DOSIS RESPON OBAT DAN INDEKS TERAPI
I.
Tujuan Percobaan
1.
Memperoleh
gambaran bagaimana rancangan eksperimen untuk memperoleh DE50 dan DL50
2.
Memahami
konsep indeks terapi dan implikasi – implikasinya.
II.
PRINSIP
1.
Indeks
Terapi
Indeks terapi adalah rasio antara dosis yang menimbulkan kematian pada 50% dari hewan percobaan yang digunakan
(LD50) dibagi dosis yang memberikan efek yang diteliti pada 50%
dari hewan percobaan yang digunakan (ED50).
Indeks terapi
Semakin besar indeks terapi obat
semakin besar efek terapeutiknya.
2.
Dosis
respon obat
Jika dosis meningkat maka intensitas efek obat pada makhluk hidup juga meningkat.
Jika dosis berlebih maka akan menyebabkan over dosis bahkan kematian karena
rentang indeks terapinya terlalu rendah sehingga menimbulkan efek toksik.
Jika dosis kurang maka tidak akan menimbulkan efek teurapeutik.
III.
Teori
Dasar-dasar Kerja Obat
Dalam
farmakologi, dasar-dasar kerja obat diuraikan dalam dua fase yaitu fase farmakokinetik
dan fase farmakodinamik. Dalam terapi obat, obat yang masuk dalam tubuh melalui
berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan
untuk sampai ke tempat kerja ( reseptor ) dan menimbulkan efek , kemudian
dengan atau tanpa biotransformasi ( metabolisme ) lalu di ekskresi kan dari
tubuh. proses tersebut dinyatakan sebagai proses farmakokinetik. Farmakodinamik,
menguraikan mengenai interaksi obat dengan reseptor obat; fase ini berperan
dalam efek biologik obat pada tubuh (Adnan,2011).
Gambar : Proses
Farmakokinetik Obat (Schmitz et al,
2003).
Absorpsi
Jumlah
obat yang dapat diabsorbsi oleh tubuh, dinyatakan dengan bioavailalabilitas
obat. Tingginya nilai bioavailabilitas obat tergantung pada banyak factor, yang
menentu -kan bagaimana molekul obat melewati barier saluran gastrointestinal
dan berhasil memasuki pembuluh darah dan diangkut sampai ke reseptornya.
Faktor-faktor
tersebut antara lain :
1. cara preparasi dan bentuk
sediaan
3. kelarutan molekul dalam lipid
: yang lebih mudah larut dalam lipid, bioavailabilitasnya lebih tinggi
4. kelarutan dalam air dan lipid
: yang larut dalam keduanya, bioavailabilitasnya sangat baik; yang larut hanya
dalam air, bioavailabilitasnya rendah karena molekul mudah terdisosiasi.
5. transport aktif
6. interaksi dengan makanan
7. stabilitas di dalam usus
8. pengosongan lambung
9. adanya metabolisme dalam usus
dan di dalam hati
10. factor individu pasien itu
sendiri dan faktor keadaan patologik dari pasien (Adnan,2011).
Beberapa
faktor yang penting dibahas dibawah ini :
1. Obat harus menembus sawar (barrier)
sel di berbagai jaringan (transport lintas membran , dan sebagian kecil ada
yang melewati celah antar sel atau melintasi endotel kapiler)
2. Membran sel
3. Cara transport obat melintasi
membran ( semipermiabel ), dapat melalui:
a. Difusi pasif ( dari sisi yang
kadarnya tinggi ke sisi yang kadarnya rendah
b. Transport aktif ( Bersifat
selektif , melibatkan energi dan komponen-komponen membrane sel)
c. Pinositosis yaitu cara
transport dengan membentuk vesikel, misalnya makromolekul protein
Cara Pemberian Obat
a. Cara pemberian obat per oral
:
Cara ini paling umum dilakukan karena
mudah, aman dan murah. Namun untuk obat yang diberikan melalui oral, ada tiga
faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas :
1. Faktor obatnya sendiri (larut
dalam lipid, air atau keduanya.
2. Faktor penderita ( keadaan
patologik organ-organ pencernaan dan metabolisme )
3. Interaksi dalam absorpsi di
saluran cerna. (interksi dengan makanan) sebagai tugas mandiri
b. Cara pemberian obat melalui
suntikan :
Keuntungan pemberian obat secara
parenteral dibandingkan per oral, yaitu :
1. Efeknya timbul lebih cepat
dan teratur
2. Dapat diberikan pada
penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar atau muntah-muntah.
