PENGARUH SUHU, pH, KONSENTRASI ENZIM TERHADAP KECEPATAN REAKSI ENZIMATIK
BAB
I
PENDAHULUAN
I.1 Latar
Belakang
Dalam
proses metabolisme di dalam tubuh terdapat berbagai macam reaksi kimia. Rekasi
kimia ini meupakan bagian dari sistem yang bekerja spesifik dan menghasilkan
senyawa-senyawa kimia. Dalam aktivitas metabolisme kita mengenal adanya
katalisator. Katalisator dalam reaksi ini disebut enzim.
Enzim adalah sekelompok protein yang berfungsi sebagai katalisator untuk berbagai
reaksi kimia dalam sistem biologik. Hampir tiap reaksi kimia dalam sistem
biologis dikatalisis oleh enzim. Sintesis enzim terjadi di dalam sel dan
sebagian besar enzim dapat diekstraksi dari sel tanpa merusak fungsinya.
Dengan
peran enzim pada hampir tiap reaksi biologis, dapat dikatakan enzim memilki
peran sangat penting. Dalam mendukung perannya sebgai katalisator atau
mempercepat reaksi yang terjadi tentu saja ada faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut antara lain kosenntrasi enzim,
konsentrasi ion hydrogen (pH), suhu dan konsentrasi substrat. Oleh karena
pentingnya enzim, maka praktikum tentang faktor yang mempengaruhi
aktivitas enzim perlu dilakukan
I.2 Tujuan
Percobaan
1.
Memperlihatkan kecepatan reaksi enzimatik sampai suhu tertentu sebanding dengan
kenaikan suhu. Reaksi enzimatik mempunyai suhu optimum.
2. Membuktikan
bahwa keasaman ( pH ) mempengaruhi kecepatan reaksi enzimatik
3. Membuktikan
bahwa kecepatan reaksi enzimatik berbanding lurus dengan konsentrasi enzim.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
II.1 Enzim
Enzim
merupakan suatu kelompok protein yang berperan penting di dalam aktivitas
biologic. Enzim berfungsi sebagai katalisator si dalam sel dan sifatnya sangat
khas. Di dalam jumlah sangat kecil, enzim dapat mengatur reaksi tertentu sehingga
di dalam keadaan normal tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan hasil akhir
reaksinya.di dalam sel terdapat banyak jenis enzim yang berlainan kekhasannya,
sehingga suatu enzim hanya mampu menjadi katalisator untuk reaksi tertentu
saja. Ada enzim yang dapat mengkatalisa suatu kelompok substrat, ada pula yang
hanya satu kelompok substrat saja, dan ada pula ynag bersifat stereospesifik.
Karena enzim mengkataliser reaksi-reaksi di dalam system biologis, maka enzim
juga disebut sebgai biokatalisator
Bagian
protein dari enzim disebut apo-enzim, sedangkan enzim keseluruhannya disebut
haloenzim.
Bagian
protein ( tak aktif
) + non-protein =
haloenzim ( aktif )
(
apoenzim) (
gugus protestik )
Kespesifikan
enzim dibedakan dalam : kespesifikan optik dan gugus ( M.T Simanjuntak, 2003 ).
Kespesifikan optik tampak pada enzim-enzim yang bekerja terhadap karbohidrat.
Umumnya, enzim-enzim ini hanya bekerja terhadap karbohidrat isomer D bukan L.
Sebaliknya, enzim-enzim yang bekerja terhadap asam amino dan protein hanya
bekerja pada asam amino L dan bukan pada isomer D. Kespesifikan gugus
menunjukkan bahwa enzim hanya dapat bekerjaterhadap gugus yang tertentu. Enzim
alkohol dehidrogenase tidak dapat mengkatalisis reaksi dehidrogenasi pada
senyawa bukan alcohol ( Hafiz Soewoto,2000).
Klasifikasi
enzim berdasar Commission on Enzim Of The Internasional uinion of Biochemistry
( CEIUB ) atau Internasional Enzim Commision ( IEC ) adalah sebgai berikut :
- Enzim yang berperan dalam reaksi
oksidasi-reduksi contoh oksigenase
- Enzim yang berperan dalam reaksi
pemindahan gugus tertentu contoh enzim transaminase
- Enzim yang berperan dalam reaksi
hidrolisis contoh peptidase
- Enzim yang berperan dalam
mengkatalisis reaksi addisi atau pemecahan ikatan rangkap contoh liase
- Enzim yang berperan dalam
mengkatalisis reaksi isomerisasi contoh alanin rasemase
- Enzim yang berperan dalam
mengkataliser reaksipembentukan ikatan dengan bantuan pemecahan ikatan
dalam ATP( ligase ) ( M.T. Simanjuntak, 2003).
