More Text

Unordered List

Unordered List

BTricks

BThemes

Powered by Blogger.

Blog Archive

Archives

Wednesday, July 10, 2013

Laporan Praktikum Pengujian Efek Antiinflamasi | Farmakologi


Pengujian Efek ANTIINFLAMASI



I.                   PENDAHULUAN
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, Zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik. Iflamasi adalah usaha tubuh untuk mengaktivasi tubuh atau . organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan. Jika penyembuhan lengkap,proses peradangan biasanya reda. Namun, kadang kadang inflamasi tidak bisa dicetuskan oleh suatu zat yang tidak berbahaya seperti tepung sari, atau oleh suatu respon imun, seperti asma atau artistis rematoid. Pada kasus seperti ini, Reaksi pertahanan tubuh mereka sendiri mungkin menyebabakan luka-luka jaringan progresif, dan obat-obat anti inflamasi atau imunosupresi mungkin dipergunakan untuk memodulasi proses peradangan. Inflamasi dicetuskan oleh pelepasan mediator kimiawi dari jaringan yang rusak dan migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik berpariasi dengan tipe proses peradangan dan meliputi amin, seperti histamin dan 5- hidroksitritamin , lipid seperti prostagladin, peptida kecil, seperti bradiki inin dan peptida besar seperti interleukin 1. Penemuan yang luas diantaranya mediator kimiawi telah menerangkan paradoks yang tampak bahwa obat-obat anti-inflamasi dapat mempengaruhi kerja mediator utama yang penting untuk satu tipe inflamasi tetapi tanpa efek pada proses inflamasi yang penting pada satu tipe inflamasi yang melibatkan mediator target obat (Mycek, M.J.,2001).
NSAIDs berkhasiat analgetis, antipiretik, serta antiradang dan sering kali digunakan untuk menghalau gejala rema,seperti A. R., artrosis, dan spondylosis.
Obat ini efektif untuk peradangan lain akibat trauma (pukulan, benturan, kecelakaan), juga misalnya setelah pembedahan, atau pada memar akibat olahraga. Obat ini dipakai pula untuk mencegah pembengkakan bbila diminum sedini mungkin dalam dosis yang cukup tinggi. Selanjutnya, NSAIDs juga digunakan untuk kolik saluran empedu dan kemih serta keluhan tulang pinggang dan nyeri haid (dysmenorroe). Akhirnya, NSAIDs juga berguna untuk myeri kanker akibat metastase tulang. Yang banyak digunakan untuk kasus ini adalah zat-zat dengan efek samping relative sedikit, yakni ibuprofen, naproksen, dan diklofenak (T.H. Tjay dan K. Rahardja, 2002).


II. TUJUAN PERCOBAAN
-         Untuk mengetahui efek pemberian karagenan pada hewan percobaan
-         Untuk mengetahui mekanisme karagenan dalam menimbulkan inflamasi
-         Untuk mengetahui efek antiinflamasi dari pemberian indometasin
-         Untuk membandingkan efek antiinflamasi indometasin dengan dosis yang berbeda
-         Untuk mengetahui mekanisme terjadinya inflamasi


III. PRINSIP PERCOBAAN
            Berdasarkan induksi radang pada kaki hewan percobaan yang dilakukan melalui penyuntikan karagenan secara intraplantar setelah pemberian obat indometasin secara oral pada setengah jam sebelum penyuntikan karagenan akan menimbulkan efek radang berupa udem, di mana radang kaki hewan percobaan diukur dengan pletismometer yang bekerja berdasarkan hukum Archimedes. Aktivitas antiinflamasi indometasin ditunjukkan oleh kemampuannya mengurangi radang yang diinduksi pada hewan tersebut, yang dapat diukur dengan pletismometer.