3. Sangat berguna dalam keadaan
darurat
Kelemahan
cara pemberian obat melalui suntikan :
1. Dibutuhkan cara aseptis
2. Menyebabkan rasa nyeri
3. Kemungkinan terjadi penularan
penyakit lewat suntikan
4. Tidak bisa dilakukan sendiri
oleh penderita
5. Tidak ekonomis
c. Pemberian Obat Melalui
Paru-paru :
Cara
ini disebut cara inhalasi, hanya dilakukan untuk obat yang berbentuk gas atau
cairan yang mudah menguap, misalnya anestetik umum dan obat dalam bentuk
aerosol. Absorpsi melalui epitel paru dan mukosa saluran napas (Adnan,2011).
1. Distribusi fase pertama :
yaitu ke organ-organ yang perfusinya sangat baik ( jantung, hati, ginjal dan
otak ), terjadi segera setelah penyerapan, selanjutnya.
2. Distribusi fase kedua : yaitu
ke organ-organ yang perfusinya tidak begitu baik ( otot, visera, kulit, dan
jaringan lemak ) (Schmitz et al, 2003).
Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membrane
sel dan terdistribusi ke dalam sel, obat yang tidak larut dalam lemak sulit
menembus membrane sel sehingga distribusinya terbatas terutama di cairan
ekstrasel. Distribusi terbatasi oleh ikatan obat pada protein plasma dan hanya
obat bebas yang dapat berdifusi kedalam sel dan mencapai keseimbangan (Schmitz
et al, 2003).
Farmakodinamik
Cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia dan fisiologi obat serta mekanisme kerjanya disebut farmakodinamik.
Mekanisme kerja
obat yaitu :
1. Obat dapat mengubah kecepatan
kegiatan faal ( fisiologi ) tubuh
2. Obat tidak menimbulkan suatu
fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada ( ini tidak berlaku
bagi terapi gen )
Tujuan mempelajari
mekanisme kerja obat ialah untuk :
1. Meneliti efek utama obat
2. mengetahui interaksi obat
dengan sel
3. Mengetahui respon khas yang
terjadi
·
Interaksi
Obat Dengan Biopolimer
Semua molekul obat yang masuk dalam
tubuh, kemungkinan besar berikatan dengan konstituen jaringan atau biopolimer
seperti protein, lemak, asan nukleat, mukopolisakarida, enzim biotransformasi
dan reseptor. Pengikatan obat oleh biopolimer dipengaruhi oleh bentuk
konformasi molekul obat dan pengaturan ruang dari gugus-gugus fungsional
senyawa obat. Interaksi obat dapat berupa:
(1) Interaksi tidak khas dan ;
(2) Interaksi khas.
a. Interaksi tidak khas adalah
interaksi yang hasilnya tidak menghasilkan efek yang berlangsung lama dan tidak
menyebabkan perubahan struktur molekul obat maupun biopolimer. Interaksi ini
bersifat reversibel ( terpulihkan ) dan tidak menghasilkan respons biologis.
Contohnya : Interaksi obat yang hanya merubah lingkungan fisika-kimia dari
struktur badan ( protein jaringan, asam nukleat, mukopolisakarida, air dan
lemak ), misalnya : anestetik umum merubah struktur air didalam otak; diuretik
osmotik merubah tekanan osmotik dalam ginjal.
b. Interaksi khas adalah
interaksi yang menyebabkan perubahan struktur makromolekul reseptor sehingga
timbul rangsangan perubahan fungsi fisiologis normal yang dapat diamati sebagai
respons biologis. Interaksi dengan reseptor dan interaksi dengan enzim
biotransformasi, merupakan interaksi khas. (Adnan,2011).
Indeks Terapi
Indeks terapi hanya berlaku untuk satu efek, maka obat yang mempunyai beberapa efek
terapi juga mempunyai beberapa indeks terapi. Contoh : Aspirin mempunyai efek
analgetik dan antirheumatik. Indeks terapi atau batas keamanan obat aspirin
sebagai analgetik lebih besar dibandingkan dengan indeks terapi sebagai
antireumatik karena dosis terapi antireumatik lebih besar dari dosis analgetik
(Adnan,2011).
Meskipun
perbandingan dosis terapi dan dosis toksik sangat bermanfaat untuk suatu obat,
namun data demikian sulit diperoleh dari penelitian klinik.( sulit mendapatkan
responden yang bersedia untuk uji klinik ). Maka dari itu selektifitas obat
dinyatakan secara tidak langsung yaitu diperhitungkan dari data : (1) pola dan
insiden efek samping yang ditimbulkan obat dalam dosis terapi, dan (2)
persentase penderita yang menghentikan obat atau menurunkan dosis obat akibat
efek samping. (Adnan,2011).