Seperti
molekul protein lainnya sifat biologis enzim sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor fisiko kimia. Enzim bekerja pada kondisi tertentu yang rerlatif ketat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kerj enzim antara lain suhu, pH, oksidasi oleh
udara atau senyawa lain, penyinaran ultraviolet, sinar x, α, β, dan γ. Di
samping itu, kecepatan reaksi enzimatik dipengaruhi pula oleh konsentrasi enzim
maupun substratnya ( Hafiz Soewoto,2000).
a. Pengaruh
suhu :
Suhu
rendah mendekati titik beku tidak merusak enzim, namun enzim tidak dapat
bekerja. Dengan kenaikan suhu lingkungan, enzim mulai bekerja sebagian dan
mencapai suhu maksimum pada suhu tertentu. Bila suhu ditingkatkan terus, jumlah
enzim yang aktif akan berkurang karena mengalami denaturasi. Kecepatan reaksi
enzimatik mencapai puncaknya pada suhu optimum. Enzim dalam tubuh manusia
mempunyai suhu optimum sekitar 37° C. Sebagian besar enzim menjadi tidak aktif
pada pemanasan sampai ± 60° C, karena terjadi denaturasi ( Hafiz Soewoto,2000) .
Suhu
campuran reaksi juga berpengaruh terhadap laju reaksi enzimatik. Jika reaksi
tersebut dilangsungkan dalam berbagai suhu, kurva hubungan tersebut akan
menunjukkan suhu tertentu, yang menghasilkan laju reaksi yang maksimum. Dengan
demikian, dalam hal ini juga ada kondisi optimum yang disebut sebagai suhu
optimum
Pada
gambar tampak bahwa di luar suhu optimum, laju enzimatik selalu lebih
rendah. Makin besar perbedaan suhu reaksi dengan suhu optimum, makin
rendah pula laju reaksinya. Akan tetapi, keadaan yang menyebabkan rendahnya
suhu di luar suhu optimum berbeda antara suhu yang lebih rendah dengan suhu
yang lebih tinggi. Pada suhu yang lebih rendah (sisi A pada gambar), penyebab
kurangnya laju reaksi enzimatik yaitu kurangnya gerak termodinamik, yang
menyebabkan kurangnya tumbukan antara molekul enzim dengan substrat. Jika
kontak antara kedua jenis molekul itu tidak terjadi, kompleks ES tidak
terbentuk. Padahal kompleks ini sangat penting untuk mengolah S menjadi P. Oleh
karena itu, makin rendah suhu, gerak termodinamik tersebut akan makin kurang.
Pada
daerah suhu yang lebih tinggi (sisi B pada gambar), gerak termodinamik akan
lebih meningkat, sehingga tumbukan antara molekul akan lebih sering. Akan
tetapi laju reaksi tidak terus meningkat, melainkan malah menurun dengan cara
yang lebih kurang sebanding dengan selisih nilai dan suhu optimum. Dalam
peningkatan suhu ini, selain gerak termodinamik meningkat, molekul protein
enzim juga mengalami denaturasi, sehingga bangun tiga dimensinya berubah secara
bertahap. Jika suhu jauh lebih tinggi dari suhu optimum, maka makin besar
deformasi struktur tiga dimensi tersebut dan makin sukar bagi substrat untuk
menempati secara tepat di bagian aktif molekul enzim. Akibatnya, kompleks E-S
akan sukar terbentuk, sehingga produk juga makin sedikit.
Pada
sisi A dari kurva terdapat hubungan tertentu antara kenaikan suhu dengan laju
reaksi. Arrhenius secara empiris telah mengembangkan suatu
rumusan umum antara laju suatu reaksi kimia dengan suhu mutlak system reaksi
tersebut.
b. PengaruhpH :
Enzim
bekerja pada kisaran pH tertentu. Jika dilakukan pengukuran aktivitas enzim
pada beberapa macam pH yang berlainan, sebagian besar enzim di dalam tubuh akan
menunjukkan aktivitas maksimum antara pH 5,0 sampai 9,0. Kecepatan reaksi
enzimatik mencapai puncaknya pada pH optimum. Ada enzim yang mempunyai pH
optimum yang sangat rendah, seperti pepsin, yang mempunyai pH optimum 2. pada
pH yang jauh di luar pH optimum, enzim akan terdenaturasi. Selain itu pada keaadan
ini baik enzim maupun substrat dapat mengalami perubahan muatan listrik yang
mengakibatkan enzim tidak dapat berikatan dengan substrat( Hafiz Soewoto,2000)
.
Sebagian
besar enzim bekerja aktif dalam trayek pH yang sempit umumnya 5 - 9. Ini adalah
hasil merupakan hasilpengaruh dari pH atas kombinasi factor ( 1 ) ikatan dari
substrat ke enzim ( 2 ) aktivitas katalik dari enzim ( 3 ) ionisasi substrat
dan ( 4 ) variasi struktur protein ( biasanya signifikan hanya pada pH yang
cukup tinggi ) ( M.T. Simanjuntak, 2003).
Ada
2 alasan untuk menyelidiki pengaruh tingkat keasaman atau pH terhadap aktivitas
emzim, yaitu :
1. sebagai
produk makhluk hidup secara teori selalu ada kemungkinan dari pengaruh ph ini
terhadap aktivitas biologis dari enzim ini.
