
|
0
|
7.
|
28
|
0,7
|
0,7
|
0,28
|
1,63
|
3,6
|
4
|
4,2
|
3,5
|
8.
|
27
|
0,675
|
0,675
|
0,27
|
1,3
|
0,3
|
0
|
0
|
0
|
t
|
%
inhibisi
|
5
|
-66,08%
|
10
|
-57,85%
|
15
|
-40,39%
|
20
|
-47,22%
|
25
|
-26,63%
|
IV.
Kelompok
dosis uji III
No
|
Bobot
mencit (gram)
|
Volume
pemberian atropin p.o (mL)
|
Volume
pemberian uretan i.p (mL)
|
Volume
pemberian pilokarpin s.c (mL)
|
Diameter
noda pada t= …
|
||||
5’
|
10’
|
15’
|
20’
|
25’
|
|||||
1.
|
20,75
|
0,5
|
0,514
|
0,2075
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
2.
|
30
|
0,75
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
||
3.
|
24,38
|
0,6
|
0,6
|
0,2
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
4.
|
26
|
0,65
|
1,47
|
0,93
|
0,8
|
0,67
|
0,47
|
||
5.
|
22,11
|
0,6
|
0,6
|
0,2
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
6.
|
32
|
0,8
|
0,8
|
0,32
|
1,3
|
0,6
|
0
|
0
|
0
|
7.
|
31
|
0,78
|
0,78
|
0,31
|
2,4
|
2,4
|
2,4
|
3
|
3
|
8.
|
20
|
0,5
|
0,5
|
0,2
|
1,67
|
0
|
0
|
0,4
|
0,5
|
t
|
%
inhibisi
|
5
|
-74,45%
|
10
|
-64,89%
|
15
|
-31,02%
|
20
|
-79,29%
|
25
|
-82,03%
|
BAB VI
PEMBAHASAN
Dalam
praktikum farmakologi
kali ini mengenai obat sistem syaraf otonom atau obat kolinergik, dimana
dilakukan pengujian terhadap pengaruh aktivitas obat-obat sistem syaraf otonom
pada mencit. Syaraf otonom atau dapat disebut juga sebagai sistem saraftak sadar merupakan syaraf-syaraf yang bekerja tanpa disadari atau bekerja
secara otomatis tanpa diperintah oleh sistem saraf pusat dan terletak
khusus pada sumsum tulang belakang. Sistem saraf otonom ini terdiri dari
neuron-neuron motorik yang mengatur kegiatan organ-organ dalam, misalnya
jantung, paru-paru, ginjal, kelenjar keringat, otot polos sistem pencernaan dan
otot polos pembuluh darah.
Percobaan kali ini bertujuan untuk
menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem
syaraf otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh dan mengenal
suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada neoroefektor
parasimpatikus. Sehingga digunakan obat antikolinergik dengan berbagai cara
pemberian obat yang berbeda untuk melihat pengaruhnya terhadap system syaraf
otonom.
Percobaan ini dimulai
dengan mempersiapkan berbagai alat yang dibutuhkan. Kemudian dilakukan pemilihan hewan percobaan yaitu mencit. Setiap
kelompok praktikum masing-masing memilih 4 mencit, dimana satu mencit sebagai
kontrol, serta tiga mencit lainnya merupakan mencit yang diberikan atropin
dengan berbagai variasi dosis. Mencit yang telah dipilih, lalu ditimbang.
Penimbangan mencit ini dilakukan dengan meletakkan seekor mencit yang akan
digunakan, diatas neraca ohauss dan diamati angka yang menunjukkan berat badan
mencit. Penimbangan mencit ini bertujuan untuk mengetahui perhitungan dosis
yang tepat pada perlakuan percobaan, karena setiap individu yang memiliki berat
badan yang berbeda akan mendapatkan pemberian dosis yang berbeda, mengingat
berat badan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan pemberian
jumlah dosis. Setelah ditimbang setiap mencit diberikan tanda pengenal yang
berbeda. Hal ini bertujuan agar mempermudah mengenali mencit baik pada saat
pemberian perlakuan maupun saat dilakukan pengamatan terhadap percobaan. Mencit
dibagi menjadi 3 kelompok, yang nantinya akan diberikan
perlakuan yang berbeda. Masing-masing kelompok diberikan uretan
dengan dosis yang sesuai, secara intraperitonial menggunakan jarum suntik.
