Pengujian Efek ANTIINFLAMASI
I.
PENDAHULUAN
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan
oleh trauma fisik, Zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik. Iflamasi
adalah usaha tubuh untuk mengaktivasi tubuh atau . organisme yang menyerang,
menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan. Jika
penyembuhan lengkap,proses peradangan biasanya reda. Namun, kadang kadang
inflamasi tidak bisa dicetuskan oleh suatu zat yang tidak berbahaya seperti
tepung sari, atau oleh suatu respon imun, seperti asma atau artistis rematoid.
Pada kasus seperti ini, Reaksi pertahanan tubuh mereka sendiri mungkin
menyebabakan luka-luka jaringan progresif, dan obat-obat anti inflamasi atau
imunosupresi mungkin dipergunakan untuk memodulasi proses peradangan. Inflamasi
dicetuskan oleh pelepasan mediator kimiawi dari jaringan yang rusak dan migrasi
sel. Mediator kimiawi spesifik berpariasi dengan tipe proses peradangan dan
meliputi amin, seperti histamin dan 5- hidroksitritamin , lipid seperti
prostagladin, peptida kecil, seperti bradiki inin dan peptida besar seperti
interleukin 1. Penemuan yang luas diantaranya mediator kimiawi telah
menerangkan paradoks yang tampak bahwa obat-obat anti-inflamasi dapat
mempengaruhi kerja mediator utama yang penting untuk satu tipe inflamasi tetapi
tanpa efek pada proses inflamasi yang penting pada satu tipe inflamasi yang
melibatkan mediator target obat (Mycek, M.J.,2001).
NSAIDs berkhasiat analgetis, antipiretik, serta antiradang
dan sering kali digunakan untuk menghalau gejala rema,seperti A. R., artrosis,
dan spondylosis.
Obat ini efektif untuk peradangan lain akibat trauma
(pukulan, benturan, kecelakaan), juga misalnya setelah pembedahan, atau pada
memar akibat olahraga. Obat ini dipakai pula untuk mencegah pembengkakan bbila
diminum sedini mungkin dalam dosis yang cukup tinggi. Selanjutnya, NSAIDs juga
digunakan untuk kolik saluran empedu dan kemih serta keluhan tulang pinggang
dan nyeri haid (dysmenorroe). Akhirnya, NSAIDs juga berguna untuk myeri kanker
akibat metastase tulang. Yang banyak digunakan untuk kasus ini adalah zat-zat
dengan efek samping relative sedikit, yakni ibuprofen, naproksen, dan
diklofenak (T.H. Tjay dan K. Rahardja, 2002).
II. TUJUAN PERCOBAAN
-
Untuk
mengetahui efek pemberian karagenan pada hewan percobaan
-
Untuk
mengetahui mekanisme karagenan dalam menimbulkan inflamasi
-
Untuk
mengetahui efek antiinflamasi dari pemberian indometasin
-
Untuk
membandingkan efek antiinflamasi indometasin dengan dosis yang berbeda
-
Untuk
mengetahui mekanisme terjadinya inflamasi
III. PRINSIP PERCOBAAN
Berdasarkan
induksi radang pada kaki hewan percobaan yang dilakukan melalui penyuntikan
karagenan secara intraplantar setelah pemberian obat indometasin secara oral
pada setengah jam sebelum penyuntikan karagenan akan menimbulkan efek radang
berupa udem, di mana radang kaki hewan percobaan diukur dengan pletismometer yang bekerja berdasarkan hukum Archimedes. Aktivitas antiinflamasi indometasin
ditunjukkan oleh kemampuannya mengurangi radang yang diinduksi pada hewan
tersebut, yang dapat diukur dengan pletismometer.