2. sebagai
suatu protein enzim tidak berbeda dengan protein lainnya.
Kadang-kadang,
seperti pada enzim amylase liur, hubungan tersebut tidak menunjukkan suatu
titik puncak, melainkan suatu garis merata (plateau setelah kurva yang naik,
untuk kemudian turun lagi sesudah plateau )
Fenomena
seperti ini dapat ditafsirkan sebab adanya molekul amylase dalam bentuk
beberapa molekul protein yang berbeda (isozim). Tiap molekul isozem niscaya
bekerja pada pH yang sedikit berbeda.
Perlu
diingat bahwa dalam mencari hubungan antara derajat keasaman dengan laju reaksi
maksimum ini, rentangan pH yang diselidiki biasanya berkisar dalam rentangan
yang tidak lebar dan bukan dalam rentangan antara pH 1 sampai 14. Karena tidak
ada sistem dapar masing-masing di sekitar nilai kapasitas yang maksimum dari
tiap dapar (rentangan pH di sekitar nilai pKa komponen asam tiap dapar), bukan
tidak mengkin ada interaksi yang merugikan antara enzim dan ion penyusun dapar
dan bukan karena pH yang disebabkan dapar itu sendiri.
Dalam
gambar dapat dilihat adanya nilai pH tertentu, yang memungkinkan enzim bekerja
maksimum. pH tersebut dinamakan pH maksimum. Dalam lingkungan
keasaman seperti itu, protein enzim mengambil struktur 3 dimensi yang sangat
tepat, sehingga ia dapat mengikat dan mengolah substrat dengan kecepatan yang
setinggi-tingginya. Di luar nilai pH optimum tersebut, struktur 3 dimensi enzim
mulai berubah, sehingga substrat tidak dapat lagi duduk dengan tepat di bagian
molekul enzim yang mengolah substrat. Akibatnaya, proses katalisis berjalan
tidak optimum. Oleh karena itu, struktur 3 dimensi berubah akibat pH yang tidak
optimum ( Mohamad Sadikin, 2002).
c. Pengaruh
konsentrasi enzim :
Peningkatan
konsentrasi enzim akan meningkatkan kecepatan reaksi enzimatik. Dapat dikatakan
bahwa kecepatan reaksi enzimatik (v) berbanding lurus dengan konsentrasi enzim
[E]. Makin besar konsentrasi enzim, reaksi makin cepat( Hafiz Soewoto,2000) .
Bagaimana
akibat dari perubahan konsentrasi enzim terhadap reaksi enzimztik itu sendiri?
Jawaban dari pertanyaan ini harus dicari dari pengamatan yang dilakukan atas
satu seri campuran yang terdiri atas substrat dalam konsentrasi yang tetap dan
enzim dalam konsentrasi yang berbeda-beda, dengan volume akhir larutan yang
sama. Pengamatan dapat dilakukan terhadap dua hal, yaitu :
1.
terhadap hubungan antara selang waktu pengamatan dan konsentrasi produk yang
terbentuk pada tiap konsentrasi enzim.
2.
terhadap hubungan antara konsentrasi enzim dan kecepatan reaksi enzimatik yang
dikatalisis oleh enzim tersebut.
Hubungan
antara laju reaksi dengan konsentrasi enzim ternyata berbanding lurus. Jadi,
makin besar konsentrasi enzim, maka makin cepat laju reaksi.
Kadang-kadang
terjadi penyimpangan dari persamaan ini, sehingga diperoleh garis agak
melengkung. Biasanya, penyimpangan ini terjadi jika enzim yang dipelajari tidak
dalam keadaan murni, sehingga mungkin terdapat senyawa-senyawa penghambat
reaksi dalam jumlah yang sangat kecil. Sebaliknya, penyimpangan juga terdapat
dalam sediaan enzim dengan kemurniaan yang tinggi. Dalam keadaan ini,
penyimpangan disebabkan oleh senyawa pengaktif (aktivator), misalnya tidak
adanya ion tertentu, meskipun ph yang diperlukan sudah dipastikan dengan
menggunakan larutan dapar dan tidak hanya sekedar larutan dengan ph yang
diperlukan tersebut ( Mohamad Sadikin, 2002 ).
d. Pengaruh
konsentrasi substrat :
Pada
suatu reaksi enzimatik bila konsentrasi substrat diperbesar, sedangkan kondisi
lainnya tetap, maka kecepatan reaksi (v) akan meningkat sampai suatu batas
kecepatan maksimum (V). Pada titik maksimum ini enzim telah jenuh dengan
substrat.