Uretan yang diberikan dalam bentuk larutan. Pemberian dilakukan dengan cara
memegang atau menjepit tengkuk diantara jari telunjuk dan jari tengah, dengan
membuat posisi abdomen yang lebih tinggi dari kepala. Jarum disuntik dengan
membentuk sudut 10⁰. Penyuntikan
harus sedikit menepi dari garis tengah, untuk menghindari terkenanya
kandung kemih. Jangan pula terlalu tinggi agar tidak mengenai hati.Tujuan
pemberian uretan adalah untuk membuat mencit tertidur atau
menurunkan aktivitasnya. Selain itu, pembiusan mencit dilakukan karena dalam
keadaan tertidur biasanya akan terjadi salivasi dimana salivasi ini akan
digunakan sebagai parameter dalam pengujian obat-obat sistem saraf otonom.
Sistem syaraf otonom terbagi menjadi 2 bagian,
yaitu sistem syaraf simpatik dan sistem syaraf parasimpatik. Kelenjar
saliva yang merupakan salah satu kelenjar dalam sistem pencernaan, akan
meningkat aktivitasnya jika distimulasi oleh sistem saraf parasimpatik atau
oleh obat-obat parasimpatomimetik. Tetapi sebaliknya, jika diberikaan obat-obat
yang aktivitasnya berlawanan dengan sistem parasimpatik yaitu obat
simpatomimetik, maka aktivitas kelenjar saliva akan menurun.
Setelah masing-masing kelompok diberi
uretan, mencit pada kelompok 1 diberikan atropin secara
peroral. Atropin yang diberikan dalam bentuk larutan. Perlakuan pada
mencit dilakukan dengan menggunakan jarum suntik yang ujungnya tumpul atau
yang biasa disebut dengan sonde oral. Alat ini dimasukan ke
dalam mulut, kemudian perlahan-lahan dimasukan melalui tepi langit-langit ke
belakang sampai esotagus. Uretan yang tersedia
memiliki konsentrasi 72 mg/mL.
Setelah 15 menit dari pemberian
uretan, mencit pada kelompok 2 juga dilakukan pemberian atropin namun diberikan
secara subkutan dengan menggunakan jarum suntik.Penyuntikan secara subkutan ini
dilakukan di bawah kulit tengkuk. Sedangkan mencit pada kelompok
3 tidak diberikan atropin karena digunakan sebagai kelompok kontrol.
Atropin merupakan obat antikolinergik (obat
simpatomimetik) yang akan diuji dengan diberikan pada mencit untuk dilakukan
pengamatan terhadap pengaruhnya pada sistem saraf otonom. Atropin
merupakan obat yang digolongkan sebagai antikolinergik atau
simpatomimetik. Atropin termasuk dalam alkaloid beladona, yang bekerja
memblokade asetilkolin endogen maupun eksogen. Atropin bekerja sebagai
antidotum dari pilokarpin. Efek atropin pada saluran cerna yaitu mengurangi
sekresi liur, sehingga pemberian atropin ini dilakukan agar produksi
saliva menurun karena mukosa mulut mencit menjadi kering (serostomia). Atropin, seperti
agen antimuskarinik lainnya, yang secara kompetitif dapat
menghambat asetilkolin atau stimulan kolinergik lain pada
neuroefektor parasimpatik postganglionik, kelenjar sekresi dan sistem
syaraf pusat, meningkatkan output jantung, mengeringkan sekresi, juga
mengantagonis histamin dan serotonin. Pada dosis rendah atropin dapat
menghambat salivasi. Hal ini dikarenakan kelenjar saliva yang sangat peka
terhadap atropin.
Selain atropin juga digunakan uretan. Uretan
adalah senyawa etil ester dari asam karbaminik, menimbulkan efek anaestesi
dengan durasi yang panjang seperti choralose. Biasanya senyawa ini digunakan
untuk percobaan fisiologi dan farmakologi. Uretan sering dikombinasikan dengan
choralose untuk menurunkan aktivitas muskular. Uretan memiliki efek yang kecil
pada respirasi dan tekanan darah arteri. Uretan tidak digunakan sebagai
anaestesi dalam kedokteran hewan, tetapi dianjurkan dalam penggunaannya untuk
tujuan eksperimen (percobaan). Dalam praktikum ini, uretan digunakan pada tikus
dalam tahap vegetatif (vegetative stage).