IV. TINJAUAN PUSTAKA
Fenomena
inflamasi pada tingkat bioselular masih belum dijelaskan secara rinci. Walaupun
demikian banyak hal yang telah diketahui dan disepakati. Fenomena inflamasi ini
meliputi kerusakan mikrovaskular, Meningkatnya permeabilitas kapiler dam
migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal
adalah kalor, rubor tumor, dolor dan functio laesa. Selama berlangsungnya
fenomena inflamasi banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara lokal antara
lain histamin, 5-hidroksitriptamin(5ht), faktor kemotaktik, bradikinin, leukotrin, dan PG. Penelitian terakhir
menunjukkan autokoid lipid PAF ( platelet activating fat) juga merupakan
mediator inflamasi. Dengan migrasi sel fagosit kedaerah ini, terjadi lisis
membran lisozin dan lepasnya enzim pemecah. Obat mirip aspirin dapat dikatakan
tidak berefek terhadap mediator kimiawi tersebut kecuali PG.
Inflamasi
sampai sekarang fenomena ini inflamasi pada tingkat bioselular masih belum
dijelaskan secara rinci. Walaupun demikian banyak hal yang telah diketahui dan
disepakati. Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskular,
Meningkatnya permeabilitas kapiler dam migrasi leukosit kejaringan radang.
Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal adalah kalor, rubor tumor, dolor dan
functioleasa. Selama berlangsungnya fenomena inflamasi banyak mediator kimiawi
yang dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin(5ht),
faktor kemotaktik, bradikinin,
leulotrin, dan PG. Penelitian terakhir menunjukkan autokoid lipid PAF (
patelet activating fat) juga merupakan mediator inflamasi. Dengan migrasi sel
fagosit kedaerah ini, terjadi lisis membran lisozin dan lepasnya enzim pemecah.
Obat mirip aspirin dapat dikatakan tidak berefek terhadap mediator kimiawi
tersebut kecuali PG. Secara
in vitro terbukti bahwa prostaglandin E2 (PGE2) dan prostasiklin (PGI2) dalam
jumlah nanogram, menimbulkan eritem vasodilatasi dan peningkatan aliran darah
secara lokal. Histamin dan bradikinin dapat meningkatkan permaibilitas
vaskular, tetapi efek vasodilatasinya tidak besar. Dengan penambahan sedikit PG
efek eksudas hitamin plasma dan bradikinin menjadi lebik jelas. Migrasi
leukosit ke jaringan radang merupakan aspek penting dalam proses inflamasi. PG sendiri
tidak bersifat kemotaktik tetapi produk lain dari asam arakidonat yakni
leukotrien B4 merupakan merupakan zat kemotaktik yang sangat paten. Obat mirip
aspirin tidak menghambat sistemhipoksigenase yang menghasilkan leukotrien
sehingga golongamn obat ini tidak menekan migrasi sel. Walaupun demikian dosis
tinggi juga terlihat penghambatan migrasi sel tanpa mempengaruhi enzim
liposigenase. Obat yang menghambat biosintesis PG maupun leukotrin tentu akan
lebih paten menekan proses iflfmasi. (Wilmana, F.P., 1995).
OAINSmembentuk kelompok yang berbeda-beda secara kima(kiri, tetapi semuanya
mempunyai kemampuan untuk menghambat siklooksigenase(COX) dan inhibisi sintesis
prostaglandin yang diakibatkannya sangat berperan untuk efek terapeutiknya.
Sayangnya, inhibisi sintesis prostaglandin dalam mukosa gaster sering
menyebabkan kerusakan gastrointestinal(dispepsia, mual, dan gastiritis). Efek
samping yang paling serius adlah perdarahan gastrointestinal dan perforasi. COX
terdapat pada jaringan sebagai suatu isoform konstitutif (COX-1), tetapi
sitokin pada lokasi inflamasi menstimulasi induksi isoform kedua (COX-2).
Inhibisi (COX-2) diduga bertanggungjawab untuk efek antiinflamasi OAINS,
sementara inhibisi COX-1 bertanggung jawab untuk toksisitas gastointestinal.
OAINS yang paling banyak digunakan adalah yang selektif untuk COX-1, tetapi
inhibitor COX-2 selektif telah diperkenalkan baru-baru ini
(Neal, M.J., 2006).
Pasien-pasien
ini sering diberi resep OAINS dan sangat banyak tablet aspirin, parasetamol,
dan ibuprofen tambahan yang dibeli bebas untuk terapi sendiri pada sakit
kepala, nyeri gigi, berbagai gangguan muskokletal, dan lain-lain. Obat-obat ini
tidak efektif pada terapi nyeri
viseral(misalnya infark miokard, kolik renal, dan abdomen akut) yang
membutuhkan analgesik opioid. Akan tetapi, OAINS efektif pada nyeri hebat tipe
tertentu(misalnya kanker tulang). Aspirin mempunyai aktivitas antiplatelet yang
penting (Neal, M.J., 2006).