Harus diingat bahwa gambaran atau pernyataan bahwa obat cukup aman untuk kebanyakan penderita, tetapi tidak menjamin keamanan untuk setiap penderita karena selalu ada kemungkinan timbul respons yang menyimpang. Contohnya : penisilin dapat dinyatakan aman untuk sebagian besar penderita tetapi dapat menyebabkan kematian untuk penderita yang alergi terhadap obat tersebut. (Adnan,2011).
Harus diingat bahwa gambaran atau pernyataan bahwa obat cukup aman untuk kebanyakan penderita, tetapi tidak menjamin keamanan untuk setiap penderita karena selalu ada kemungkinan timbul respons yang menyimpang. Contohnya : penisilin dapat dinyatakan aman untuk sebagian besar penderita tetapi dapat menyebabkan kematian untuk penderita yang alergi terhadap obat tersebut. (Adnan,2011).
Respons
individu terhadap obat sangat bervariasi, yaitu dapat berupa: (1) Hiperaktif
(dosis rendah sekali sudah dapat memberikan efek); (2) Hiporeaktif (untuk
mendapatkan efek, memerlukan dosis yang tinggi sekali); (3) Hipersensitif (
orang alergi terhadap obat tertentu ); (4) Toleransi ( untuk mendapatkan efek
obat yang pernah di konsumsi sebelumnya, memerlukan dosis yang lebih tinggi);
(5) Resistensi (efek obat berkurang karena pembentukan genetik); (6)
Idiosikrasi (efek obat yang aneh , yang merupaka reaksi alergi obat atau akibat
perbedaan genetik) (Adnan,2011).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aksi Obat
1. Berat badan
2. Umur
3. Jenis kelamin
4. Kondisi patologik pasien
6. Cara pemberian obat :
a.
Yang
memberikan efek sistemik : - oral; sublingual; bukal;-parenteral;- implantasi
subkutan; rektal;
b.
Yang
memberikan efek lokal :- inhalasi; -topikal ( pada kulit ) : salep, krim ,
lotion ; - obat-obat pada mukosa : tetes mata, tetes telinga (Adnan,2011).
Hipnotika & Sedatif
Hipnotik Sedatif merupakan
golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP) yang relatif tidak selektif,
mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan kantuk, menidurkan, hingga yang berat
yaitu hilangnya kesadaran, keadaan anestesi, koma dan mati, bergantung kepada
dosis. Pada dosis terapi obat sedatif menekan aktivitas, menurunkan respon
terhadap rangsangan emosi dan menenangkan. Obat Hipnotik menyebabkan kantuk dan
mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis.Obat
hipnotika dan sedatif biasanya merupakan turunan Benzodiazepin. Beberapa obat
Hipnotik Sedatif dari golongan Benzodiazepin digunakan juga untuk indikasi
lain, yaitu sebagai pelemas otot, antiepilepsi, antiansietas dan sebagai
penginduksi anestesis (Anonym,
2006).
(Anonym, 2006).
Tiopental
Tiopentaladalah sebuah obat tidur yang diberikan secara intravena untuk induksi anestesi umum
atau untuk produksi anestesi
lengkap durasi pendek.
Hal ini juga digunakan untuk hipnosis dan untuk kontrol negara kejang. Telah
digunakan pada pasien bedah saraf
untuk mengurangi tekanan intrakranial
meningkat. Tidak menghasilkan eksitasi apapun tetapi memiliki
analgesik miskin dan
sifat otot relaksasi. Dosis kecil telah terbukti
anti analgesik dan
menurunkan ambang nyeri (Martindale, 1996).
Farmakodinamik
Thiopental, obat tidur,
digunakan untuk induksi anestesi sebelum penggunaan lain
agen anestesi umum dan untuk induksi anestesi untuk
prosedur bedah, diagnostik,
terapeutik atau pendek
berhubungan dengan rangsangan nyeri yang minimal (Adriano,
2007).
Thiopental adalah depresan ultrashort-acting dari sistem saraf pusat yang menginduksi hipnosis dan anestesi, tetapi tidak analgesia.
Ini menghasilkan hipnosis dalam waktu 30 sampai 40 detik injeksi intravena. Pemulihan
setelah dosis kecil cepat, dengan beberapa mengantuk
dan amnesia retrograde (Adriano, 2007).
Dosis intravena berulang menyebabkan
anestesi berkepanjangan karena jaringan lemak bertindak
sebagai reservoir, mereka menumpuk
Pentothal dalam konsentrasi 6 sampai 12 kali lebih besar dari konsentrasi plasma, dan kemudian melepaskan
obat secara perlahan menyebabkan
anestesi berkepanjangan (Adriano,
2007).
IV.
Bahan, Alat, dan
hewan percobaan
Hewan Percobaan : Mencit jantan
(bobot badan rata-rata 20-25 kg)
Bahan Obat : 1. Tiopental natrium
2. NaCl Fisiologis
Alat : 1. Alat suntik 1 ml
2. Timbangan hewan
V. Prosedur
Mencit
dibagi menjadi 4 kelompok dan masing-masing terdiri dari 4 ekor. Setiap mencit pada setiap kelompok diberi tanda supaya mudah dikenal.