Dalam
suatu reaksi enzimatik, enzim akan mengikat substrat membentuk kompleks
enzim-substrat [ES], kemudian kompleks ini akan terurai menjadi [E] dan produk
[P]. Makin banyak kompleks [ES] terbentuk, makin cepat reaksi berlangsung
sampai batas kejenuhan [ES]. Pada konsentrasi substrat [S] melampaui batas
kejenuhan kecepatan reaksi akan konstan. Dalam keadaan itu seluruh enzim sudah
berada dalam bentuk kompleks E-S. Penambahan jumlah substrat tidak menambah
jumlah kompleks E-S.
Fungsi
enzim dalam kepentingan medis. Enzim terdistribusi di tempat-tempat
tertentu di dalam sel, kurang lebih sesuai dengan golongan dan fungsinya.
Sebagai contoh, enzim-enzim yang berperan dalam sintesis dan reparasi DNA
terletak di dalam inti sel. Enzim yang mengkatalisasi berbagai reaksi yang
menghasilkan energi secara aerob terletak di dalam mitokondria. Enzim yang
berhubungan dengan berbagai biosintesis protein berada bersama ribosom. Dengan
demikian reaksi kimia dalam sel berjalan sangat terarah dan efisien.
Ada
penyakit yang disebabkan oleh abnormalitas sintesis enzim tertentu, misalnya
pada defisiensi enzim glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PDH/ G6PD).
Sel darah merah penderita defisiensi G6PDH ini sangta rentan terhadap
pembebanan oksidatif, misalnya pada pemakaian obat analgetik tertentu dan obat
anti malaria. Pada pemakaian obat-obat tersebut dapat terjadi hemolisis intravaskuler.
Analisis
enzim dalam serum pada dasarnya dapat dipakai untuk diagnosis berbagai
penyakit. Dasar penggunaan enzim sebagai penunjang diagnosis ialah bahwa (1)
pada hakikatnya, sebagian besar enzim terdapat dan bekerja dalam sel dan (2)
bahwa enzim tertentu dibuat dalam jumlah besar oleh jaringan tertentu. Karena
itu enzim intrasel seharusnya tidak ditemukan dalam serum dan bila
ditemukan, berarti sel yang membuatnya mengalami disintegrasi. Bila enzim
yang diukur dalam serum terutama dibuat oleh jaringan atau organ tertentu, maka
peningkatan aktivitas dalam serum menunjukkan adanya kerusakan pada jaringan
atau organ tersebut ( Hafiz Soewoto,2000). .
II.2 Pati
Pati ialah polisakarida simpanan yang terdapat dalam tumbuhan tingkat tingkat tinggi. Homopolimer ini terdiri atas campuran amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan polisakarida linear dari unti-unit D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,4)-glukosida. Bobot molekulnya beragam dari beberapa ribu sampai 150.000. amilosa ini menghasilkan kompleks biru-hitam yang tajam dengan iodium akibat masuknya I2 ke dalam gelung helical ynag terbentuk ketika amilosa berada dalam air. Amilopektin memiliki rantai tulang punggung ( backbone ) yang sama dengan amilosa, tetapi dengan banyak percabangan lewat ikatan α-(1,6)-glukosida. Bobot molekulnya lebih besar daripada amilosa. Reaksi amilopektin dan iodium membentuk kompleks merah-ungu..
Pati ( mailosa maupun amilopektin ) jika terhidrolisis sempurna ( semua ikatan asetal diputus ) akan menghasilkan hanya D-glukosa. Namun jika dihidrolisis sebagian diperoleh produk yang berbeda: amilosa menghasilkan maltose sebagai satu-satunya disakarfida sedangkan amilopektin menghasilkan campuran disakarida maltose dan isomaltosa. Dari hidrolisis parsial amilopektin, juga diperoleh campuran oligosakarida yang biasa dirujuk sebgai dekstrin, digunakan untuk membuat lem, pasta, atau kanji tekstil. Dekstrin tidak membentuk kompleks berwarna dengan iodium.
Hidrolisis sempurna biasanya dilakukan dengan asam encer pada suhu tinggi sedangkan hidrolisis parsial umumnya terjadi secara enzimatik. Enzim α-amilase dalam saluran pencernaan ( air liur dan cairan pancreas ) akan menghidrolisis rantai lurus amilosa dan amilopektin secara acak menjadi campuran glukosa dan maltose. Enzim β-amilase pada tumbuhan secara lebih spesifik menghidrolisis amilosa menjadi unit-unit maltose. Akhirnya tambahan enzim α-(1,6)-glukosidase dapa menghidrolisis ikatan α-(1,6)-glikosida pada titik percabangan amilopektin dan menghasilkan hidrolisis sempurna ( Staf Pengajar Kimia Organik IPB, 2005 ).
II.3 Enzim Amilase
Air liur mengandung enzim amylase liur, musin, air, dan garam natrium. Fungsi dari musin yaitu lendir yang melekatkan butir-butir makanan dan melincirkan makanan. Sedangkan fungsi air yaitu melembabkan dan melembutkan makanan. Adapun fungsi garam natrium yaitu menyediakan enzim beralkali untuk kerja amylase liur. Enzim amylase sendiri di jelaskan di bawah ini.