IV. TINJAUAN PUSTAKA
            Fenomena inflamasi pada tingkat bioselular masih belum dijelaskan secara rinci. Walaupun demikian banyak hal yang telah diketahui dan disepakati. Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskular, Meningkatnya permeabilitas kapiler dam migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal adalah kalor, rubor tumor, dolor dan functio laesa. Selama berlangsungnya fenomena inflamasi banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin(5ht), faktor kemotaktik, bradikinin,  leukotrin, dan PG. Penelitian terakhir menunjukkan autokoid lipid PAF ( platelet activating fat) juga merupakan mediator inflamasi. Dengan migrasi sel fagosit kedaerah ini, terjadi lisis membran lisozin dan lepasnya enzim pemecah. Obat mirip aspirin dapat dikatakan tidak berefek terhadap mediator kimiawi tersebut kecuali PG.
Inflamasi sampai sekarang fenomena ini inflamasi pada tingkat bioselular masih belum dijelaskan secara rinci. Walaupun demikian banyak hal yang telah diketahui dan disepakati. Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskular, Meningkatnya permeabilitas kapiler dam migrasi leukosit kejaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal adalah kalor, rubor tumor, dolor dan functioleasa. Selama berlangsungnya fenomena inflamasi banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin(5ht), faktor kemotaktik, bradikinin,  leulotrin, dan PG. Penelitian terakhir menunjukkan autokoid lipid PAF ( patelet activating fat) juga merupakan mediator inflamasi. Dengan migrasi sel fagosit kedaerah ini, terjadi lisis membran lisozin dan lepasnya enzim pemecah. Obat mirip aspirin dapat dikatakan tidak berefek terhadap mediator kimiawi tersebut kecuali PG.                                                                                                    Secara in vitro terbukti bahwa prostaglandin E2 (PGE2) dan prostasiklin (PGI2) dalam jumlah nanogram, menimbulkan eritem vasodilatasi dan peningkatan aliran darah secara lokal. Histamin dan bradikinin dapat meningkatkan permaibilitas vaskular, tetapi efek vasodilatasinya tidak besar. Dengan penambahan sedikit PG efek eksudas hitamin plasma dan bradikinin menjadi lebik jelas. Migrasi leukosit ke jaringan radang merupakan aspek penting dalam proses inflamasi. PG sendiri tidak bersifat kemotaktik tetapi produk lain dari asam arakidonat yakni leukotrien B4 merupakan merupakan zat kemotaktik yang sangat paten. Obat mirip aspirin tidak menghambat sistemhipoksigenase yang menghasilkan leukotrien sehingga golongamn obat ini tidak menekan migrasi sel. Walaupun demikian dosis tinggi juga terlihat penghambatan migrasi sel tanpa mempengaruhi enzim liposigenase. Obat yang menghambat biosintesis PG maupun leukotrin tentu akan lebih paten menekan proses iflfmasi. (Wilmana, F.P., 1995).
            OAINSmembentuk kelompok yang berbeda-beda secara kima(kiri, tetapi semuanya mempunyai kemampuan untuk menghambat siklooksigenase(COX) dan inhibisi sintesis prostaglandin yang diakibatkannya sangat berperan untuk efek terapeutiknya. Sayangnya, inhibisi sintesis prostaglandin dalam mukosa gaster sering menyebabkan kerusakan gastrointestinal(dispepsia, mual, dan gastiritis). Efek samping yang paling serius adlah perdarahan gastrointestinal dan perforasi. COX terdapat pada jaringan sebagai suatu isoform konstitutif (COX-1), tetapi sitokin pada lokasi inflamasi menstimulasi induksi isoform kedua (COX-2). Inhibisi (COX-2) diduga bertanggungjawab untuk efek antiinflamasi OAINS, sementara inhibisi COX-1 bertanggung jawab untuk toksisitas gastointestinal. OAINS yang paling banyak digunakan adalah yang selektif untuk COX-1, tetapi inhibitor COX-2 selektif telah diperkenalkan baru-baru ini (Neal, M.J., 2006).