Obat (Tiopental Natrium) diberikan secara intraperitonial kepada setiap mencit
dan setiap kelompok diberikan dosis yang meningkat. Dosis yang diberikan adalah
sebagai berikut:
Kelompok
|
Dosis (mg/kg BB)
|
I
|
75
|
II
|
100
|
III
|
300
|
IV
|
Disuntik NaCl fisiologis
|
Jumlah mencit
yang kehilangan ”righting reflex” diamati dan dicatat pada setiap kelompok dan
angka tersebut dinyatakan dalam persentase serta jumlah mencit yang mati pada
setiap kelompok tersebut juga dicatat. Kemudian grafik dosis-respon dibuat pada
ketas grafik log pada ordinat presentase hewan yang memberikan efek (hilang
”righting refleks” atau kematian) pada dosis yang digunakan.
VI. HASIL
PENGAMATAN
Kelompok
1
Nomor Mencit
|
Berat Badan
|
Dosis
|
Mulai kehilangan righting refleks
|
I
|
31,1 gram
|
75 mg/kg
|
56 menit 2 detik
|
II
|
28 gram
|
150 mg/kg
|
9 menit 38 detik
|
III
|
36,8 gram
|
300 mg/kg
|
46 menit 2 detik
|
IV
|
21,8 gram
|
NaCL 2%
|
-
|
Kelompok 2
Nomor Mencit
|
Berat Badan
|
Dosis
|
Mulai kehilangan righting refleks
|
I
|
26,3 gram
|
75 mg/kg
|
-
|
II
|
28 gram
|
150 mg/kg
|
43 menit
|
III
|
18,9 gram
|
300 mg/kg
|
-
|
IV
|
29,2 gram
|
NaCL 2%
|
-
|
Kelompok
3
Nomor Mencit
|
Berat Badan
|
Dosis
|
Mulai kehilangan righting refleks
|
I
|
33,8 gram
|
75 mg/kg
|
-
|
II
|
29 gram
|
150 mg/kg
|
-
|
III
|
32,4 gram
|
300 mg/kg
|
-
|
IV
|
33,5 gram
|
NaCL 2%
|
-
|
Kelompok 4
Nomor Mencit
|
Berat Badan
|
Dosis
|
Mulai kehilangan righting refleks
|
I
|
28 gram
|
75 mg/kg
|
-
|
II
|
22,7 gram
|
150 mg/kg
|
33 menit
|
III
|
32,3 gram
|
300 mg/kg
|
16 menit, 22 detik
|
IV
|
29,7 gram
|
NaCL 2%
|
-
|
Data Kurva Log Probit
Dosis
(mg/kg)
|
Log
Dosis
|
Observasi
kematian
|
Hewan
mati
|
Hewan
hidup
|
Akumulasi
|
Rasio
kematian
|
%
kematian
|
||
Mati
|
Hidup
|
Total
|
|||||||
75
|
1,875
|
1/4
|
1
|
3
|
1
|
6
|
7
|
1/7
|
14%
|
150
|
2,176
|
3/4
|
3
|
1
|
4
|
3
|
7
|
4/7
|
57%
|
300
|
2,477
|
2/4
|
2
|
2
|
6
|
3
|
8
|
6/8
|
75%
|
·
Jumlah kematian diganti oleh jumlah mencit yang
kehilangan righting reflex.
VII.
PERHITUNGAN
DAN GRAFIK
Perhitungan Dosis
Kelompok 1
BB (konversi) = 20 mg
Volume maksimal = 0,5 mL
Volume obat yang diberikan :
Mencit I :
Mencit II :
Mencit III :
Mencit IV :
Kelompok 2
BB (konversi) = 20 mg
Volume maksimal = 0,6 mL
Volume obat yang diberikan :
Mencit I :
Mencit II :
Mencit III :
Mencit IV :
Kelompok 3
BB (konversi) = 20 mg
Volume maksimal = 0,5 mL
Volume obat yang diberikan :
Mencit I :
Mencit II :
Mencit III :
Mencit IV :
Kelompok 4
BB (konversi) = 20 mg
Volume maksimal = 0,5 mL
Volume obat yang diberikan :
Mencit I :
Mencit II :
Mencit III :
Mencit IV :
VIII. PEMBAHASAN
Percobaan
dosis respon obat dan indeks terapi ini bertujuan untuk memperoleh (LD50)
dan (ED50) serta memahami konsep indeks terapi pada hewan percobaan,
yaitu mencit dengan berat sekitar 20 g. Sementara obat yang diujikan indeks
terapinya adalah tiopental
natrium. Selain obat,
digunakan juga NaCl fisiologis sebagai kontrol negatif.