Enzim Amilase mempunyai kemampuan untuk memecah molekul-molekul pati dan glikogen Molekul pati yang merupakan polimer dari alfa-D-glikopiranosa akan dipecah oleh enzim pada ikatan alfa-1,4- dan alfa-l,6-glikosida.
Secara umum, amilase dibedakan menjadi tiga berdasarkan hasil pemecahan dan letak ikatan yang dipecah, yaitu alfa-amilase, beta-amilase, dan glukoamilase. Enzim alfa-amilase merupakan endoenzim yang memotong ikatan alfa-1,4 amilosa dan amilopektin dengan cepat pada larutan pati kental yang telah mengalami gelatinisasi. Proses ini juga dikenal dengan nama proses likuifikasi pati. Produk akhir yang dihasilkan dari aktivitasnya adalah dekstrin beserta sejumlah kecil glukosa dan maltosa. Alfa-amilase akan menghidrolisis ikatan alfa-1-4 glikosida pada polisakarida dengan hasil degradasi secara acak di bagian tengah atau bagian dalam molekul. Enzim beta-amilase atau disebut juga alfa-l,4-glukanmaltohidrolas E.C. 3.2.1.2. bekerja pada ikatan alfa-1,4-glikosida dengan menginversi konfigurasi posisi atom C(l) atau C nomor 1 molekul glukosa dari alfa menjadi beta. Enzim ini memutus ikatan amilosa maupun amilopektin dari luar molekul dan menghasilkan unit-unit maltosa dari ujung nonpe-reduksi pada rantai polisakarida. Bila tiba pada ikatan alfa-1,6 glikosida aktivitas enzim ini akan berhenti. Glukoamilase dikenal dengan nama lain alfa-1,4- glukan glukohidro-lase atau EC 3.2.1.3. Enzim ini menghidrolisis ikatan glukosida alfa-1,4, tetapi hasilnya beta-glukosa yang mempunyai konfigurasi berlawanan dengan hasil hidrolisis oleh enzim a-amilase. Selain itu, enzim ini dapat pula menghidrolisis ikatan glikosida alfa-1,6 dan alfa-1,3 tetapi dengan laju yang lebih lambat dibandingkan dengan hidrolisis ikatan glikosida a-1,4 (http://june-s.blogspot.com/2008/05/deteksi-dan-uji-kualitas-amilase.html ).
BAB III
MATERI DAN METODE
III.1 Alat dan Bahan
Alat :
a) Beaker glass
b) Tabung reaksi
c) Pipet volume
d) Pipet tetes
e) Erlenmeyer
f) Spektrofotometer
g) Incubator
Bahan :
a) Air liur
b) Larutan pati
c) Larutan iodium
d) Larutan pH 7 dan 11
e) Aquadest
III.2 Prosedur Kerja
Sebelum melakukan percobaan diambil sampel air liur dari praktikan dan ditempatkan pada wadah
ü Pengaruh Suhu
a) air liur diencerkan 100 kali, dengan mengambil 1ml air liur dari sample dan dilarutkan dalam 100ml air dalam labu ukur
b) larutan pati kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah diberi tanda blangko dan uji kemudian pasangan tabung diinkubasi pada suhu 40, 280, 370, 600, 1000 C selama 5 menit
c) larutan pati dicampurkan ke dalam 0,2 ml air liur kemudian diinkubasi selama tepat 1 menit
d) ditambahkan larutan iodium 1 ml dan aquadest 8 ml pada masing-masing tabung (untuk suhu 600 C dan 1000C dilakukan di luar penangas)
e) dilakukan pengukuran serapan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 680 nm
f) dihitung kecepatan reaksi enzimatik dan dibuat kurva yang menghubungkan kecepatan reaksi dengan suhu
ü Pengaruh pH
a) Air liur diencerkan 100 kali dengan mengambil 1ml air liur dari sample dan dilarutkan dalam 100ml air dalam labu ukur
b) 0,5 ml larutan pati ditambah dengan 0,5 ml larutan pH 7 (tabung A), o,5 ml larutan pati ditambah dengan 0,5 ml larutan pH 11 (tabung B). Masing-asing tabung ditandai blanko dan uji. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 370 C selama minimal 5 menit
c) campuran larutan pati dengan larutan pH yang telah diinkubasi ditambahkan dengan 0,2 ml air liur yang telah diencerkan, kemudian diinkubasi kembali selama tepat 1 menit.
d) ditambah larutan iodium 1 ml dan aquadest 8 ml pada masing-masing tabung
e) dilakukan pengukuran serapan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 680 nm
f) dihitung kecepatan reaksi enzimatik dan dibuat kurva yang menghubungkan kecepatan reaksi dengan suhu
ü Pengaruh Konsentrasi Enzim
a) Air liur diencerkan dengan pengenceran 100 kali ; 200 kali ; 400 kali ; 600 kali
b) 1 ml larutan pati dimasukkan kedalam 8 tabung reaksi yang diberi tanda blangko dan uji kemudian diinkubasi pada suhu 370 selama 5 menit
c) Air liur yang telah diencerkan diambil 0,2 ml (setiap konsentrasi) dimasukkan ke dalam tabung reaksi
d) Larutan pati yang telah diinkubasi dicampurkan ke air liur kemudian diinkubasi tepat 1 menit
e) Ditambahkan larutan iodium 1 ml dan aquadest 8 ml pada masing-masing tabung
f) dilakukan pengukuran serapan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 680 nm
g) dihitung kecepatan reaksi enzimatik dan dibuat kurva yang menghubungakan kecepatan reaksi dengan suhu
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
Adapun hasil percobaan yang kami lakukan adalah sebagai berikut :
v Pengaruh Suhu
Tabel hasil pengamatan serapan berdasarkan pengukuran spectrofotometer pada λ = 680 nm
Suhu
|
AB
|
AU
|
∆A/menit
|
40C
|
0,175
|
0,142
|
0,033
|
280C
|
0,245
|
0,194
|
0,051
|
370C
|
0,211
|
0,150
|
0,061
|
600C
|
0,226
|
0,183
|
0,043
|
1000C
|
0,255
|
0,189
|
0,066
|
v Pengaruh pH
Tabel hasil pengamatan serapan berdasarkan pengukuran spectrofotometer pada λ = 680 nm dan perubahn warna yang terjadi
pH
|
AB
|
AU
|
∆A/menit
|
Perubahan warna
|
7
|
0,093
|
0,1245
|
-0,0315
|
Coklat
|
11
|
0,003
|
0,011
|
-0,008
|
Biru
|
v Pengaruh konsentrasi
Tabel hasil pengamatan serapan berdasarkan pengukuran spectrofotometer pada λ = 680 nm
Konsentrasi
|
AB
|
AU
|
∆A/menit
| |
100 X
|
0,01
|
0,207
|
0,173
|
0,024
|
200 X
|
0,005
|
0,200
|
0,120
|
0,08
|
400 X
|
0,0025
|
0,193
|
0,174
|
0,019
|
600 X
|
0,0017
|
0,185
|
0,189
|
-0,004
|
BAB V
PEMBAHASAN
Pada praktikum ini kami melakukan percobaan secara invitro mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim amylase yang terdapat pada air liur dalam memecah larutan pati. Faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim diantaranya adalah konsentrasi enzim, konsentrasi ion hydrogen (pH), suhu dan konsentrasi substrat. Namun kami tidak melakukan praktikum mengenai pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas enzim.
Dalam praktikum kali ini digunakan bahan pati yang diindikasikan sebagai substrat. Sedangkan air liur digunakan untuk mengetahui reaksi enzimatik dari enzimamylase di dalamnya. Larutan Iodium digunakan sebagai indicator perubahan warna dari larutan uji.
Pada ketiga percobaan perlakuan hampir sama pada pembuatan larutan uji dan blanko. Perlakuan yang sama pada larutan uji dan blanko yaitu sample yang sama yaitu larutan pati yang berfungsi sebagai substrat lalu di inkubasi selama 5 menit pada suhu 370C ( untuk percobaan pengaruh suhu dan konsentrasi enzim ) yang berfungsi untuk menyamakan kondisi suhu enzim dengan suhu tubuh. Lalu mencampurkan pati dengan air liur dimana pada keadaan ini akan terjadi hidrolisis parsial. Kemudian ditambahkan Larutan iodium yang akan menandakan perbedaan warna dari masing-masing perlakuan pada percobaan factor yang mempengaruhi kerja enzim, larutan iodium ini merupakan indicator adanya karbohidrat atau tidak dalam larutan.
Pengaruh Suhu
Suhu mempengaruhi aktivitas katalisis enzim. Diluar suhu optimum aktivitas enzim menjadi tidak maksimal. Bila suhu terlalu rendah, enzim menjadi tidak aktif, karena tidak terjadi benturan antara molekul enzim dengan substrat. Sedangkan bila suhu terlalu tinggi, dimana benturan yang terjadi semakin banyak maka struktur tiga dimensi dari enzim tersebut akan terganggu sehingga enzim akan mengalami denaturasi, atau dapat dikatakan enzim akan kehilangan sifat alamiahnya.
Pada percoban mengenai pengaruh suhu terhadap aktiivitas enzim, yang pertama kami lakukan adalah pengenceran air liur hingga 100 kali. Kami juga menggunakan larutan pati sebagai larutan uji untuk melihat aktivitas enzim amylase. Larutan pati dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 1 ml, yang kemudian diinkubasi selama 5 menit pada suhu 4, 28, 37, 60, 100 C yang masing-masing suhu dibuat blanko dan uji. Setelah diinkubasi larutan pati dicampurkan ke dalam 0,2 ml air liur kemudian diinkubasi kembali selama tepat 1 menit dan ditambahkan larutan iodium 1 ml dalam 8 ml aquadest pada masing-masing tabung, untuk suhu 600 C dan 1000 C dilakukan di luar penangas, perlakuan tersebut bertujuan untuk menghindari terjadinya bumping selama proses pemanasan. Setelah itu dilakukan pengukuran serapan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 680 nm, dan dihitung kecepatan reaksi enzimatik serta dibuat kurva yang menghubungkan kecepatan reaksi dengan suhu. Berdasarkan data hasil pengamatan, perubahan absorbansi per menit yang diperoleh dari absorbansi larutan blanko dan absorbansi larutan uji dapat dilihat dari kurva disamping. Adapun kurva hasil percobaan memperlihatkan laju reaksi dari enzim semakin cepat seiring bertambahnya suhu ini terlihat pada kenaikan suhu dari 4oC hingga 37oC namun ketika suhu mengalami kenaikan hingga 60oC terjadi penurunan laju reaksi. Kedua keadaan ini diakibatkan oleh benturan antara enzim dan substrat. Pada keadaan pertama yaitu 4oC hingga 37oC, telihat peningkatan laju reaksi akibat adanya gerak termodinamik yang secara perlahan membentuk produk dan pada titik optimum ( suhu optimum ) yaitu 37oC dapat dikatakan membentuk secara sempurna karena enzim amylase yang merupakan enzim yang terdapat tubuh memilki suhu optimum 37oC. pada keadaan kedua yaitu suhu mengalami kenaikan hingga 60oC, pada keadaan ini perbenturan antara enzim dan substrat terus berlangsung namun keadaan ini tidak menambah laju reaksi namun mengurangi laju reaksi ini disebabkan karena enzim mengalami denaturasi sehingga bangun tiga dimensinya berubah secara bertahap. Jika suhu jauh lebih tinggi dari suhu optimum, maka makin besar deformasi struktur tiga dimensi tersebut dan makin sukar bagi substrat untuk menempati secara tepat di bagian aktif molekul enzim. Akibatnya, kompleks E-S akan sukar terbentuk, sehingga produk juga makin sedikit dan ini terlihat ( Mohamad Sadikin, 2002 ) dari kurva laju reaksi yang semakin menurun. Dari kurva terlihat bahwa pada suhu 100 oC terjadi kenaikan nilai absorbansi, sehingga didapatkan kurva yang tidak sesuai teori. Hal ini disebabkan telalu lamanya tabung reaksi berada di luar penangas, sehingga diperkirakan suhu dalam tabung berada di bawah 100 oC pada saat pencampuran sehingga tumbukan antara enzim dan substrat mengalami penurun dan mendekati suhu optimum sehingga menghasilkan laju reaksi yang menurun. Dari hasil percobaan kami tidak dapat membuktikan bahwa keasaman mengaruhi kecepatan reaksi enzimatik. Kesalahan ini terletak pada penambahan air liur yang tidak sesuai dengan prosedur kerja dimana air liur yang ditambahkan hanya 1ml bukan 2ml yang merupakan tahapan pada prosedur kerja sehingga hasil absorbansi nilai ∆A/menit menjadi minus. Terlihat pada kurva di samping. Kurva di samping pun menjadi rancu bila dibandingkan dengan kurva antara pH larutan enizm amylase dari air liur dengan laju reaksi menurut Mohamad Sadikin (2002)
Dari kurva hasil percobaan terlihat semakin tinggi pH semakin tinggi nilai absorbansi yang menandakan semakin tingginya laju reaksi dari pH 7 ke pH 11. Pada umumnya enzim bekerja maksimum pada pH 5-9, namun dari kurva kita lihat enzim amylase dari air liur bekerja semakin tinggi dengan bertambahnya pH ( yaitu pH 11 yang berada di luar kisaran pH untuk enzim bekerja maksimum). Kerja enzim sebagai katalis dipengaruhi oleh pH. adanya nilai pH tertentu, yang memungkinkan enzim bekerja maksimum. pH tersebut dinamakan pH maksimum. Dalam lingkungan keasaman seperti itu, protein enzim mengambil struktur 3 dimensi yang sangat tepat, sehingga ia dapat mengikat dan mengolah substrat dengan kecepatan yang setinggi-tingginya. Di luar nilai ph optimum tersebut, struktur 3 dimensi enzim mulai berubah, sehingga substrat tidak dapat lagi duduk dengan tepat di bagian molekul enzim yang mengolah substrat. Akibatnaya, proses katalisis berjalan tidak optimum. Oleh karena itu, struktur 3 dimensi berubah akibat ph yang tidak optimum ( Mohamad Sadikin, 2002).