Setelah 45 menit dari pemberian uretan, semua
kelompok mencit diberikan pilokarpin menggunakan jarum suntik secara subkutan
agar efek yang ditimbulkan cepat. Pilokarpin yang diberikan kepada mencit
bertujuan agar mencit tersebut dapat mengeluarkan saliva. Alkaloid pilokarpin
adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolisis oleh asetilkolenesterase.
Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannya, senyawa ini ternyata sangat
lemah.
Pilokarpin
merupakan obat kolinergik yang merangsang saraf parasimpatik
yang dimana efeknya akan menyebabkan percepatan denyut jantung dan mengaktifkan
kelenjar-kelenjar pada tubuh salah satunya kelenjar saliva. Obat kolinergik
adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi
Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh)
diujung-ujung neuronnya. Efek kolinergis yang ditimbulkan juga termasuk dalam
merangsang atau menstimulasi sekresi kelenjar ludah, sehingga hal tersebut
dapat memicu terjadinya hipersalivasi sehingga air liur atau saliva yang
dikeluarkan oleh mencit menjadi lebih banyak karena pilokarpin merupakan
salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar saliva.
Setelah semua obat diberikan kepada mencit, kemudian disiapkan kertas saring
yang sudah diletakkan diatas papan dengan kemiringan ±30°. Kemudian letakkan
tikus di atas kertas saring, dan ukur diameter saliva yang terdapat pada kertas
saring. Dari hasil percobaan menunjukan bahwa atropin cukup efektif bekerja
sebagai antikolinergik. Hal tersebut terbukti dengan dosis atropin yang semakin
besar, pengaruh pilokarpin sebagai kolinergik yang mampu meningkatkan ekskresi
saliva dapat menurun.
BAB VII
KESIMPULAN
1. Semakin
besar bobot hewan percobaan, maka volume pemberian obat semakin besar.
2. Pilokarpin
sebagai zat klinergik yang dapat meningkatkan sekresi saliva.
3. Atropin
sebagai zat antikolinergik mampu menginhibisi hipersaliva pada hewan percobaan.
4. Semakin
tinggi dosis atropin yang diberikan terhadap hewan percobaan, semakin sedikit
saliva yang dikeluarkan oleh hewan percobaan tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk
Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
Tan, H. T. dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting.
Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
Staf pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya. 2009. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Prof.Mr.A.G Pringgodigdo.1977. Ensiklopedi Umum.
Yogyakarata : Penerbit Kanisius
Tjay hoan Tiondan dian
raharja kirana, 1991. Obat-obat penting .Edisi IV.Jakarta : pt Elex media
kompatindo.
LAMPIRAN
Pertanyaan :
1. Apa yang disebut dengan
obat simpatometik ? Tuliskan paling sedikit 5 contoh obat !
Jawaban
:
Simpatomimetik
Obat golongan ini disebut obat adrenergik karena efek yang
ditimbulkannya mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek
neurotransmitor norepinefrin dan epinefrin dari susunan saraf simpatis.
Contoh
Obat Adrenergik
Epineprin
Norepineprin
Isoproterenol
Dopamin
Dobutamin
Amfetamin
Metamfenamin
Efedrin
Metoksamin
Fenilefrin
2. Apa yang disebut dengan
obat parasimpatometik ? Tuliskan paling sedikit 5 contoh obat !
Jawaban :
Parasimpatomimetik
Obat ini disebut juga obat kolinergik, obat yang kerjanya
serupa dengan perasangan saraf simpatis.
Ada 2 macam reseptor kolinergik:
Reseptor muskarinik:
merangsang otot polos dan memperlambat denyut jantung dan reseptor nikotinik/
neuromuskular → mempengaruhi otot rangka.
Penggolongan obat
parasimpatomimetik
Cholinester (asetil kolin, metakolin,
karbakol, betanekol)
Cholinesterase
inhibitor (eserin, prostigmin, dilsopropil fluorofosfat)
Alkaloid
yang berkasiat seperti asetikolin (muskarin, pilokarpin, arekolin)
Obat
kolinergik lain ( metoklopramid, sisaprid)