Penyuntikan
dilakukan secara intraperitonial. Cara pemberian secara intraperitonial yaitu mencit disuntik di bagian
abdomen bawah sebelah garis midsagital dengan posisi abdomen lebih tinggi
daripada kepala, dan kemiringan jarum suntik 10°. Pemberian secara
intraperitonial dimaksudkan agar absorbsi pada lambung, usus dan proses
bioinaktivasi dapat dihindarkan, sehingga didapatkan kadar obat yang utuh dalam
darah karena sifatnya yang sistemik.
Mencit kelompok IV disiapkan sebanyak 4 ekor dengan berat masing-masing
yaitu 28 g, 22,7 g, 32,3 g, dan 29,7 g. Terdapat pula mencit
dari kelompok I dengan berat masing-masing yaitu 31,1 g, 28 g, 36,8 g, dan 21,8
g. Sedangkan mencit kelompok II memiliki berat masing-masing yaitu 26,3
g, 28 g, 18,9 g, 29,2 g. Mencit
kelompok III memiliki berat masing-masing yaitu 33,8 g, 29 g, 32,4 g, dan 33,5
g. Enam belas ekor mencit ini
digunakan untuk masing-
masing variasi dosis serta sebagai kontrol negatif. Berat badan mencit digunakan untuk mendapatkan hasil konversi dosis. Setelah pemberian obat
’righting reflex’ masing- masing mencit dicatat pada waktu yang telah
ditentukan. Righting reflex atau
disebut juga static reflex adalah bermacam gerakan refleks untuk mengembalikan posisi normal
badan dari keadaan yang dipaksakan atau melawan tenaga yang membuat badan
bergerak ke arah yang tidak normal.
Obat yang
digunakan adalah tiopental natrium. Tiopental natrium adalah obat anti
cemas dari golongan benzodiazepine. Tiopental natrium merupakan salah satu obat golongan hipnotik sedatif.
Hipnotik atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapi diperuntukkan
meningkatkan keinginan untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur. Bila
obat ini diberikan dalam dosis lebih rendah untuk tujuan menenangkan, maka dinamakan
sedatif.
Hipnotik
sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat yang relatif tidak
selektif, mulai dari yang ringan, yaitu menyebabkan tenang atau kantuk,
menidurkan hingga yang berat, yaitu hilangnya kesadaran, keadaan anestesi, koma,
dan mati bergantung kepada dosis. Hipnotik dapat dibagi dalam beberapa kelompok
yakni senyawa barbiturate dan benzodiazepine, obat lain (seperti meprobamat dan
opipramol), serta obat obsolet (seperti kloralhidrat). Bila digunakan dalam dosis yang meningkat, suatu sedatif (misalnya
fenobarbital), akan menimbulkan efek berturut-turut peredaan, tidur, dan
pembiusan total. Sedangkan pada dosis yang lebih besar lagi, dapat menimbulkan
koma, depresi pernapasan, dan kematian. Penggunaan tiopental natrium sebagai
hipnotik sedatif telah menurun karena efeknya yang kurang spesifik terhadap
sistem saraf pusat.
Tiopental natrium bekerja dengan meningkatkan efek GABA(gamma aminobutyric acid) di otak. GABA adalah neurotransmitter (suatu senyawa
yang digunakan oleh sel saraf untuk saling berkomunikasi) yang menghambat
aktifitas di otak. Diyakini bahwa aktifitas otak yang berlebihan dapat
menyebabkan kecemasan dan gangguan jiwa lainnya. Dengan adanya interaksi
benzodiazepin-reseptor, afinitas GABA terhadap reseptornya akan meningkat, dan
dengan ini kerja GABA akan bertambah. Dengan diaktifkannya reseptor GABA,
saluran ion klorida akan terbuka dan dengan demikian ion klorida akan lebih
banyak yang mengalir masuk ke dalam sel. Hal ini akan menyebabkan
hiperpolarisasi sel bersangkutan dan sebagai akibatnya kemampuan sel untuk
dirangsang akan berkurang.
Efek samping tiopental natrium yang paling sering adalah
mengantuk, lelah, dan ataksia (kehilangan keseimbangan). Walaupun jarang, tiopental
natrium dapat menyebabkan reaksi paradoksikal, kejang otot, kurang tidur, dan
mudah tersinggung. Bingung, depresi, gangguan berbicara, dan penglihatan ganda
juga merupakan efek yang jarang dari tiopental natrium. Obat ini dibuat dalam
tiga variasi dosis yaitu 75 mg/kg, 150 mg/kg, dan 300 mg/kg untuk mengetahui konsentrasi obat yang
dapat memberikan efek pada hewan percobaan.