            Pasien-pasien ini sering diberi resep OAINS dan sangat banyak tablet aspirin, parasetamol, dan ibuprofen tambahan yang dibeli bebas untuk terapi sendiri pada sakit kepala, nyeri gigi, berbagai gangguan muskokletal, dan lain-lain. Obat-obat ini tidak efektif pada terapi  nyeri viseral(misalnya infark miokard, kolik renal, dan abdomen akut) yang membutuhkan analgesik opioid. Akan tetapi, OAINS efektif pada nyeri hebat tipe tertentu(misalnya kanker tulang). Aspirin mempunyai aktivitas antiplatelet yang penting (Neal, M.J., 2006).
 Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang merusak. Rangsangan ini menyebabkan pembebasan mediator inflamasi seperti histamin, serotonin, bradikinin, prostaglandin, dan lain lain yang menimbulkan reaksi radang berupa: panas, nyeri dan bengkak dan gangguan fungsi.(Syamsul munaf, 1994)
Prostaglandin dan senyawa yang berkaitan diproduksi dalam jumlah kecil dan semua jaringan. Umumnya bekerja bekerja lokal pada tempat prostaglandin tersebut disintesis, dan cepat dimetabolisme menjadi produk inaktif pada tempat kerjanya. Karena itu, prostaglandin tidak bersirkulasi dengan konsentrasi bermakna dalam darah. Tromboksan, leukotrin, dan asam hidroksi perosieikosatetraenoat merupakan lipid yang berkaitan disintesis dari prekursor yang sama sebagai prostaglandin memakai jalan yang berhubungan.
PG  hanya berperan pada yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau iflamasi. Penelitian tellah membukyikan bahwa PG menyebabkan snsti reseptor nyeri terhadap stimulasi mekasik dan kimiawi ,jadi PG menimbulkan keadaan hiperalgesia.Kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin  merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata  obat mirip aspirin tidak mempengaruhi hiperalgesia atau nyeri yang ditimbulkan oleh efek langsung PG. Ini menunjukkan bahwa sintesis PG yang dihambat oleh golongan obat ini dan bukanya blokade jantung (Wilmana,F.P., 1995)
            Prostaglandin dan metabolismenya yang dihasilkan secara endogen dalam jaringan bekerja sebagai tanda lokal menyesuaikan respon tipe sel spesifik. Fungsi dalam tubuh bervariasi secara luas tergantung pada jaringan. Misalnya pelepasan TXA2 dari trombosit  mencetuskan penambahan trombosit baru untuk agregasi ( langkah pertama pada pembentukan gumpalan). Namun pada jaringan lain  peningkatan kadar TXA2 membawa tanda yang berbeda, misalnya otot polos tertentu senyawa ini menginduksi kontraksi. Prostagladin merupakan salah satu mediator kimiawi yang dilepasklan pada proses agresi alergi dan inflamasi. (Mycek, M.J., 2001)
Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang merusak. Rangsangan ini menyebabkan pembebasan mediator inflamasi seperti histamin, serotonin, bradikinin, prostaglandin, dan lain lain yang menimbiulkan reaksi radang berupa: panas, nyeri dan bengkak dan gangguan fungsi.(Syamsul munaf,1994)
            Inflamasi pada rematoid artistis merupakan reaksi antara antigen, antibodi dan komlemen yang menyebabkan terentuknya faktor kemoteraktik yang menjadi penatik leukosit, leukosit ini memfogositasi kompleks antigen-antigen komplemen dan juga melepaskan enzim-enzim dari lisosom yang menyebabkan kerusakan tulang rawan dan jaringan lain, Sehingga timbullah inflamasi (Syamsul Munaf, 1994).
            Mekanisme kerja obat AINS :
a. Menjaga keutuhan tulang rawan dan jaringan lain dari kerusakan oleh enzim lisosom (salisilat, fenilbutazon, indometasin dan asam mafenamat)
b. Menstabilkan membran lisosom (salisilat, klorokin)
c. Menghambat migrasi leukosit (indometasin)