Inflamasi adalah
suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang merusak.
Rangsangan ini menyebabkan pembebasan mediator inflamasi seperti histamin,
serotonin, bradikinin, prostaglandin, dan lain lain yang menimbulkan reaksi
radang berupa: panas, nyeri dan bengkak dan gangguan fungsi.(Syamsul munaf,
1994)
Prostaglandin
dan senyawa yang berkaitan diproduksi dalam jumlah kecil dan semua jaringan.
Umumnya bekerja bekerja lokal pada tempat prostaglandin tersebut disintesis,
dan cepat dimetabolisme menjadi produk inaktif pada tempat kerjanya. Karena
itu, prostaglandin tidak bersirkulasi dengan konsentrasi bermakna dalam darah.
Tromboksan, leukotrin, dan asam hidroksi perosieikosatetraenoat merupakan lipid
yang berkaitan disintesis dari prekursor yang sama sebagai prostaglandin
memakai jalan yang berhubungan.
PG hanya berperan pada yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan atau iflamasi. Penelitian tellah membukyikan bahwa PG
menyebabkan snsti reseptor nyeri terhadap stimulasi mekasik dan kimiawi ,jadi PG
menimbulkan keadaan hiperalgesia.Kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin
dan histamin merangsangnya dan
menimbulkan nyeri yang nyata obat mirip
aspirin tidak mempengaruhi hiperalgesia atau nyeri yang ditimbulkan oleh efek
langsung PG. Ini menunjukkan bahwa sintesis PG yang dihambat oleh golongan obat
ini dan bukanya blokade jantung (Wilmana,F.P., 1995)
Prostaglandin dan metabolismenya
yang dihasilkan secara endogen dalam jaringan bekerja sebagai tanda lokal
menyesuaikan respon tipe sel spesifik. Fungsi dalam tubuh bervariasi secara
luas tergantung pada jaringan. Misalnya pelepasan TXA2 dari trombosit mencetuskan penambahan trombosit baru untuk
agregasi ( langkah pertama pada pembentukan gumpalan). Namun pada jaringan lain peningkatan kadar TXA2 membawa tanda yang
berbeda, misalnya otot polos tertentu senyawa ini menginduksi kontraksi.
Prostagladin merupakan salah satu mediator kimiawi yang dilepasklan pada proses
agresi alergi dan inflamasi. (Mycek, M.J., 2001)
Inflamasi
adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang
merusak. Rangsangan ini menyebabkan pembebasan mediator inflamasi seperti
histamin, serotonin, bradikinin, prostaglandin, dan lain lain yang menimbiulkan
reaksi radang berupa: panas, nyeri dan bengkak dan gangguan fungsi.(Syamsul munaf,1994)
Inflamasi pada rematoid artistis
merupakan reaksi antara antigen, antibodi dan komlemen yang menyebabkan
terentuknya faktor kemoteraktik yang menjadi penatik leukosit, leukosit ini
memfogositasi kompleks antigen-antigen komplemen dan juga melepaskan
enzim-enzim dari lisosom yang menyebabkan kerusakan tulang rawan dan jaringan
lain, Sehingga timbullah inflamasi (Syamsul Munaf, 1994).
Mekanisme kerja obat AINS :
a. Menjaga
keutuhan tulang rawan dan jaringan lain dari kerusakan oleh enzim lisosom (salisilat,
fenilbutazon, indometasin dan asam mafenamat)
b. Menstabilkan
membran lisosom (salisilat, klorokin)
c. Menghambat
migrasi leukosit (indometasin)
d. Menghambat
pembentukan prostagladin (salisilat, indometsain). Pada demam rematik salisilat
mengurangi gejala kerusaakan sendi, tetapi kerusakan jantung tidak
dipengaruhinya. Bila diberikan
per oral, diserap dangan cepat sebagian dari lambung sebagian dari usus halus
bagian atas. Kadar puncak akan tercapai setelah pemberian 2 jam. Kecepatan
absorpsi ini tergantung pada : kecepatan disintegrasi dan disocusi tablet, PH
permukaan mukosa dan waktu penggosongan lambung. Pada pemberian rektal
absorbsinya lambat dan tidak sempurna. Absorpsi melalui kulit dapat terjadi
dengan cepat dan dapat menimbulkan efek sistemik, misalnya metil salisilat
dapat diabsorpsi melalui kulit yang utuh tetapi absorpsi melalui lambung lambat
(Syamsul Munaf, 1994)
Setelah diabsorpsi, salisilat
didistribusikan keseluruh tubuh dan cairan interseluler. Salisilat dapat
ditemukan pada cairan sinovial, spinal peritoneal, liur dan air susu.
Banyak obat anti inflamasi
nonsteroid (AINS) bekerja dengan jalan menghambat sintesis prostagladin. Jadi
pemahaman akan obat AINS memerlukan pengertian kerja dan biosintesis
prostagladin turunan asam lemak tak jenuh mengandung 20 karbon yang meliputi
suatu struktur cincin siklik.
Nyeri dan inflamasi merupakan
keluhan utuma penderita penyakit rematik
disamping lainnya. Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi atau
menghilangkan keluhan ini antara lain dengan menggunakan medikamentosa. Penggunaan
nyeri medikamentosa pasa penyakit reumatik selain bertujuan untuk menekan rasa
nyeri dan inflamasi bila mungkin juga menghentikan perjalanan reumatik. Hingga
saat ini pada ertritis reumatoid dan goud yang telah da obat yang telah
mempengaruhi perjalanan penyakitnya. Sebagian besar penyakit reumatiknya lainya
diobati dengan akan terbukti obat anti
inflamasi non steroid yang telah terbukti dapat menekan rasa nyeri dan inflamasi
tetapi tidak dapat menghentikan perjalanan penyakit.
Nyeri dan inflamasi merupakan tanda
bahwa sendi tersebut telah mengalami gangguan hampir semua gangguan rematik
disertai dengan nyeri atau inflamasi. Perkecualian pada sendi neuropati. Ialah
suatu keaadan hilangnya rasa nyeri akibat keadaan tertentu seperti tebes darsalis atau siringomielia. Rasa ini penting karena menunjukkan adanya
mekanisme proteksi dari badan. Adanya rasa nyeri menunjkkan bahwa sipenderita
harus menggurangi penggunaan yang berlebihan dari sendi tersebut. Sedangkan adanya
inflamasi menunjukkan bahwa si penderita harus mengistirahatkan sendi tersebut.
Pada sendi neuropatik Dimana sopenderita
tidak nerasai nyeri telah terbukti akan terjadi kerusakan sendi yang lebh
cepat, selain itu gangguan fungsi baru terjadi setelah ada kerusakan mekanikal
yang nyata. Sebaliknya pada artitis jenis lainya gangguan fungsi sudah mulai
tampak pada awal penyakit bersamaan dengan timbulnya rasa nyeri.
Nyeri pada penyakit rematiknterutama
disebabkan oleh adanya inflamasi yang mengakibatkan dilepasnya
mediator-mediator kimiawi. Kinin dan mediator kimiawi lainya dapat merangsang
timbulnya rasa nyeri. Prostaglandin berperan
dalam meningkatkan dan memperpanjang rasa nyeri yang disebabkan oleh suatu rangsangan.
Sejumlah efek samping berkaitan dengan
penghambatan sintesa prostaglandin dan teunma terjadi pada lambung dan usus
ginjal dan fungsi trombosit. Frekuensinya berbeda-beda untuk berbagai obat dan
pada umumnya efek-efek ini meningkatkan besarnya dosis dan lama penggunannya,
kecuali efek terhadap trombosit.
Obat dengan masa paruh panjang
mengakibatkan resiko gangguan lambung usus lebih besar daripada obat dengan
masa paruh pendek. Obat yang terbanyak menimbulkan keluhan lambung-usus serius
adalah indoetasin, azapropazon dan piroxicam. Obat dengan jumlah keluhan lebih
kurang separohnya adalah ketoprofen, naproksen, flurbiprofen, sulindac dan
diklofenac.
Indometasin merupakan derivat indol
lasetat berkasiat amat kuat dapat disamakan debngan diklofenac tetapi lebih
sering menimbulkan efek samping. Khususnya efek ulcerogen dan pendarahan occult
(T.H. Tjay dan K. Rahardja, 2002).
Fiksasi interna merupakan salah satu
modalitas terapi dalam penanganan fraktur. Fiksasi interna dini dan tertunda
masih menjadi suatu perdebatan karena adanya perbedaan komplikasi yang
ditimbulkan, terutama yang berhubungan dengan respons inflamasi sistemik.
Tindakan fiksasi interna dini dan tertunda
saat ini masih menjadi sebuah perdebatan, khususnya mengenai early
total care (tindakan dini), damage control dan delayed total care (tindakan
tertunda) pada trauma multiple. Johnson (1985), melaporkan bahwa fiksasi
interna pada major fracture dengan
penundaan lebih dari 24 jam menyebabkan peningkatan 5 kali terjadinya
komplikasi ARDS (Adult
Respiratory Response Syndrome).
Pada isolated femoral fracture, terjadi
10% fat
embolism syndrome jika tindakan
fiksasi dilakukan setelah 10 jam dan 0% jika dikerjakan sebelum 10 jam (Pinney,
1998). Fakta ini disebabkan oleh terjadinya aktivasi innate immunity (Heitbrink, 2006). Namun, sampai saat ini
perbedaan inflamasi lokal pada saat fiksasi interna dan respons inflamasi
sistemik akibat tindakan fiksasi interna dini dan tertunda pada fraktur belum
diketahui. Makrofag merupakan sel imun utama dijaringan dan pada trauma hebat
makrofag sering mengalami gangguan respons imun berupa gangguan imunita seluler (Franke,2006). Demikian juga
kerusakan jaringan karena pembedahan akan memicu makrofag yang telah
teraktivasi sebelumnya untuk mengekspresikan mediator inflamasi sehingga
mempengaruhi respons inflamasi baik lokal maupun sistemik. Untuk mengurangi
komplikasi pascafiksasi interna, jenis tindakan (cara fiksasi) dan timing
(waktu kapan tindakan dilakukan) dapat dipertimbangkan sebagai
cara pencegahan (Astawa,
P.; Bakta, M.; Budha, K., 2008).
Lipoxins
Senyawa grup lipoxins mulai dikenal sejak awal tahun 80an
abad lalu. Penemuan terakhir menunjukkan, AA dalam proses reaksi biokimia di
dalam tubuh, pada tingkat jaringan sel dan sel, pertama melalui senyawa
turunannya seperti yang disebut sebelumnya (leukotriene,
prostaglandins) berfungsi menimbulkan
inflamasi, namun di tengah proses terjadinya inflamasi, AA pun dikonversi
melalui serentetan reaksi biokimia menjadi senyawa lipoxins, yang berfungsi mencegah terjadinya inflamasi
berlarut-larut. Dual fungsi AA kini dikenal, pro dan juga anti-inflamasi,
dengan melalui senyawa turunannya (di bawah akan banyak digunakan istilah mediator,
atau chemical mediator, atau juga disebut lipid mediator (penggunaan kata
lipid, dikarenakan turunan dari asam lemak tidak jenuh), yang dimaksud adalah
senyawa-senyawa turunan berfungsi baik pro maupun anti-inflamasi).
Inflamasi
Inflamasi, dalam bahasa
Indonesia sehari-hari, yaitu radang. Kita sering mendengar misalnya, radang
usus, radang otak, radang paru-paru, peradangan, bengkak memar dan seterusnya.
Penggunaan istilah ini telah dikenal secara tradisi sejak jaman Yunani dan Tiongkok
kuno, ribuan tahun yang lalu. Dari penemuan-penemuan terakhir, para pakar
berpendapat bahwa, sebetulnya inflamasi (atau radang) bukanlah berupa penyakit
itu sendiri. Inflamasi diperlukan oleh tubuh kita, karena proses reaksi
biokimia inflamasi di dalam tubuh ditujukan melawan invasi bakteri dari luar,
zat-zat yang negatif bagi sel-sel, jaringan sel, serta organ-organ, ataupun
bila terjadi luka. Dalam hubungan ini, jenis sel seperti leukocyte, neutrophil,
berperan memusnahkan invasor. Dapat kita gambarkan fungsinya seperti pasukan
keamanan dari sesuatu bahaya yang menyerang keseimbangan tubuh. Terutama neutrophil, berperan sebagai patrol
keamanan tubuh kita, begitu menemukan sesuatu yang asing ditubuh, serta merta
akan memusnahkannya. Dalam proses inflamasi, chemical mediator (juga disebut lipd
mediator karena berasal dari asam lemak AA, DHA dan EPA) berupa leukotrienedan prostaglandins,
turunan dari AA, memegang peranan penting. Pada waktu yang bersamaan, proses
pemusnahan awal terhadap invasor, neutrophil
mengeluarkan chemical mediator yang
mana memberikan sinyal berikutnya merekrut lebih banyak lagi sel neutrophil dan leukocyte untuk turut beraksi memusnahkan invasor. Proses
pemusnahan ini disebut phagocytosis (kemampuan memakan, menelan). Dalam proses
ini neutrophil mengeluarkan agent,
enzyme
(reactive oxygen species, hydrolytic enzymes, dan lain-lain), yang
secara umum juga tidak baik bagi tubuh dan dapat merusak sel, jaringan sel.
Pertahanan tubuh telah menyiapkan mekanisme sedemikian rupa, pada tahap
tertentu, aksi selanjutnya dari neutrophil
harus dicegah. Pencegahan tersebut terjadi di mana biosintesa chemical mediator yang pro-inflamasi, leukotrine, distop, dan beralih ke
biosintesa chemical mediator
anti-inflamasi jenis lipoxins.
Peralihan atau switch biosintesa
dari mediator pro-inflamasi ke anti-inflamasi
Munculnya prostaglandins
dari sel neutrophil juga
mengisyaratkan secara terprogram, nasib biosintesa mediator ini (semacam feedback) sendiri akan berakhir, dengan
meregulasi (down regulation) enzyme 15-LO yang terdapat di dalam sel neutrophil, kemudian biosintesa beralih ke mediator yang lain, yang anti-inflamasi. Namun hal lain yang sangat
menentukan peralihan ini adalah kemampuan enzyme
5-LO (5-Lipooxigenase. Penemuan
enzyme ini dan satu lagi, COX, Cyclooxygenase,
yang membawa Samuelsson B. dan Bergstrom S. mendapatkan penghargaan Nobel
tahun 1982) mengkonversi secara reaksi enzymatic dari AA menjadi leukotriene (LTB4), lalu beralih pada tahap berikutnya ke lipoxins.
Dalam hubungan ini exzyme 5-LO juga substrate dependent (tergantung dari
kondisi mikro setempat), di mana enzyme tersebut, satu dari sekian step proses
biosintesa, dapat menggunakan dan mengkonversi DHA, EPA menjadi grup senyawa resolvins.
Pada tingkat sel, munculnya neutrophil dan terbentuknya nanah (pustule, lihat gambar bawah) mengisyaratkan peralihan dari mediator
pro- ke anti-inflamasi, dan pembatasan atau pencegahan pengrekrutan neutrophil berikutnya dari pembulu darah
ke lokasi kejadian. Mediator anti-inflamasi, lipoxins, resolvins, dan
protectins memobilisasi sel macrophage
(monocyte)
yang dapat memakan sel neutrophil,
serta membersihkan Histologi leukosit (Tan,
T J, 2008).
Leukosit
adalah sel darah Yang mengendung inti, disebut juga sel darah putih. Didalam
darah manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata 5000-900 sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari 12000,
keadaan ini disebut leukositosis, bilakurang dari 5000 disebut leukopenia.
Dilihat dalam mikroskop cahaya maka sel darah putih mempunyai granula spesifik
(granulosit), yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair, dalam
sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti yang bervariasi, Yang tidak mempunyai
granula, sitoplasmanya homogen dengan inti bentuk bulat atau bentuk ginjal.
Terdapat dua jenis leukosit agranuler : linfosit sel kecil, sitoplasma sedikit;
monosit sel agak besar mengandung sitoplasma lebih banyak. Granula. Leukosit
mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humora organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit
dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui proses diapedesis lekosit dapat
meninggalkan kapiler dengan menerobos antara sel-sel endotel dan menembus
kedalam jaringan penyambung Jumlah
leukosit per mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah 4000-11000,
waktu lahir 15000-25000, dan menjelang hari ke empat turun sampai 12000, pada
usia 4 tahun sesuai jumlah normal. Variasi kuantitatif dalam sel-sel darah
putih tergantung pada usia. waktu lahir, 4 tahun dan pada usia 14 -15 tahun
persentase khas dewasa tercapai. Bila memeriksa variasi Fisiologi dan Patologi
sel-sel darah tidak hanya persentase tetapi juga jumlah absolut masing-masing
jenis per unit volume darah harus diambil (Dr. Zukesti Effendi, 2007).
V. Metode Percobaan
5.1 Alat dan Bahan
5.1.1 Alat
- Timbangan hewan
- Alat suntik 1ml
-
Oral sonde
-
Stopwatch
-
Vial
-
Kaca pengamatan
-
Spidol permanent
-
Plestimometer
5.1.2 Bahan
- Tikus putih
- Suspensi Na-Diklofenat 0,1%
- Karagenan 1%
- Suspensi kosong 1 %
5.2. Prosedur Percobaan
-
Tikus ditimbang
-
Diberi tanda pada sendi kaki belakang sebelah kiri
-
Diukur Vo
-
Diberi perlakuan sebagai berikut:
·
Kontrol :
suspensi kosong 1% BB (oral)
·
Na Diklofenat 2% 15 mg/ kg BB (oral)
·
Na Diklofenat 2% 20 mg/ kg BB (oral)
·
Deksametason 0,1 mg/ kg BB (oral)
·
Deksametason 0,3 mg/ kg BB (oral)
-
Setelah 30 menit diberikan 0,1ml karagenan 1 % pada
telapak kaki kiri
-
Setelah 30 menit volume kaki kiri dikukur dengan alat
plestimometer selang waktu 30 menit selama 2jam
-
Hitung % R dan % IR
-
Buat grafik % R vs waktu dan % IR vs waktu
VI. PERHITUNGAN, DATA, GRAFIK DAN
PEMBAHASAN
6.1 Perhitungan
6.3 Grafik Percobaan
Tikus I: Pemberian Suspensi Kosong 0,5%
Tikus II: Pemberian Na Diklofenak 15mg/kgBB
Tikus III: Pemberian Na Diklofenak 20mg/kgBB]
Tikus IV: Pemberian Na Diklofenak 25mg/kgBB
Tikus V: PEmberian Na Diklofenak 30mg/kgBB
6.4. Pembahasan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan
diperoleh bahwa pada tikus kontrol yang diberi suspensi kosong dosis 1 % BB,
setelah pemberian karagenan mengalami radang. Hal ini dapat dilihat dengan pertambahan
volume kaki belakang sebelah kiri dari tikus yang diukur dengan alat
plestimometer. Terjadinya radang disebabkan karena karagenan merupakan suatu
zat asing (antigen) yang bila masuk ke dalam tubuh akan merangsang pelepasan
mediator radang seperti histamin sehingga menimbulkan radang akibat antibodi
tubuh bereaksi terhadap antigen tersebut untuk melawan pengaruhnya. Sedangkan
pada tikus 2 yang diberikan suspensi indometasin [ ] 0,1 % dosis 15 mg/kg BB setelah pemberian karagenan memberikan % radang,
tetapi masih lebih kecil daripada tikus kontrol yang diberi suspensi kosong
dosis 1 % BB. Menurut teori,
tikus 2 yang diberikan suspensi indometasin dapat memberikan % radang yang kecil atau bahkan tidak ada karena
indometasin merupakan obat AINS yang lebih efektif menanggulangi peradangan
daripada aspirin atau AINS laninya dan bekerja dengan menghambat
siklooksigenase secara reversibel.(Mycek, M.J., 2001)
Pada grafik % IR (inhibisi radang) vs waktu dapat dilihat
bahwa pada tikus 2 yang diberikan suspensi indometasin [ ] 0,1 % dosis 15 mg/kg BB secara oral
memberikan % inhibisi radang yang lebih besar daripada tikus 3 yang diberikan
suspensi indometasin [ ] 0,1 % dosis 20 mg/kg BB. Seharusnya, semakin
besar dosis indometasin yang diberikan,
maka % inhibisi radang pada tikus juga makin besar. Hal ini dapat disebabkan
karena keragaman respons penderita/ hewan percobaan terhadap obat terutama disebabkan
oleh adanya perbedaan individual yang besar dalam faktor-faktor farmakokinetik;
kecepatan biotransformasi obat menunjukkan variasi yang terbesar. Variasi dalam
berbagai faktor farmakokinetik dan farmakodinamik ini berasal dari perbedaan
individual dalam kondisi fisiologik, kondisi patologik, faktor genetik,
interaksi obat, dan toleransi.
(Setiawati,
A., dan Muchtar, A., 1987)
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
-
Efek
yang ditimbulkan akibat pemberian karagenan pada hewan percobaan adalah
terjadinya udem, yang terlihat dari bertambahnya volume kaki tikus setelah
diukur dengan alat pletismometer.
-
Mekanisme
karagenan dalam menimbulkan inflamasi adalah dengan merangsang lisisnya sel
mast dan melepaskan mediator-mediator radang yang dapat mengakibatkan
vasodilatasi sehingga menimbulkan eksudasi dinding kapiler dan migrasi fagosit
ke daerah radang sehingga terjadi pembengkakan pada daerah tersebut.
-
Efek
antiinflamasi dari pemberian NA-Diklofenak adalah mengurangi udem pada kaki tikus akibat pemberian karagenan.
-
Inflamasi
terjadi karena reaksi antara antigen dengan antibodi yang dapat merangsang
pelepasan mediator radang sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh kapiler dan
migrasi fagosit ke daerah radang, yang mengakibatkan hiperemia dan udem pada
daerah terjadinya inflamasi.
7.2
Saran
-
Sebaiknya
diberikan juga obat antiinflamasi
golongan nonsteroid yang lain seperti
diflusinal, piroksikam, ibuprofen sehingga dapat dibandingkan efek
antiinflamasinya dengan Na Diklofenak.
-
Sebaiknya
digunakan juga obat antiinflamasi golongan steroid agar dapat dibandingkan efek
antiinflamasinya dengan obat-obat AINS.
DAFTAR PUSTAKA
Astawa, P.; Bakta, M.; Budha, K. (2008). Makrofag
Pengekspresi IL-1β serta Respons Inflamasi Sistemik pada Fiksasi Interna Dini
Fraktur Femur Tertutup Lebih Rendah Dibandingkan
dengan yang Tertunda.
http://www.unud.ac.id/files/cdk/files/022_13TerapiObatCimetidine.pdf/022_13
Effendi, Z., dr. (2007). Peranan
Leukosit sebagai Antiinflamasi Alergik dalam Tubuh.
http://www.digilib.usu.ac.id/files/cdk/files/022_13jurnalinflamasi.pdf/022_13.html
Munaf ST; Syamsul.
(1994). Catatan Kuliah Farmakologi Bagian
II. Staf Pengajar Laboratorium Farmakologi-FK UNSRI. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Hal 214.
Neal, M.J. (2006).
Farmakologi Medis At Glance. Edisi
Kelima. Jakarta: Penerbit PT Erlangga. Hal 70-71.
Tan, T.,J. (2008). Mujizat omega-3
terhadap kesehatan (III).
http://digilib.litbang.depkes.go.id/ go .
php ? id = jkpkbppk – gdl – grey – 2008 - sa2382173broni -1662 -.
Tjay, T.H. (2002).
Obat-Obat Penting. Edisi V. Cetakan
II. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Hal 308.
Wilmana, P.F.
(1995). Analgesik-Antipiretik Analgesik
Anti-Inflamasi Nonsteroid Dan Obat Pirai, dalam Farmakologi dan Terapi. Editor Sulistia G. Ganiswara. Edisi IV.
Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UI. Hal 207-209.