Dosis yang diberikan kepada setiap mencit meningkat. Pada masing-masing kelompok
yaitu mencit I diberikan tiopental natrium dengan dosis 75 mg/kg BB. Pada mencit II diberikan tiopental
natrium dengan dosis 150 mg/kg BB. Pada mencit III diberikan tiopental
natrium dengan dosis 300 mg/kg BB. Dan pada mencit IV diberikan NaCl fisiologis. Variasi dosis
yang digunakan sama pada semua kelompok mencit sehingga terdapat 12 mencit yang
diberi perlakuan obat dan 4 mencit sebagai kontrol negatif.
Pertama,
mencit ditandai ekornya masing-masing terlebih dahulu agar mudah dalam
membedakannya. Kemudian mencit-mencit tersebut ditimbang pada neraca Ohauss
yang telah dikalibrasi. Setelah mendapatkan berat badan mencit, maka jumlah
dosis yang akan diberikan dapat diketahui. Jumlah obat yang diberikan disesuaikan dengan
berat mencit.
Volume obat yang didapat melalui
perhitungan pada kelompok IV yaitu mencit I adalah 0,7 mL ; mencit II 0,56 mL ;
mencit III 0,8 mL ; mencit IV 0,74 mL. Pada kelompok I yaitu
mencit I adalah 0,78 mL ; mencit II 0,7 mL ; mencit III 0,92 mL ; mencit IV
0,55 mL. Pada kelompok II yaitu mencit I adalah 0,78 mL ; mencit II 0,84 mL ; mencit III 0,57 mL ; mencit IV 0,87 mL. Pada kelompok III yaitu mencit I adalah 0,845
mL ; mencit II 0,725 mL ; mencit III 0,81 mL ; mencit IV 0,8375 mL. Setelah didapatkan jumlah dosis yang akan
disuntikkan, maka keempat mencit yang telah diketahui berat
badannya disuntik secara intraperitonial. Diperlukan adanya suatu perlakuan
khusus pada mencit sebelum penyuntikkan supaya mencit-mencit tersebut
terkondisikan, sehingga tingkat keamanan, ketepatan, dan keakuratan penyuntikkan
dosis dapat teratasi.
Dari hasil
percobaan, pada kelompok IV
dengan kadar obat 150 mg dan 300 mg, efek obat sudah terlihat pada mencit. Namun,
pada dosis 75 mg terlihat efek obat yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan pemberian
dosis 150 mg dan 300 mg. Dalam percobaan ini, tidak ada mencit yang mengalami kematian. Hal
ini dapat disebabkan dosis obat yang terlalu kecil. Mencit tetap aktif bergerak
seperti biasa. Efek terapi dari pemberian obat dengan dosis 150 mg pada mencit II dengan bobot 22,7 g mulai terlihat saat
15 menit setelah pemberian obat. Mencit terlihat diam
dan seperti tertidur namun ketika diberi perlakuan (dipegang), mencit tetap
bergerak seperti biasa. Setelah 33 menit pemberian obat, mencit tidak
kehilangan righting reflex tetapi terlihat
mengantuk. Sedangkan pada mencit
III dengan bobot 32,3 g dan pemberian dosis
300 mg efek obat terlihat
pada menit ke 16. Mencit inilah yang kehilangan righting
reflexnya. Karena ketika diberi perlakuan (dipegang) dan tubuhnya
dibalikkan, mencit tetap diam dan tidak memberikan perlawanan. Pada mencit I
dengan bobot 28 g dan pemberian dosis 75 mg efek obat tidak terlihat. Mencit tetap aktif bergerak seperti biasa seperti pada mencit IV yang
berfungsi sebagai kontrol negatif. Pada mencit ini pun tidak terdapat
tanda-tanda kehilangan righting reflex. Hal ini disebabkan pemberian dosis yang terlalu kecil atau penyuntikkan
yang tidak tepat. Pemberian obat secara intraperitonial cukup sulit karena
diperlukan perkiraan yang tepat agar suntikan tidak terkena organ lain dan
menimbulkan pendarahan. Selain itu karena pada saat pemberian obat,
suspensi obat tidak dikocok terlebih dahulu sehingga dosis dalam obat tidak
tersebar merata.