d. Menghambat pembentukan prostagladin (salisilat, indometsain). Pada demam rematik salisilat mengurangi gejala kerusaakan sendi, tetapi kerusakan jantung tidak dipengaruhinya. Bila diberikan per oral, diserap dangan cepat sebagian dari lambung sebagian dari usus halus bagian atas. Kadar puncak akan tercapai setelah pemberian 2 jam. Kecepatan absorpsi ini tergantung pada : kecepatan disintegrasi dan disocusi tablet, PH permukaan mukosa dan waktu penggosongan lambung. Pada pemberian rektal absorbsinya lambat dan tidak sempurna. Absorpsi melalui kulit dapat terjadi dengan cepat dan dapat menimbulkan efek sistemik, misalnya metil salisilat dapat diabsorpsi melalui kulit yang utuh tetapi absorpsi melalui lambung lambat (Syamsul Munaf, 1994)
            Setelah diabsorpsi, salisilat didistribusikan keseluruh tubuh dan cairan interseluler. Salisilat dapat ditemukan pada cairan sinovial, spinal peritoneal, liur dan air susu.
            Banyak obat anti inflamasi nonsteroid (AINS) bekerja dengan jalan menghambat sintesis prostagladin. Jadi pemahaman akan obat AINS memerlukan pengertian kerja dan biosintesis prostagladin turunan asam lemak tak jenuh mengandung 20 karbon yang meliputi suatu struktur cincin siklik.
            Nyeri dan inflamasi merupakan keluhan utuma penderita penyakit rematik  disamping lainnya. Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan keluhan ini  antara lain  dengan menggunakan medikamentosa. Penggunaan nyeri medikamentosa pasa penyakit reumatik selain bertujuan untuk menekan rasa nyeri dan inflamasi bila mungkin juga menghentikan perjalanan reumatik. Hingga saat ini pada ertritis reumatoid dan goud yang telah da obat yang telah mempengaruhi perjalanan penyakitnya. Sebagian besar penyakit reumatiknya lainya diobati dengan  akan terbukti obat anti inflamasi non steroid yang telah terbukti dapat menekan rasa nyeri dan inflamasi tetapi tidak dapat menghentikan perjalanan penyakit.
            Nyeri dan inflamasi merupakan tanda bahwa sendi tersebut telah mengalami gangguan hampir semua gangguan rematik disertai dengan nyeri atau inflamasi. Perkecualian pada sendi neuropati. Ialah suatu keaadan hilangnya rasa nyeri akibat keadaan tertentu seperti tebes darsalis atau siringomielia. Rasa ini penting karena menunjukkan adanya mekanisme proteksi dari badan. Adanya rasa nyeri menunjkkan bahwa sipenderita harus menggurangi penggunaan yang berlebihan dari sendi tersebut. Sedangkan adanya inflamasi menunjukkan bahwa si penderita harus mengistirahatkan sendi tersebut. Pada sendi neuropatik  Dimana sopenderita tidak nerasai nyeri telah terbukti akan terjadi kerusakan sendi yang lebh cepat, selain itu gangguan fungsi baru terjadi setelah ada kerusakan mekanikal yang nyata. Sebaliknya pada artitis jenis lainya gangguan fungsi sudah mulai tampak pada awal penyakit bersamaan dengan timbulnya rasa nyeri.
            Nyeri pada penyakit rematiknterutama disebabkan oleh adanya inflamasi yang mengakibatkan dilepasnya mediator-mediator kimiawi. Kinin dan mediator kimiawi lainya dapat merangsang timbulnya rasa nyeri. Prostaglandin berperan  dalam meningkatkan dan memperpanjang rasa nyeri  yang disebabkan oleh suatu rangsangan.
            Sejumlah efek samping berkaitan dengan penghambatan sintesa prostaglandin dan teunma terjadi pada lambung dan usus ginjal dan fungsi trombosit. Frekuensinya berbeda-beda untuk berbagai obat dan pada umumnya efek-efek ini meningkatkan besarnya dosis dan lama penggunannya, kecuali efek terhadap trombosit.
            Obat dengan masa paruh panjang mengakibatkan resiko gangguan lambung usus lebih besar daripada obat dengan masa paruh pendek. Obat yang terbanyak menimbulkan keluhan lambung-usus serius adalah indoetasin, azapropazon dan piroxicam. Obat dengan jumlah keluhan lebih kurang separohnya adalah ketoprofen, naproksen, flurbiprofen, sulindac dan diklofenac.
            Indometasin merupakan derivat indol lasetat berkasiat amat kuat dapat disamakan debngan diklofenac tetapi lebih sering menimbulkan efek samping. Khususnya efek ulcerogen dan pendarahan occult (T.H. Tjay dan K. Rahardja, 2002).
Fiksasi interna merupakan salah satu modalitas terapi dalam penanganan fraktur. Fiksasi interna dini dan tertunda masih menjadi suatu perdebatan karena adanya perbedaan komplikasi yang ditimbulkan, terutama yang berhubungan dengan respons inflamasi sistemik.
Tindakan fiksasi interna dini dan tertunda saat ini masih menjadi sebuah perdebatan, khususnya mengenai early total care (tindakan dini), damage control dan delayed total care (tindakan tertunda) pada trauma multiple. Johnson (1985), melaporkan bahwa fiksasi interna pada major fracture dengan penundaan lebih dari 24 jam menyebabkan peningkatan 5 kali terjadinya komplikasi ARDS (Adult Respiratory Response Syndrome). Pada isolated femoral fracture, terjadi 10% fat embolism syndrome jika tindakan fiksasi dilakukan setelah 10 jam dan 0% jika dikerjakan sebelum 10 jam (Pinney, 1998). Fakta ini disebabkan oleh terjadinya aktivasi innate immunity (Heitbrink, 2006). Namun, sampai saat ini perbedaan inflamasi lokal pada saat fiksasi interna dan respons inflamasi sistemik akibat tindakan fiksasi interna dini dan tertunda pada fraktur belum diketahui. Makrofag merupakan sel imun utama dijaringan dan pada trauma hebat makrofag sering mengalami gangguan respons imun berupa gangguan imunita  seluler (Franke,2006). Demikian juga kerusakan jaringan karena pembedahan akan memicu makrofag yang telah teraktivasi sebelumnya untuk mengekspresikan mediator inflamasi sehingga mempengaruhi respons inflamasi baik lokal maupun sistemik. Untuk mengurangi komplikasi pascafiksasi interna, jenis tindakan (cara fiksasi) dan timing (waktu kapan tindakan dilakukan) dapat dipertimbangkan sebagai cara pencegahan (Astawa, P.; Bakta, M.; Budha, K., 2008).
Lipoxins
Senyawa grup lipoxins mulai dikenal sejak awal tahun 80an abad lalu. Penemuan terakhir menunjukkan, AA dalam proses reaksi biokimia di dalam tubuh, pada tingkat jaringan sel dan sel, pertama melalui senyawa turunannya seperti yang disebut sebelumnya (leukotriene, prostaglandins) berfungsi menimbulkan inflamasi, namun di tengah proses terjadinya inflamasi, AA pun dikonversi melalui serentetan reaksi biokimia menjadi senyawa lipoxins, yang berfungsi mencegah terjadinya inflamasi berlarut-larut. Dual fungsi AA kini dikenal, pro dan juga anti-inflamasi, dengan melalui senyawa turunannya (di bawah akan banyak digunakan istilah mediator, atau chemical mediator, atau juga disebut lipid mediator (penggunaan kata lipid, dikarenakan turunan dari asam lemak tidak jenuh), yang dimaksud adalah senyawa-senyawa turunan berfungsi baik pro maupun anti-inflamasi).
Inflamasi
Inflamasi, dalam bahasa Indonesia sehari-hari, yaitu radang. Kita sering mendengar misalnya, radang usus, radang otak, radang paru-paru, peradangan, bengkak memar dan seterusnya. Penggunaan istilah ini telah dikenal secara tradisi sejak jaman Yunani dan Tiongkok kuno, ribuan tahun yang lalu. Dari penemuan-penemuan terakhir, para pakar berpendapat bahwa, sebetulnya inflamasi (atau radang) bukanlah berupa penyakit itu sendiri. Inflamasi diperlukan oleh tubuh kita, karena proses reaksi biokimia inflamasi di dalam tubuh ditujukan melawan invasi bakteri dari luar, zat-zat yang negatif bagi sel-sel, jaringan sel, serta organ-organ, ataupun bila terjadi luka. Dalam hubungan ini, jenis sel seperti leukocyte, neutrophil, berperan memusnahkan invasor. Dapat kita gambarkan fungsinya seperti pasukan keamanan dari sesuatu bahaya yang menyerang keseimbangan tubuh. Terutama neutrophil, berperan sebagai patrol keamanan tubuh kita, begitu menemukan sesuatu yang asing ditubuh, serta merta akan memusnahkannya. Dalam proses inflamasi, chemical mediator (juga disebut lipd mediator karena berasal dari asam lemak AA, DHA dan EPA) berupa leukotrienedan prostaglandins, turunan dari AA, memegang peranan penting. Pada waktu yang bersamaan, proses pemusnahan awal terhadap invasor, neutrophil mengeluarkan chemical mediator yang mana memberikan sinyal berikutnya merekrut lebih banyak lagi sel neutrophil dan leukocyte untuk turut beraksi memusnahkan invasor. Proses pemusnahan ini disebut phagocytosis (kemampuan memakan, menelan). Dalam proses ini neutrophil mengeluarkan agent, enzyme (reactive oxygen species, hydrolytic enzymes, dan lain-lain), yang secara umum juga tidak baik bagi tubuh dan dapat merusak sel, jaringan sel. Pertahanan tubuh telah menyiapkan mekanisme sedemikian rupa, pada tahap tertentu, aksi selanjutnya dari neutrophil harus dicegah. Pencegahan tersebut terjadi di mana biosintesa chemical mediator yang pro-inflamasi, leukotrine, distop, dan beralih ke biosintesa chemical mediator anti-inflamasi jenis lipoxins.
Peralihan atau switch biosintesa dari mediator pro-inflamasi ke anti-inflamasi
Munculnya prostaglandins dari sel neutrophil juga mengisyaratkan secara terprogram, nasib biosintesa mediator ini (semacam feedback) sendiri akan berakhir, dengan meregulasi (down regulation) enzyme 15-LO yang terdapat di dalam sel neutrophil, kemudian biosintesa beralih ke mediator yang lain, yang anti-inflamasi. Namun hal lain yang sangat menentukan peralihan ini adalah kemampuan enzyme 5-LO (5-Lipooxigenase. Penemuan enzyme ini dan satu lagi, COX, Cyclooxygenase, yang membawa Samuelsson B. dan Bergstrom S. mendapatkan penghargaan Nobel tahun 1982) mengkonversi secara reaksi enzymatic dari AA menjadi leukotriene (LTB4), lalu beralih pada tahap berikutnya ke lipoxins. Dalam hubungan ini exzyme 5-LO juga substrate dependent (tergantung dari kondisi mikro setempat), di mana enzyme tersebut, satu dari sekian step proses biosintesa, dapat menggunakan dan mengkonversi DHA, EPA menjadi grup senyawa resolvins.
Pada tingkat sel, munculnya neutrophil dan terbentuknya nanah (pustule, lihat gambar bawah) mengisyaratkan peralihan dari mediator pro- ke anti-inflamasi, dan pembatasan atau pencegahan pengrekrutan neutrophil berikutnya dari pembulu darah ke lokasi kejadian. Mediator anti-inflamasi, lipoxins, resolvins, dan protectins memobilisasi sel macrophage (monocyte) yang dapat memakan sel neutrophil, serta membersihkan Histologi leukosit (Tan, T J, 2008).
Leukosit adalah sel darah Yang mengendung inti, disebut juga sel darah putih. Didalam darah manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata 5000-900  sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari 12000, keadaan ini disebut leukositosis, bilakurang dari 5000 disebut leukopenia. Dilihat dalam mikroskop cahaya maka sel darah putih mempunyai granula spesifik (granulosit), yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair, dalam sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti yang bervariasi, Yang tidak mempunyai granula, sitoplasmanya homogen dengan inti bentuk bulat atau bentuk ginjal. Terdapat dua jenis leukosit agranuler : linfosit sel kecil, sitoplasma sedikit; monosit sel agak besar mengandung sitoplasma lebih banyak. Granula. Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humora  organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung  Jumlah leukosit per mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah 4000-11000, waktu lahir 15000-25000, dan menjelang hari ke empat turun sampai 12000, pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal. Variasi kuantitatif dalam sel-sel darah putih tergantung pada usia. waktu lahir, 4 tahun dan pada usia 14 -15 tahun persentase khas dewasa tercapai. Bila memeriksa variasi Fisiologi dan Patologi sel-sel darah tidak hanya persentase tetapi juga jumlah absolut masing-masing jenis per unit volume darah harus diambil (Dr. Zukesti Effendi, 2007).


V. Metode Percobaan
5.1  Alat dan Bahan

5.1.1  Alat
  - Timbangan hewan
            - Alat suntik 1ml
            - Oral sonde
- Stopwatch
- Vial
- Kaca pengamatan
- Spidol permanent
- Plestimometer

5.1.2   Bahan
- Tikus putih
- Suspensi Na-Diklofenat 0,1%
- Karagenan 1%
- Suspensi kosong 1 %

5.2.    Prosedur Percobaan
-         Tikus ditimbang
-         Diberi tanda pada sendi kaki belakang sebelah kiri
-         Diukur Vo
-         Diberi perlakuan sebagai berikut:
·        Kontrol            : suspensi kosong 1% BB (oral)
·        Na Diklofenat 2% 15 mg/ kg  BB (oral)
·        Na Diklofenat 2% 20 mg/ kg BB (oral)
·        Deksametason 0,1 mg/ kg BB (oral)
·        Deksametason  0,3 mg/ kg BB (oral)
-         Setelah 30 menit diberikan 0,1ml karagenan 1 % pada telapak kaki kiri
-         Setelah 30 menit volume kaki kiri dikukur dengan alat plestimometer selang waktu 30 menit selama 2jam
-         Hitung % R dan % IR
-         Buat grafik % R vs waktu dan % IR vs waktu



  
VI. PERHITUNGAN, DATA, GRAFIK DAN PEMBAHASAN
6.1 Perhitungan
6.3 Grafik Percobaan
       




                Tikus I: Pemberian Suspensi Kosong 0,5%
                Tikus II: Pemberian Na Diklofenak 15mg/kgBB
                Tikus III: Pemberian Na Diklofenak 20mg/kgBB]
                Tikus IV: Pemberian Na Diklofenak 25mg/kgBB
                Tikus V: PEmberian Na Diklofenak 30mg/kgBB



6.4. Pembahasan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan diperoleh bahwa pada tikus kontrol yang diberi suspensi kosong dosis 1 % BB, setelah pemberian karagenan mengalami radang. Hal ini dapat dilihat dengan pertambahan volume kaki belakang sebelah kiri dari tikus yang diukur dengan alat plestimometer. Terjadinya radang disebabkan karena karagenan merupakan suatu zat asing (antigen) yang bila masuk ke dalam tubuh akan merangsang pelepasan mediator radang seperti histamin sehingga menimbulkan radang akibat antibodi tubuh bereaksi terhadap antigen tersebut untuk melawan pengaruhnya. Sedangkan pada tikus 2 yang diberikan suspensi indometasin [ ] 0,1 % dosis 15 mg/kg BB  setelah  pemberian karagenan memberikan % radang, tetapi masih lebih kecil daripada tikus kontrol yang diberi suspensi kosong dosis 1 % BB. Menurut teori, tikus 2 yang diberikan suspensi indometasin dapat memberikan % radang  yang kecil atau bahkan tidak ada karena indometasin merupakan obat AINS yang lebih efektif menanggulangi peradangan daripada aspirin atau AINS laninya dan bekerja dengan menghambat siklooksigenase secara reversibel.(Mycek, M.J., 2001)
Pada grafik  % IR (inhibisi radang) vs waktu dapat dilihat bahwa pada tikus 2 yang diberikan suspensi indometasin [ ] 0,1 % dosis 15 mg/kg BB secara oral memberikan % inhibisi radang yang lebih besar daripada tikus 3 yang diberikan suspensi indometasin [ ] 0,1 % dosis 20 mg/kg BB. Seharusnya, semakin besar dosis indometasin  yang diberikan, maka % inhibisi radang pada tikus juga makin besar. Hal ini dapat disebabkan karena keragaman respons penderita/ hewan percobaan terhadap obat terutama disebabkan oleh adanya perbedaan individual yang besar dalam faktor-faktor farmakokinetik; kecepatan biotransformasi obat menunjukkan variasi yang terbesar. Variasi dalam berbagai faktor farmakokinetik dan farmakodinamik ini berasal dari perbedaan individual dalam kondisi fisiologik, kondisi patologik, faktor genetik, interaksi obat, dan toleransi.
                                                               (Setiawati, A., dan Muchtar, A., 1987)





VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
-         Efek yang ditimbulkan akibat pemberian karagenan pada hewan percobaan adalah terjadinya udem, yang terlihat dari bertambahnya volume kaki tikus setelah diukur dengan alat pletismometer.
-         Mekanisme karagenan dalam menimbulkan inflamasi adalah dengan merangsang lisisnya sel mast dan melepaskan mediator-mediator radang yang dapat mengakibatkan vasodilatasi sehingga menimbulkan eksudasi dinding kapiler dan migrasi fagosit ke daerah radang sehingga terjadi pembengkakan pada daerah tersebut.
-         Efek antiinflamasi  dari pemberian NA-Diklofenak adalah mengurangi udem pada kaki tikus akibat pemberian karagenan.
-         Inflamasi terjadi karena reaksi antara antigen dengan antibodi yang dapat merangsang pelepasan mediator radang sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh kapiler dan migrasi fagosit ke daerah radang, yang mengakibatkan hiperemia dan udem pada daerah terjadinya inflamasi.

7.2  Saran
-         Sebaiknya diberikan juga  obat antiinflamasi golongan nonsteroid  yang lain seperti diflusinal, piroksikam, ibuprofen sehingga dapat dibandingkan efek antiinflamasinya  dengan Na Diklofenak.
-         Sebaiknya digunakan juga obat antiinflamasi golongan steroid agar dapat dibandingkan efek antiinflamasinya dengan obat-obat AINS.





DAFTAR PUSTAKA

Astawa, P.; Bakta, M.; Budha, K. (2008). Makrofag Pengekspresi IL-1β serta Respons Inflamasi Sistemik pada Fiksasi Interna Dini Fraktur Femur Tertutup Lebih Rendah  Dibandingkan dengan yang Tertunda.
http://www.unud.ac.id/files/cdk/files/022_13TerapiObatCimetidine.pdf/022_13

Effendi, Z., dr. (2007). Peranan Leukosit sebagai Antiinflamasi Alergik dalam Tubuh.
http://www.digilib.usu.ac.id/files/cdk/files/022_13jurnalinflamasi.pdf/022_13.html

Munaf ST; Syamsul. (1994). Catatan Kuliah Farmakologi Bagian II. Staf Pengajar Laboratorium Farmakologi-FK UNSRI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 214.

Mycek, M.J. (1995). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2. Jakarta: Widya Medika. Hal 404.

Neal, M.J. (2006). Farmakologi Medis At Glance. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit PT Erlangga. Hal 70-71.

Tan, T.,J. (2008). Mujizat omega-3 terhadap kesehatan (III).
http://digilib.litbang.depkes.go.id/ go . php ? id = jkpkbppk – gdl – grey – 2008 - sa2382173broni -1662 -.

Tjay, T.H. (2002). Obat-Obat Penting. Edisi V. Cetakan II. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Hal 308.

Wilmana, P.F. (1995). Analgesik-Antipiretik Analgesik Anti-Inflamasi Nonsteroid Dan Obat Pirai, dalam Farmakologi dan Terapi. Editor Sulistia G. Ganiswara. Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UI. Hal 207-209.