Dari pengamatan warna larutan uji, terlihat perbedaan warna yang signifikan antara larutan pati yang dicampurkan dengan air liur pada pH 7 dan pada pH 11 setelah ditambahkan larutan iodium. Pada larutan uji pH 7 warna yang dihasilkan yaitu coklat. Keadaan ini menandakan bahwa enzim amylase pada air liur bekerja menghidrolisa larutan pati menjadi produk yang terdiri dari glukosa dan maltosa. Pada pH 7 ini dapat dikatakan sudah tidak adanya karbohidrat ( dari larutan pati yang terdiri dari amilosa dan amilopektin ) karena dihidrolisis oleh amylase terlihat dengan tidak didapatkan warna biru kehitaman ( menandakan adanya amilosa) ataupun merah ungu ( menandakan adanya amilopektin )ketika ditambahkan larutan iodium. Kerja enzim amylase disini dikatatan sebagai hidrolisis parsial dan memperlihatkan bahwa enzim amylase berada pada kondisi 3 dimensi yang tepat sehingga dapat mengolah ( menghidrolisis ) karbohidrat dari larutan pati dengan sangat cepat.
Sedangkan hasil pengamatan pada pH 11 menunjukan warna biru pada larutan uji setelah ditambhkan iodium. Ini menunjukan adanya kompleks pati iodium dimana dapat diindikasikan adanya amilosa yang merupakan bagian dari pati ( karbohidrat ). Sehingga dapat dikatakan pada pH ini enzim amylase tidak bekerja optimum dalam menghirdrolis larutan pati karena struktur 3 dimensi dari enzim amylase telah berubah sehingga tidak dapat mengolah substrat dengan baik.
Konsentrasi enzim mempengaruhi kecepatan reaksi enzimatik. Pengaruh konsentrasi enzim ini yaitu pembentukan produk, dimana makin besar konsentrasi enzim makin banyak pula produk yang dihasilkan sehingga dapat dinyatakan bahwa laju reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi enzim.
Pada percobaan pengaruh konsentrasi enzim ini, konsentrasi enzim amylase dari air liur yang berbeda-beda didapatkan dari pengenceran larutan air liur. Larutan air liur diencerkan menjadi 100x, 200x, 300x, 400x dan konsentrasi yang di dapat yaitu 0,01; 0,005;0,0025; dan 0,0017. Dari konsentrasi ini sebelum praktikum kita dapat memprediksikan jika laju reaksi akan mencapai titik tertinggi pada konsentrasi 0,01 dan titik terendah pada konsentrasi 0,0017. Dari hasil percobaan pengaruh konsentrasi enzim terlihat pada pergerakan laju reaksi dari 0,0017 hingga 0,0025 dimana laju reaksi semakin meningkat, namun kondisi ini ini terus menurun pada konsentrasi 0,0025 hingga konsentrasi 0,01. Kondisi ini terlihat dari kurva di samping kanan. Keadaan ini tidak dapat membuktikan teori yang menyebutkan Hubungan antara laju reaksi dengan konsentrasi enzim ternyata berbanding lurus. Jadi, makin besar konsentrasi enzim, maka makin cepat laju reaksi yang tertera pada kurva ( Mohamad Sadikin, 2002).
Kurva yang berbeda pada hasil percobaan dikarenakan adanya kesalahan dalam prosedur kerja. Kesalahan dalam prosedur kerja ini yaitu ketidaktelitian dalam pengenceran. Pengenceran yang dimaksud adalah ketika mengencerkan air liur dari 100x menjadi 200x dan seterusnya.
BAB VI
KESIMPULAN
Dari hasil percobaan maka dapat kami simpulkan yaitu enzim dalam aktivitasnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pertama yaitu suhu, aktivitas enzim semakin meningkat seiring bertambahnya suhu terlihat dari laju reaksi namun aktivitasnya menurun setelah melewati suhu optimum. Faktor kedua yaitu pH dimana terlihat perbedaan warna akibat kerja enzim pada pH yang berbeda, dan aktivitas enzim dapat dikatakan bekerja cepat dan tepat pada pH optimumnya. Faktor ketiga yaitu konsentrasi enzim, dimana semakin tinggi konsentrasi enzim semakin banyak produk yang dihasilkan.
Selain itu dapat kami simpulkan bahwa enzim amylase bekerja menghidrolis secara parsial larutan pati yang merupakan karbohidrat. Enzim amylase bekerja maksimum pada pH 7 dan pada suhu 37 0C. sehingga dapat dikatakan pH 7 merupakan pH optimum dalam kerja enzim amylase. Sedangakan suhu 37 0C merupakan suhu optimum bagi enzim amylase dalam melaksanakan kerjanya.
DAFTAR PUSTAKA
Sadikin, Mohamad. 2002. Biokimia Enzim. Jakarta : Widya Medika.
Soewoto, Hafiz, dkk. 2000. Biokimia Eksperimen Laboratorium.Jakarta: Widya Medika.
Staf Pengajar Kimia Organik. 2005. Penuntun Praktikum Kimia Organik untuk Mahasiswa Program D3 Analisis Kimia. Departemen Kimia FMIPA-IPB.
http://june-s.blogspot,com/2008/05/deteksi-dan-uji-kualitas-amilase.html
http://library.usu.ac,id/download/fmipa/farmasi-mtsim1.pdf
Source : http://chocolate-purplepharmacy.blogspot.com