Pada kelompok
I seluruh variasi pemberian dosis obat yaitu 75 mg, 150 mg, dan 300 mg efek
obat sudah terlihat. Pada mencit I dengan bobot 31,1 g dan pemberian dosis 75
mg, mencit menunjukkan tanda-tanda kehilangan righting reflex setelah 56 menit pemberian obat. Pada mencit II
dengan bobot 28 g dan pemberian dosis 150 mg, mencit menunjukkan tanda-tanda
kehilangan righting reflex setelah 9
menit 38 detik pemberian obat. Pada mencit III dengan bobot 36,8 g dan
pemberian dosis 300 mg, mencit menunjukkan tanda-tanda kehilangan righting reflex setelah 46 menit
pemberian obat. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian obat secara intraperitonial
sudah benar dan tepat sehingga seluruh mencit yang diberi variasi dosis
kehilangan righting reflexnya. Tetapi
seharusnya pada mencit III waktu kehilangan righting
reflexnya lebih cepat dibanding dosis lain karena efek obat akan meningkat
sesuai dengan peningkatan jumlah dosis. Hal yang terlihat dari hasil percobaan
adalah berkebalikan yaitu dosis 150 mg lebih cepat dari dosis 300 mg. Hal ini
disebabkan penyuntikkan pada mencit II yang mengenai organ lain sehingga mencit
pun cepat tidak sadarkan diri.
Pada kelompok
II hanya pada variasi pemberian dosis obat 150 mg saja yang memberikan
efek. Hal ini terjadi pada mencit II dengan bobot 18,9 g dan setelah 43 menit
pemberian obat, mencit ini mulai kehilangan
righting reflexnya. Sedangkan
pada mencit I dengan dosis 75 mg dan mencit II dengan dosis 300 mg mencit tetap
bergerak aktif seperti biasa sama dengan kontrol negatifnya yaitu mencit IV
yang diberi NaCl fisiologis. Seharusnya efek obat meningkat seiring dengan
peningkatan pemberian dosis, tetapi hasil percobaan tidak menunjukkan seperti
itu. Hal ini dapat terjadi karena pada saat pemberian obat, suspensi obat tidak
dikocok terlebih dahulu sehingga dosis dalam obat tidak tersebar merata. Selain
itu karena penyuntikkan obat tidak
tepat di bagian abdomen bawah sehingga obat tidak berefek.
Pada kelompok
III seluruh variasi pemberian dosis obat yaitu 75 mg, 150 mg, dan 300 mg efek
obat tidak terlihat. Mencit I, II, dan III tetap bergerak aktif seperti biasa
sama dengan kontrol negatifnya yaitu mencit IV. Tidak terlihat tanda-tanda
mencit kehilangan righting reflexnya.
Hal ini dapat terjadi karena penyuntikkan obat tidak tepat di bagian abdomen
bawah sehingga obat tidak berefek. Pemberian obat secara intraperitonial cukup
sulit karena diperlukan perkiraan yang tepat agar suntikan tidak terkena organ
lain dan menimbulkan pendarahan. Selain itu karena pada saat pemberian
obat, suspensi obat tidak dikocok terlebih dahulu sehingga dosis dalam obat
tidak tersebar merata.
Kemudian
setelah data mengenai jumlah mencit yang memberikan efek didapat, data yang
dinyatakan dengan angka tersebut dinyatakan dalam persentase dan dimasukkan
kedalam grafik dosis respon. Grafik dosis-respon digambarkan, dengan cara pada
kertas grafik log pada ordinat persentase hewan yang memberikan efek (hilang righting reflex atau kematian) pada
dosis yang digunakan. Grafik dosis-respon digambarkan menurut pemikiran paling
representative untuk fenomena yang diamati dengan memperhatikan sebesar
titik-titik pengamatan. Hubungan terapi suatu obat dengan kurva dosis respon terdiri dari dua :
1. Kurva
dosis yang terjal
Dengan dosis kecil menyebabkan respon obat yang cepat ( efektifitas obat
besar) tetapi toksissitasnya besar.
Rentang efek teurapeutiknya besar atau luas.
2. Kurva
dosis respon datar atau landai.
Dosis yang diperlukan relative lebih besar untuk mendapatkan respon yang
lebih cepat (efektifitas berkurang) tetapi toksisitasnya kecil.
Rentang efek teurapeutiknya kecil atau sempit.
Obat yang ideal menimbulkan efek terapi pada semua
penderita tanpa menimbulkan efek toksik pada seorang penderita pun. Oleh karena
itu,
Indeks terapi =
dan untuk obat
ideal :
.
Pada umumnya
intensitas efek obat akan meningkat jika diberi
dosis yang meningkat. Dari hasil
percobaan terlihat bahwa semakin tinggi dosis obat yang diberikan, efek yang
ditimbulkan obat semakin meningkat. Pada dosis 75 mg terdapat 1 mencit yang memperlihatkan efek obat. Pada dosis 150 mg terdapat 3 mencit yang memperlihatkan efek obat. Pada dosis 300 mg terdapat 2 mencit yang memperlihatkan efek obat. Waktu efek tiopental natrium lebih
cepat pada dosis 300 mg dibandingkan dengan dosis 150 mg.
Pembahasan Grafik
Data grafik
No
|
Dosis (mg/Kg)
|
Log Dosis (x)
|
% Kematian (y)
|
1
|
75
|
1,875
|
14
|
2
|
150
|
2,176
|
57
|
3
|
300
|
2,477
|
75
|
Grafik yang di dapat menunjukkan bahwa seiring dengan
penambahan dosis, maka rentang keefektifan obat makin tinggi dan mendekati efek
toksik. Selain itu, rentang antara koordinat kedua dan ketiga (dosis 2 dan 3)
serta hasil pengamatan menunjukkan bahwa rentang keefektifan obat pendek,
dengan kata lain keamanan obat kurang baik. Karena, dilihat dari hasil
pengamatan, dapat dianggap bahwa dosis kedua (150 mg/Kg) merupakan batas
efektivitas obat (ED50), namun belum dapat dipastikan dengan benar
nilai pasti ED50 nya karena belum sempat diuji spesifikkan terhadap
dosis spesifik. Selain itu, dari data yang didapat, batas toksik obat
diperkirakan ada pada dosi kedua (150 mg/Kg) karena pada dosis tersebut
menimbulkan 57% kematian, namun belum dapat diambil dan LD50nya
karena pengujiannya tidak dilakukan.
Pembahasan perhitungan
Dari hasil penimbangan mencit, didapat berat badan
mencit 1 hingga 4 secara berurutan, yaitu : 28 g; 22,7 g; 32,3 g; dan 29,7 g.
Kemudian, untuk menyesuaikan dosis obat dengan dosis yang diberikan kepada
mencit, maka dosis di sesusaikan dengan berat badan mencit percobaan
dibandingkan terhadap berat badan umum mencit. Kemudian, dikalikan batas
maksimal pemberian dosis intraperitonial, yaitu 0,5. Batas ini diambil dengan
harapan dosis ini cocok dan aman untuk hewan percobaan terhadap dosis obat.
Berikut rumus yang digunakan :
Dengan perhitungan dari rumus tersebut, didapat
variasi dosis sebagai berikut :
Mencit
|
Dosis
Obat
|
Dosis
yang diberikan
|
1
|
Fenobarbital
75 mg/Kg
|
0,7
mL
|
2
|
Fenobarbital
150 mg/Kg
|
0,56
mL
|
3
|
Fenobarbital
300 mg/Kg
|
0,8
mL
|
4
|
NaCl
|
0,74
mL
|
Pembahasan Hasil
Dari hasil pengamatan yang didapat, dapat diambil
kesimpulan bahwa batas efektifitas obat berada pada dosis 150 mg/Kg dan rentang
keamanan obat cukup pendek. Selain itu, batas toksik perkiraan berada pada
dosis 150 mg/Kg namun LD50 tidak dapat ditentukan. Kemudian, dilihat
dari segi waktu kehilangan righting
reflex hewan uji yang lama, kemungkinan hal itu terjadi karena obat yang
diberikan kurang merata, karena saat mengambil obat dengan suntikan, obat tidak
dikocok terlebih dahulu sehinga penyebarannya kurang merata dan mengakibatkan
efek obat berlangsung lama.
IX.
SIMPULAN
1. Berdasarkan hasil percobaan pemberian dosis obat terhadap hewan percobaan yaitu mencit, LD50 dan ED50 tidak
diperoleh karena datanya tidak mencukupi.
2. Indeks terapi adalah rasio antara dosis yang menimbulkan kematian pada 50%
dari hewan percobaan yang digunakan (LD50)
dibagi dosis yang memberikan efek
yang diteliti pada 50% dari hewan percobaan yang digunakan (ED50).
Indeks terapi
Semakin besar
indeks terapi obat maka semakin besar efek terapeutiknya
DAFTAR PUSTAKA
Adnan.2011.Farmakologi.Tersedia
di http://kesmasunsoed.blogspot.com/2011/02/
pengantar-farmakologi.html
[diakses tanggal 20 Maret 2011]
Adriano.
2007. Sodium Thiopental. Tersedia di http://www.chm.bris.ac.uk/
motm/sodium-pentothal/sodiumjm.htm [diakses tanggal 20 Maret 2011]
Anonym.
2006. Obat Sedatif dan Hipnotik. Tersedia di http://medicastore.com
/apotikonline/obat_saraf_otot/obat_bius.htm [diakses tanggal 20 Maret
2011]
Kee,
Joyce L dan Evelyn R. Hayes. 1994. Farmakologi,
Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Martindale,
William. 1996. Martindale: The
Extra Pharmacopoeia. UK : Royal Pharmaceutical Society
Schmitz,
Gary Hans Lepper dan Michael Heidrich. 2003. Farmakologi dan Toksikologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC