I. TUJUAN
2. Mengenal
teknik untuk mengevaluasi penyakit diabetes dengan cara konvensional dan komputerisasi
II. PRINSIP
1. Penyakit
diabetes merupakan gangguan metabolisme yang salah satu symptomnya berupa kadar glukosa dalam darah di
atas batas normal yang disebabkan oleh defisiensi insulin relative atau
absolute.
2. Obat
hipoglikemik adalah obat yang merangsang sekresi insulin oleh sel β pancreas
dan meningkatkan pengikatan insulin pada jaringan target dan reseptor sehingga
menurunkan kadar glukosa dalam darah.
II. TEORI
Diabetesmelitus merupakan suatu penyakit yang terjadi akibat adanya gangguan pada
metabolime glukosa, disebabkan kerusakan proses pengaturan sekresi insulin dari
sel-sel beta. Insulin, yang diahasilkan oleh kelenjar pankreas sangat penting
untuk menjaga keseimbangan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah normal pada
waktu puasa antara 60-120 mg/dl, dan dua jam sesudah makan dibawah 140 mg/dl.
Bila terjadi gangguan pada kerja insulin, baik secara kualitas maupun kuantitas,
keseimbangan tersebut akan terganggu, dan kadar glukosa darah cenderung naik
(hiperglikemia) (Kee dan Hayes,1996; Tjokroprawiro, 1998).
Diabetes melitus adalah gangguan
metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia dan glukosuria yang berhubungan
dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang diakibatkan
kurangnya insulin yang diproduksi oleh sel β pulau Langerhans kelenjar Pankreas
baik absolut maupun relatif (Herman, 1993; Adam, 2000; Sukandar, 2008).
Kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan metabolisme karbohidrat.
Oleh karena itu, diagnosis diabetes melitus selalu berdasarkan kadar glukosa
dalam plasma darah (Herman, 1993; Adam, 2000).
Diabetes
melitus merupakan salah satu jenis penyakit yang ditandai dengan meningkatnya
kadar glukosa darah (hiperglikemia) sebagai akibat dari rendahnya sekresi
insulin, gangguan efek insulin, atau keduanya. Diabetes mellitus bukan
merupakan patogen melainkan secara etiologi adalah kerusakan atau gangguan
metabolisme. Gejala umum diabetes adalah hiperglikemia, poliuria, polidipsia,
kekurangan berat badan, pandangan mata kabur, dan kekurangan insulin sampai
pada infeksi. Hiperglikemia akut dapat menyebabkan sindrom hiperosmolar dan
kekurangan insulin dan ketoasidosis. Hiperglikemia kronik menyebabkan kerusakan jangka panjang,
disfungsi dan kegagalan metabolisme sel, jaringan dan organ. Komplikasi jangka
panjang diabetes adalah macroangiopathy, microangiopathy, neuropathy, katarak,
diabetes kaki dan diabetes jantung (Reinauer et al, 2002).
Gejala penyakit diabetes melitus
dari satu penderita ke penderita lainnya tidak selalu sama. Gejala yang
disebutkan dibawah ini adalah gejala yang umumnya timbul dengan tidak
mengurangi kemungkinan adanya variasi gejala lain. Ada pula penderita diabetes
melitus yang tidak menunjukkan gejala apa pun sampai pada saat tertentu (Tjoktoprawiro,
1998).
1. Pada
permulaan, gejala yang ditunjukkan meliputi “tiga P” yaitu:
a.
Polifagia (meningkatnya nafsu makan, banyak
makan)
b.
Polidipsia (meningkatnya rasa haus, banyak
minum)
c.
Poliuria (meningkatnya keluaran urin, banyak
kencing)
Dalam fase ini biasanya penderita menunjukkan berat
badan yang terus meningkat, bertambah gemuk, mungkin sampai terjadi kegemukan.
Pada keadaan ini jumlah insulin masih dapat mengimbangi kadar glukosa dalam
darah (Kee dan Hayes,1996; Tjokroprawiro, 1998).
2. Bila
keadaan diatas tidak segera diobati, kemudian akan timbul gejala yang
disebabkan oleh kurangnya insulin, yaitu :
a.
Banyak minum
b.
Banyak kencing
c.
Berat badan menurun dengan cepat (dapat turun
5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu)
d.
Mudah lelah
e.
Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual
jika kadar glukosa darah melebihi 500 mg/dl, bahkan penderita akan jatuh koma
(tidak sadarkan diri) dan disebut koma diabetik.
Koma diabetik adalah koma pada
penderita diabetes melitus akibat kadar glukosa darah terlalu tinggi, biasanya
600 mg/dl atau lebih. Dalam praktik,
gejala dan penurunan berat badan inilah yang paling sering menjadi
keluhan utama penderita untuk berobat ke dokter (Tjokroprawiro, 1998).
Kadang-kadang penderita diabetes melitus tidak menunjukkan gejala akut
(mendadak), tetapi penderita tersebut baru menunjukkan gejala setelah beberapa
bulan atau beberapa tahun mengidap penyakit diabetes melitus. Gejala ini
dikenal dengan gejala kronik atau menahun (Katzung, 2002).
Gejala kronik yang sering timbul pada penderita diabetes adalah seperti
yang disebut dibawah ini :
1. Kesemutan
2. Kulit
terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum
3. Rasa
tebal pada kulit telapak kaki, sehingga kalau berjalan seperti diatas bantal
atau kasur
4. Kram
5. Capai,
pegal-pegal
6. Mudah
mengantuk
7. Mata
kabur, biasanya sering ganti kacamata
8. Gatal
di sekitar kemaluan, terutama wanita
9. Gigi
mudah goyah dan mudah lepas
10. Kemampuan
seksual menurun, bahkan impoten, dan
Para ibu hamil sering mengalami
gangguan atau kematian janin dalam kandungan, atau melahirkan bayi dengan berat
lebih dari 3,5 kg. (Tjokroprawiro,
1998).
Klasifikasi dan Etiologi Diabetes Mellitus
1. Diabetes
Mellitus tergantung Insulin (DMTI, tipe 1)
Diabetes mellitus tergantung insulin (DMTI atau IDDM)
merupakan istilah yang digunakan untuk kelompok pasien diabetes mellitus yang
tidak dapat bertahan hidup tanpa pengobatan insulin. Penyebab yang paling umum
dari IDDM ini adalah terjadinya kerusakan otoimun sel-sel beta (β) dari
pulau-pulau Langerhans (Katzung,
2002).
Kebanyakan penderita IDDM berusia masih muda, dan usia puncak
terjadinya serangan adalah 12 tahun. Namun demikian, 10% pasien diabetes diatas
65 tahun merupakan pengidap IDDM
(Katzung, 2002).
IDDM dapat juga disebabkan adanya interaksi antara
faktor-faktor lingkungan dengan kecenderungan sebagai pewaris penyakit diabetes
mellitus. Hal ini menunjukkan bahwa IDDM dapat timbul karena adanya hubungan
dengan gen-gen pasien dan dapat pula dipicu oleh faktor lingkungan yang ada,
termasuk bermacam-macam virus (Jones and Gill, 1998; Tunbridge and Home, 1991).
2. Diabetes
mellitus tidak tergantung Insulin (DMTTI ,Tipe II)
Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (DMTTI atau NIDDM)
merupakan istilah yang digunakan untuk kelompok diabetes mellitus yang tidak
memerlukan pengobatan dengan insulin supaya dapat bertahan hidup, meskipun
hampir 20% pasien menerima insulin dengan tujuan untuk membantu mengontrol
kadar glukosa darah. NIDDM biasanya ditunjukkan oleh adanya kombinasi yang
beragam dari tahanan insulin dan kekurangan insulin (Tunbridge and Home, 1991).
Obat Antidiabetes
Insulin adalah hormon yang disekresi oleh sel β pulau Langerhans dalam
pankreas. Berbagai stimulus melepaskan insulin dari granula penyimpanan dalam
sel β, tetapi stimulus yang paling kuat adalah peningkatan glukosa plasma
(hiperglikemia). Insulin terikat pada reseptor spesifik dalam membran sel dan
memulai sejumlah aksi, termasuk peningkatan ambilan glukosa oleh hati, otot,
dan jaringan adipose (Katzung, 2002).
Insulin adalah polipeptida yang mengandung 51 asam amino yang tersusun
dalam dua rantai (A dan B) dan dihubungkan oleh ikatan disulfida. Suatu
prekursor, yang disebut proinsulin, dihidrolisis dalam granula penyimpan untuk
membentuk insulin dan peptida C residual. Granula menyimpan insulin sebagai
kristal yang mengandung zink dan insulin.
Glukosa merupakan stimulus paling kuat untuk pelepasan insulin dari
sel-sel β pulau Langerhans. Terdapat sekresi basal yang kontinu dengan lonjakan
pada waktu makan. Sel-sel β memiliki kanal K+ yang diatur oleh
adenosin trifosfat (ATP) intraselular. Saat glukosa darah meningkat, lebih
banyak glukosa memasuki sel β dan metabolismenya menyebabkan peningkatan ATP
intraselular yang menutup kanalATP. Depolarisasi sel Depolarisasi
sel β yang diakibatkannya mengawali influks ion Ca 2+ melalui kanal Ca2+ yang
sensitif tegangan dan ini memicu pelepasan insulin (Katzung, 2002).
Reseptor insulin adalah glikoprotein pembentuk membran yang terdiri dari
dua subunit α dan dua subunit β yang terikat secara kovalen oleh ikatan
disulfida. Setelah insulin terikat pada subunit α, kompleks insulin-reseptor
memasuki sel, dimana insulin dihancurkan oleh enzim lisosom. Internalisasi dari
kompleks insulin-reseptor mendasari down-regulation reseptor yang dihasilkan
olh kadar insulin tinggi (misalnya pada pasien obes). Ikatan insulin pada
reseptor mengaktivasi aktivitas tirosin kinase subunit β dan memulai suatu
rantai kompleks reaksi-reaksi yang menyebabkan efek insulin (Neal, 2006).
Perawatan diabetes mellitus diambil dari empat
faktor fundamental : pengajaran pasien tentang penyakit; latihan fisik; diet
dan agen-agen hipoglikemia. Agen-agen yang baru digunakan sebagai kontrol
diabetes mellitus adalah obat-obat dari golongan sulfonilurea, biguanida,
turunan thiazolidinedione, dan insulin (diberikan secara injeksi). Meskipun
obat-obat ini telah digunakan secara intensif karena efek yang baik dalam
kontrol hiperglikemia, agen-agen ini tidak dapat memenuhi kontrol yang baik
pada diabetes mellitus, tidak dapat menekan komplikasi akut maupun kronis
(Galacia et.al,
2002).
A. Sekretagok Insulin
Sekretagok insulin mempunyai efek
hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel β pankreas.
Golongan ini meliputi:
Obat ini hanya
efektif pada penderita diabetes melitus tipe 2 yang tidak begitu berat, yang
sel-sel β masih bekerja cukup baik. Mekanisme kerja dari golongan sulfonilurea
antara lain:
a.
Merangsang
fungsi sel-sel β pulau Langerhans pankreas agar dapat menghasilkan insulin.
b.
Mencegah
(inhibisi) konversi glikogen hati kembali ke glukosa.
c.
Meningkatkan
penggunaan glukosa darah
Sulfonilurea dibagi dalam dua
golongan/generasi yaitu:
a.
Generasi
pertama meliputi: Tolbutamide, Acetohexamide, Tolazamide, Chlorpropamide
b.
Generasi
kedua meliputi: Glibenclamide, Gliclazide, Glipizide, Gliquidon, Glibonuride.
Sekretagok insulin baru, yang
kerjanya melalui reseptor sulfonilurea dan mempunyai struktur yang mirip dengan
sulfonilurea. Repaglinid dan nateglinid kedua-duanya diabsorpsi dengan cepat
setelah pemberian secara oral. Repaglinid mempunyai masa paruh yang singkat dan
dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa. Sedangkan nateglinid mempunyai masa
tinggal yang lebih singkat dan tidak dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa
(Soegondo, 2006).
B.
Sensitizer
Insulin
Golongan obat ini meliputi obat
hipoglikemik golongan biguanida dan thiazolidinedione, yang dapat membantu
tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih efektif (Depkes RI, 2005).
1.
Golongan
Biguanida
Saat ini golongan biguanid
yang banyak dipakai adalah metformin. Mekanisme kerja golongan biguanid (metformin):
a.
Meningkatkan
glikolisis anaerobik hati.
b.
Meningkatkan
uptake glukosa di jaringan perifer
atau mengurangi glukoneogenesis.
c.
Menghambat
absorpsi glukosa dari usus (Herman, 1993; Soegondo, 2006)
2.
Golongan Thiazolidinedione atau Glitazon
Golongan obat ini mempunyai
efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin. Glitazon merupakan agonist peroxisomeproliferator-activated receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten.
Reseptor PPAR gamma terdapat di jaringan target kerja insulin yaitu jaringan
adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut merupakan
regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit, dan kerja insulin. Glitazon
dapat merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat memperbaiki sensitivitas
insulin dan memperbaiki glikemia, seperti GLUT 1, GLUT 4, p85alphaPI-3K dan uncoupling
protein-2 (UCP) (Soegondo, 2006).
Aloksan
:
|
||
Rumus molekul
|
:
|
C4H2N2O4
|
Masa molar
|
:
|
142.07 g/mol
|
titik
leleh
|
:
|
256 °C
|
Kelarutan
dalam air
|
:
|
Mudah larut
dalam air
|
Aloksan(2,4,5,6-tetraoksipirimidin; 2,4,5,6-pirimidintetron) adalah suatu senyawa yang
sering digunakan untuk penelitian diabetes menggunakan hewan coba. Aloksan
dapat menghasilkan radikal hidroksil yang sangat reaktif dan dapat menyebabkan
diabetes pada hewan coba. Efek diabetogenik aloksan ini dapat dicegah oleh
senyawa penangkap radikal hidroksil (Studiawan dan Santosa, 2005).
Sinonim
|
:
|
Gliburid
|
Indikasi
|
:
|
NIDDM ringan - sedang
|
Kontraindikasi
|
:
|
wanita menyusui, profiria, dan ketoasidosis
|
Peringatan
|
:
|
Penggunaan harus hati-hati pada pasien usia lanjut, gangguan fingsi hati
dan ginjal.
|
Efek samping
|
gejala saluran cerna dan sakit kepala. Gejala hematologik termasuk trombositopenia,
agranulositosis, dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali.
|
|
Interaksi
|
:
|
Dengan penghambat ACE dapat menambah efek hipoglikemik. alkohol meningkatkan
efek hipoglikemik, analgesik meningkatkan efek sulfonilurea (glibenklamid).
|
Dosis
|
:
|
Dosis awal 2,5 mg bersama sarapan, maksimal 15 mg.
|
(Depkes
RI, 2000).
IV. ALAT DAN BAHAN
a. Percobaan Uji Diabetes Secara Konvensional
(Wet Lab)
Hewan Percobaan :
1. Mencit putih
Alat Percobaan :
1. Glukometer
1. Glukometer
2.
Pisau cutter
3.
Sonde Oral
Bahan percobaan
1. Glibenklamid
2.
Glukosa
3.
PGA 2%
b. Percobaan Uji Diabetes Menggunakan
Komputerisasi (Dry Lab)
Alat
Percobaan :
1.
Komputer
2.
Software untuk uji diabetes
V. PROSEDUR
A.
Percobaan
Uji Diabetes Secara Konvensional (Wet Lab)
Pada percobaan ini dilakukan pengukuran glukosa darah menggunakan glucose
meter dan glucose test scripts. Bagian ujung ekor mencit dipotong, kemudian
darah diteteskan ke bagian ujung strips dan setelah 20 detik kadar glukosa
darah akan terlihat pada monitor glucosemeter. Sebelum percobaan hewan
dipuasakan, tidak diberi makan teteapi tetap diberikan minum. Mencit ditimbang, dan diamati sebelum
pemberian obat. Mencit
dikelompokkan menjadi 2
kelompok :
a. Kelompok control negative
c. Kelompok uji
Kelompok control negative diberikan PGA 2%, kelompok uji diberikan
Gliben-klamid. Sebelum pemberian glukosa dilakukan pengambilan darah pada semua
mencit (t=0). Kemudian semua
mencit diberikan glukosa setelah
t=30 menit.Dilakukan pengambilan darah pada semua mencit pada menit 15,30, 60 setelah diberikan
glukosa. Pengukuran glukosa
darah dilakukan menggunakan glucose meter dan glucose test strips. Bagian ujung
ekor mencit dipotong, kemudian darah diteteskan ke bagian ujung strip dan
setelah 20 detik kadar glukosa darah akan terlihat pada monitor glucose meter. Data yang diperoleh diananlisis
secara statistik berdasarkan
analisis variansi dan kebermakna perbedaan kadar glukosa antara kelompok
control negative, dan kelompok uji kemudian dianalisis dengan student’s test. Data disajikan dalam bentuk tabel
atau grafik.
B.
Percobaan
Uji Diabetes Menggunakan Komputerisasi (Dry Lab)
Percobaan I : Pembuatan Kurva Standard dan
Glukosa
Tube 1-5 disiapkan, dengan cara diklik dan didrag tabung kedalam slot incubator sesuai nomor yang telah
disediakan. Diklik dan ditahan mouse pada pipet tetes
botol Glucose Standard, kemudian didrag
dan diteteskan pada tabung
no.1 denga melepaskan tombol mouse. Langkah tadi diulangi
untuk tabung no.2-5. Tiap tabung otomatis akan mendapat larutan standar glukosa
satu tetes lebih banyak (Tabung no.2 mendapat 2 tetes, no.3 mendapat 3 tetes,
no.4 mendapat 4 tetes, dan no.5 mendapat 5 tetes). Diklik dan ditahan mouse pada pipet tetes botol Deionized Water, kemudian didrag dan diteteskan pada tabung no.1 dengan
melepaskan tombol mouse, otomatis akan memberikan 4 tetes pada tabung no 1. Langkah tadi diulangi untuk tabung no.2-4. Tiap tabung
otomatis akan mendapat larutan standar glukosa satu tetes lebih sedikit (tabung
no.2 mendapat 3 tetes, no.3 mendapat 2 tetes, no. 4 mendapat 1 tetes). Tombol Mix diklik pada incubator yang mencampur bahan
dalam tabung. Diklik tombol
Centrifuge, maka tabung akan turun kedalam incubator dan disentrifugasi
sehingga partikel yang mengendap di bagian bawah tabung yang disebut ‘pellet’. Diklik tombol Remove Pellet untuk
menghilangkan endapan yang terbentuk . Diklik dan tahan mouse pada pipet tetes botol Enzyme-Colour Reagent,
kemudian drag dan teteskan pada tabung no.1 dengan melepaskan tombol mouse,
otomatis akan memberikan 5 tetes. Diulangi
langkah tadi untuk tabung no.2-5. Diklik
tombol incubate, tabung akan masuk kedalam incubator untuk diinkubasi. Tombol Set Up diklik pada spektrofotometer yang
memanaskan alat dan mengkalibrasinya sehingga siap digunakan dalam pengukuran.
Klik dan drag tabung no.1 ke dalam spektrofotometer kemudian lepaskan tombol
mouse, tabung akan terkunci pada tempatnya. Diklik tombol Analyze, akan terlihat pada layer nilai Optical
Density dan Glucose. Diklik
tombol Record Data. Diklik
dan Didrag kedalam pencuci
tabung. Ulangi langkah 13-16 untuk tabung yang lainnya. Setelah semua tabung
dianalisis, klik tombol Graph sehingga terbentuk kurva yang dapat digunakan
pada percobaan tahap II.
Percobaan II : Membandingkan kadar glukosa
sebelum dan sesudah injeksi insulin
Alat suntik Saline pada
tikus control diklik dan didrag kemudian dilepaskan tombol untuk menginjeksi
hewan tersebut. Diklik dan Didrag alat suntik Alloxan pada
tikus percobaan dan lepaskan tombol mouse untuk menginjeksi hewan tersebut. Diklik dan Didrag tabung baru pada tikus control dan
lepaskan tombol, sehingga 3 tetes darah dari ekor tikus akan masuk ke dalam
tabung, kemudian diklik dan didrag tabung ke tempat no.1 pada
inkubator. Diklik dan didrag tabung baru pada ekor tikus
percobaan dan dilepaskan
tombol, sehingga 3 tetes darah dari ekor akan masuk ke dalam tabung, kemudian diklik dan didrag tabung ke tempat no.2 pada incubator.
Diklik dan didrag alat suntik Insulin pada tikus
control dan dilepaskan tombol
mouse untuk menginjeksi hewan tersebut. Diulangi langkah tersebut untuk hewan percobaan. Diulangi langkah ke 3 dan 4 untuk
memperoleh sample darah dari tiap tikus dan disimpan ditempat no.3 dan 4 pada incubator. Diklik tombol Obtainreagent pada cabinet
sehingga alat sunti dan tikus akan hilang dan muncul 3 botol tetes pada layar. Diklik dan tahan mouse pada pipet
tetes botol Deionized Water, kemudian didrag dan diteteskan
pada tabung no.1 dengan melepaskan tombol mouse, otomatis akan memberikan 5
tetes pada tabung no.1. Diulangi
langkah tadi untuk tabung yang lainnya. Diklik dan ditahan
mouse pada pipet tetes tombol Barium Hydroxide (untuk menghilangkan protein)
kemudian didrag dan diteteskan pada tabung no.1 dengan
melepaskan tombol mouse, otomatis akan memberikan 5 tetes pada tabung no.1. Diulangi langkah tadi untuk tabung
yang lainnya. Diklik dan Ditahan mouse pada pipet tetes botol Heprin (sebagai antikoagulansehingga darah tidak menggumpal selama pengujian) kemudian didrag dan diteteskan pada tabung no.1 dengan melepaskan tombol mouse. Diulangi langkah tadi untuk tabung
yang lainnya . Diklik tombol
Mix pada incubator untuk mencampur bahan dalam tabung. Diklik tombol Centrifuge, maka tabung akan
turun ke dalam incubator dan disentrifugasi. Diklik tombol Remove Pellet untuk menghilangkan endapan yang
terbentu. Diklik dan ditahan mouse pada pipet tetes
botol Enzyme-Colour Reagent, kemudian didrag dan diteteskan
pada tabung no.1 dengan melepaskan tombol mouse. Diulangi langkah tadi untuk tabung yang
lainnya. Diklik tombol
Incubate, tabung akan masuk ke dalam incubator untuk inkubasi. Diklik tombol Set Up pada spektrofotometer
untuk memanaskan alat dan mengkalibrasinya sehingga siap digunakan pada
pengukuran. Diklik tombol
Graph Glucose Standard untuk memunculkan grafik dari percobaan 1. Diklik dan drag tabung no.1 ke
dalam spektrofotometer kemudian lepaskan tombol mouse, tabung akan terkunci
pada tempatnya. Diklik tombol
Analyze, akan terlihat pada layar garis horizontal dan nilai Optical Density.
Drag moveable rule (garis vertical merah pada bagian kanan monitor
spektrofotometer) melewati garis horizontal melewati garis glukosa standar.
Lihatlah apa yang terjadi pada layar glukosa ketika memindahkan garis tersebut
ke kiriBacalah kadar glukosa ketika garis horizontal melewati garis standar
glukosa
Tabung test no.1 : 86
mg/desiliter glukosa
Klik tombol Record Data. Klik dan drag tabung dari spektrofotometer ke
dalam pencuci tabung, kemudian klik Clear. Ulangi langkah 22-27 untuk tabung
yang lainnya dan catatlah kadar glukosanya
Tabung test no.2 : 129 mg/desiliter glukosa
Tabung test no.3 : 86 mg/desiliter glukosa
Tabung test no.4 : 97 mg/desiliter glukosa
VI. DATA PENGAMATAN & PERHITUNGAN
Data Pengamatan
v
Dry Lab
Percobaan I
Tube
|
Optical Density
|
Glucose (mg/dL)
|
1
|
0,3
|
30
|
2
|
0,5
|
60
|
3
|
0,6
|
90
|
4
|
0,8
|
120
|
5
|
1
|
150
|
Percobaan II
Tube
|
Optical Densty
|
Glucose (mg/dL)
|
Insulin
|
Salin
|
Aloxan
|
1
|
0
|
86
|
|||
2
|
0
|
129
|
-
|
-
|
ü
|
3
|
0
|
87
|
ü
|
ü
|
-
|
4
|
0
|
97
|
ü
|
-
|
ü
|
v
Wet Lab
Kelompok
|
Mencit
|
t=0 (mg/dL)
|
t=30
|
t=45 (mg/dL)
|
t=60 (mg/dL)
|
Total
|
Kontrol (-) PGA
|
1
2
3
|
109
130
130
|
Gluk-osa
|
145
169
68
|
115
191
154
|
|
χ
|
123
|
127,3
|
153,3
|
403,6
|
||
Kontrol uji
Glibenkla-mid
|
1
2
3
|
157
134
135
|
Glu-kosa
|
139
-
143
|
169
-
134
|
|
χ
|
142
|
141
|
151,5
|
434,5
|
PERHITUNGAN
ANALISIS VARIAN
· HIPOTESIS
H0:
Tidak ada pengaruh pemberian obat sebagai penurun kadar gula darah
H1:
Ada pengaruh pemberian obat sebagai penurun kadar gula darah
· TARAF NYATA
α = 0.05
Kesimpulan
Karena
Fhit<Ftab maka terima H0, yang artinya tidak
ada pengaruh pemberian obat sebagai penurun kadar gula darah. Oleh karena itu tidak perlu
dilakukan uji perbandingan pengaruh perlakuan karena H0 ditolak, sehingga student’s t-test tidak dapat dilakukan
VII. PEMBAHASAN
Percobaan pengujian Diabetes dan
antidiabetes dengan tujuan untuk mengetahui peran insulin dalam tubuh dan
pengaruhnya pada penyakit diabetes serta mengenal teknik untuk mengevaluasi penyakit
diabetes dengan cara konvensional (wet lab) dan komputerisasi (dry lab).
Percobaan dry lab dilakukan untuk mengetahui pengaruh insulin pada diabetes
tipe I. Diabetes tipe I disebut juga Insulin Depent Diabetes Mellitus (IDDM).
Penderita IDDM ini senantiasa membutuhkan insulin disebabkan karena terjadi
destruksi sel beta pancreas, sehingga tidak dihasilkan insulin akibatnya
sel-sel tidak bisa menyerap glukosa dari darah.
A.
Dry lab
Percobaan pertama adalah uji diabetes komputerisasi (dry lab)
dimana uji ini menggunakan software yang telah disediakan. Percobaan dry lab
secara komputerisasi ini terbagi menjadi dua bagian. Langkah pertama yang
dilakukan adalah dibuat kurva baku dari standar glukosa yang bertujuan untuk
perhitungan kadar glukosa sebelum dan sesudah injeksi insulin pada mencit.
Pertama-tama disiapkan tabung 1 – 5, yaitu dengan cara klik dan drag tabung ke
dalam slot inkubator sesuai nomor yang telah disediakan. Tabung ini digunakan
sebagai wadah untuk mencampurkan bahan-bahan yang akan digunakan untuk
mengetahui kadar glukosa. Kemudian tambahkan larutan glukosa pada tabung 1 - 5.
Tiap tabung otomatis akan mendapat larutan standar glukosa satu tetes lebih
banyak, maka tube 1 (1 tetes), tube 2 (2 tetes), tube 3 (3 tetes), tube 4 (4
tetes), tube 5 (5 tetes) glukosa. Ini dilakukan karena untuk membuat kurva
standar harus digunakan variasi konsentrasi glukosa minimal 5 buah konsentrasi.
Lalu tambahkan Deionized Water (air deionisasi) untuk mengencerkan
larutan glukosa pada tabung 1 – 5 yang otomatis akan mendapat satu tetes lebih
sedikit sehingga jumlah keseluruhannya sama. Air deionisasi adalah air murni
dimana ion mineralnya telah dihilangkan. Ion-ion mineral tersebut adalah Na, K,
Fe, Cu, Cl dan Br. Air deionisasi dibuat dengan cara mengikat dan menghilangkan
ionnya menggunakan muatan listrik dimana ion akan tertarik dan berikatan dengan
garam yang kemudian dihilangkan dari air. Pada air biasa terdapat banyak
mineral sedangkan pada air deionisasi adalah murni tidak mengandung ion
mineral, tetapi masih mengandung sejumlah bakteri dan virus, dimana bakteri dan
virus ini tidak bermuatan sehingga tidak tertarik oleh listrik.
Kemudian larutan glukosa standar dan air deionisasi dicampurkan sampai
homogen dalam inkubator. Lalu disentrifugasi yang bertujuan untuk memisahkan
partikel dari fluida oleh gaya sentrifugasi yang dikenakan pada partikel,
sehingga partikel akan mengendap di bagian bawah tabung yang disebut ‘pellet’.
Prinsip sentrifugasi ini adalah dimana objek diputar secara horizontal pada
jarak radial dari titik dimana titik tersebut dikenakan gaya. Objek yang
diputar secara horizontal dan konstan merubah arah dan percepatan walaupun
kecepatan rotasi konstan. Gaya sentrifugal ini bekerja menuju pusat dari
rotasi. Adanya gaya sentrifugal yang ditimbulkan akibat sentrifugasi
menyebabkan campuran terpisah antara bagian yang padat (pelet) dan bagian yang
cair (plasma). Pellet yang terbentuk dibuang. Kemudian masing-masing tabung
yang berisi larutan hasil sentrifugasi diteteskan Enzyme-Color Reagent
dan diinkubasikan. Tekan Set Up pada spektrofotometer untuk memanaskan alat dan
mengkalibrasinya sehingga siap digunakan dalam pengukuran. Setelah itu
dianalisis dengan cara melihat nilai Optical Density dan Glukosa. Optical
Density (OD) adalah ukuran dari sejumlah cahaya yang diabsorpsi oleh
suatu larutan molekul organik dengan menggunakan kolorimeter atau
spektrofotometer. OD ini dapat digunakan untuk memperkirakan konsentrasi
molekul seperti protein. OD selalu ditunjukkan sebagai negatif logaritma
dari transmisi. Setelah itu klik tombol Graph dan akan diperoleh kurva
yang dapat digunakan untuk percobaan II.
No
Tabung
|
Optical
Density
|
Kadar
Glukosa
|
1
|
0.3
|
30
|
2
|
0.5
|
60
|
3
|
0.6
|
90
|
4
|
0.8
|
120
|
5
|
1
|
150
|
Dari data di atas dibuat kurva,dihasilkan kurva garis lurus.
Kadar glukosa semakin meningkat sejalan dengan penambahan glukosa pada
tiap tabung, sehingga di dapat garis yang semakin menanjak dari kiri ke kanan.
Langkah kedua yang dilakukan adalah uji untuk membandingkan kadar glukosa
dalam hewan percobaan sebelum dan sesudah injeksi insulin. Disiapkan 2 ekor
tikus, dimana tikus 1 adalah tikus kontrol dan tikus 2 adalah tikus percobaan.
Pada tikus uji diinjeksikan alloxan sedangkan pada tikus kontrol diinjeksikan
saline. Alloxan merupakan suatu zat yang memiliki efek destruksi pada sel beta
pankreas, sehingga hal ini menyebabkan insulin yang dikeluarkan sel beta
pankreas menjadi lebih sedikit dan dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemi
pada tikus. Sedangkan saline yaitu suatu zat yang berfungsi atau menyerupai
dari cairan fisiologis tubuh tikus. Saline merupakan larutan steril dari NaCl
dalam air yang digunakan untuk infus intravena, mencuci contact lense
dan irigasi nasal. Pada manusia, jumlah infus saline normal tergantung dari
yang dibutuhkan oleh pasien, tetapi biasanya antara 1,5 dan 3 liter sehari
untuk orang dewasa. Konsentrasi lainnya sering digunakan untuk tujuan medis
lainnya seperti mensuplai air berlebih untuk pasien dehidrasi atau mensuplai garam
dan air setiap hari untuk pasien yang tidak bisa minum melalui mulut. Larutan
infus memiliki osmolalitas rendah sehingga bisa menyebabkan masalah, maka untuk
larutan intravena, saline biasanya ditambahkan dekstrosa (glukosa) untuk
menjaga agar osmolalitasnya aman selama persediaan NaCl berkurang. Karena berat
molekul glukosa lebih besar, sehingga saline ini memiliki osmolalitas seperti
saline normal walaupun kekurangan NaCl.
Setelah itu diambil 3 tetes darah dari kontrol dan dimasukkan ke dalam
tabung yang terpisah, masing-masing untuk hewan uji dan hewan kontrol. Setelah
itu kepada tiap-tiap tikus diinjeksikan
insulin dan kemudian dari tiap-tiap tikus diambil sampel darah melalui ekor dan
ditempatkan pada tabung yang terpisah. Kemudian ke dalam masing-masing tube
ditambahkan 5 tetes air deionisasi dan 5 tetes larutan barium hidroksida yang
berfungsi untuk menghilangkan protein yang terkandung di dalam darah. Perlakuan
sama ke dalam masing-masing tube ditambahkan heprin yang berfungsi sebagai
antikoagulan sehingga dapat mencegah terjadinya penggumpalan darah selama
pengujian. Kemudian larutan darah dicampurkan dan disentrifugasi. Sebelum penambahan color reagent dipastikan
endapan yang terbentuk dibuang. Tiap-tiap tube ditambahkan enzim color
reagent dan diinkubasikan. Setelah itu masing-masing cairan darah dari
tiap-tiap tube ke-1 sampai ke-4 dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer.
Kadar glukosa untuk masing-masing tube didapat ketika moveable ruler yang
timbul saat pembacaan cairan oleh spektrofotometer digeser sehingga garis ini
memotong garis pada kurva kalibrasi yang ada. Setelah ditemukan titik potong
antara kedua garis tersebut kemudian klik tombol record data dan data
yang dihasilkan dicatat.
Hasil percobaan secara dry lab menunjukkan kadar glukosa darah
tertinggi dimiliki oleh tikus yang hanya diberi saline dan alloxan, yaitu
129 mg/dL. Sedangkan jika tikus diberi insulin dan alloxan, maka kadar glukosa
darahnya adalah 97 mg/dL. Hal ini terjadi karena pemberian alloxan pada kedua
tikus tersebut akan merusak sel-sel beta pankreas pada tikus sehingga sel-sel
beta pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sama sekali, maka dapat
dikatakan kedua tikus tersebut telah mengalami diabetes tipe I (tidak adanya
insulin yang dapat menurunkan kadar glukosa darah). Pemberian insulin dari luar
pada tikus penderita diabetes akan menurunkan kadar glukosa darah tikus,
sedangkan pemberian saline pada tikus penderita diabetes tidak akan memberikan
efek pada glukosa darah tikus.
Tikus normal yang hanya diberi saline; dan tikus normal yang diberi
insulin dan saline akan menunjukkan kadar glukosa darah yang sama, yaitu 87
mg/dL. Hal ini terjadi karena tikus yang tidak diberi alloxan tidak mengalami
diabetes tipe I sehingga sel-sel beta pankreas pada tikus dapat menghasilkan
insulin yang dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus secara alami. Pemberian
insulin dari luar tidak akan berpengaruh pada kadar glukosa darah tikus normal
karena pada tikus normal sistem keseimbangan glukosa darah masih dalam kondisi
baik, sehingga tidak akan mengalami hiperglikemia (karena ada insulin yang
dapat menurunkan kadar glukosa darah) dan tidak akan mengalami hipoglikemia
(karena ada hormon glukagon yang dapat menaikkan kadar glukosa darah).
Tube
|
Optical Density
|
Glucose (mg/dL)
|
Insulin
|
Salin
|
Aloxan
|
1
|
0
|
86
|
|||
2
|
0
|
129
|
-
|
-
|
ü
|
3
|
0
|
87
|
ü
|
ü
|
-
|
4
|
0
|
97
|
ü
|
-
|
ü
|
B.
Wet lab
Pada prosedur kali ini kami melakukan uji coba terhadap 2 kelompok mencit
uji. Mencit yang pertama yaitu mencit kontrol, mencit kontrol negatif ini
diberikan larutan PGA 2%, sedangkan mencit uji yang kedua adalah mencit uji
yang diberikan larutan Glibensilamid sebagai antidiabetes dengan dosis 2,6 mg/kg
BB. Larutan PGA2% dijadikan sebagai larutan kontrol negatif karena larutan ini tidak memberikan efek
farmakologis terhadap hewan percobaan, sedangkan larutan Glibensilamid memberikan efek farmakologis, yaitu
dengan menurunkan kadar gula darah pada hewan percobaan. Dalam percobaan kali
ini, mencit tidak dibuat menjadi diabetes, tetapi hanya dinaikkan saja kadar
gula darahnya dengan memberikan larutan glukosa sebanyak 1g/kg BB. Artinya, percobaan ini hanya
dilakukan untuk mengetahui seberapa efektif larutan uji Glibensilamid dalam
menurunkan kadar gula darah pada hewan percobaan. Pertama-tama kedua kelompok
mencit diberi perlakuan yang sama, yaitu ditimbang. Penimbangan
dilakukan untuk mengetahui berapa banyak larutan uji dan kontrol diberikan kepada mencit sehingga
efek yang dihasilkan bisa
dianggap sama pada kedua mencit.
Setelah ditimbang, kelompok
kontrol diberi PGA 2% dan kelompok uji diberi glibensilamid sebagai obat
hipoglikemia. Hewan uji kemudian diukur kadar glukosa normalnya (t=0).
Pengukuran kadar glukosa normal dapat dilakukan setelah pemberian obat karena
obat hipoglikemia ini tidak mempengaruhi kadar glukosa normal dalam darah,
tetapi bekerja saat kadar glukosa darah tinggi. Pengukuran kadar gula
darah normal dilakukan dengan cara meletakkan
mencit pada alat yang memungkinkan pengambilan darah melalui ekor dengan mudah,
yaitu tanpa adanya perlawanan dari mencit. Bagian ekor mencit diiris dengan pisau cutter, kemudian
darah yang keluar diteteskan
ke dalam glucose test strips. Darah
diambil pada bagian ekor tujuannya yaitu agar lebih mudah membuat luka tanpa
terlalu menyakiti hewan percobaan. Di
samping itu, akan lebih mudah membuat beberapa luka, karena darahnya diambil
dalam rentang waktu tertentu. Alat ini
akan mengidentifikasi nilai glukosa darah hewan percobaan dalam mg per
desiliter. Kadar gula darah normal ini selanjutnya akan dijadikan pembanding
terhadap kadar gula darah yang akan diukur setelah pemberian glukosa.
Setelah
pengukuran kadar gula darah normal dilakukan, kemudian masing-masing mencit diberikan larutan glukosa 1g / kg BB. Larutan glukosa
diberikan setelah 30 menit, tujuannya yaitu agar obat yang diberikan sudah
terabsorpsi ke dalam tubuh mencit. Pengukuran
kadar gula darah dilakukan yaitu pada t=15, t=30 dan t=60 setelah pemberian larutan glukosa. Prosedur yang dilakukan pun sama dengan
pengukuran kadar gula darah normal sebelumnya. Kemudian data yang didapat
dicatat pada tabel pengamatan untuk kemudian dievaluasi.. Artinya didapatkan 4 data kadar gula darah pada
masing-masing mencit, yaitu t=0, t=30,
t=45, dan t=60. Rata-rata nilai kadar gula darah pada mencit kontrol negatif
pada t=0 yaitu 122 mg/dL, t=30
127,3 mg/dL , pada t=45 153,3 mg/dL ,dan pada t=60
150,3 mg/dL. Sedangkan rata-rata nilai kadar gula darah pada mencit uji
pada t=0 yaitu 142 mg/dL ,
pada t=30 141 mg/dL , pada t=45 151,5 mg/dL , dan pada t=60 161,5 mg/dL.
Dari data tersebut terlihat bahwa mencit uji yang diberikan larutan
Glibensilamid menghasilkan penurunan kadar gula darah mulai t=0 sampai t=30 namun naik kembali pada t=45 sampai t=60. Sedangkan pada mencit
kontrol kadar gula darahnya hanya mengalami penurunan pada t=60, sedangkan dari t=0 sampai t=45 mengalami kenaikan.
Hal ini disebabkan larutan Glibensilamid memberikan efek farmakologis berupa
stimulasi sel β-pankreas untuk menghasilkan insulin lebih banyak. Insulin yang
dihasilkan akan mengubah glukosa dalam darah menjadi bentuk nutrien dalam tubuh
berupa glikogen, yang selanjutnya glikogen ini bias dimanfaatkan lagi oleh
tubuh mencit jika kekurangan glukosa darah. Glikogen ini akan diubah kembali
menjadi glukosa oleh glukagon yang dihasilkan oleh sel α-pankreas.
Kedua mencit mengalami penurunan
kadar gula darah, hal ini bukan dikarenakan larutan PGA juga memberikan efek farmakologis,
tetapi karena mencit yang digunakan tidak mengidap diabetes, sehingga pada
penambahan larutan glukosa pun kedua mencit sebenarnya mampu menghasilkan
insulin dan mengubah glukosa berlebih tersebut menjadi glikogen. Namun sangat
sulit untuk dapat membandingkan dari kedua hasil tersebut karena data yang
didapat tidak sesuai dengan yang seharusnya. Kemungkinan jika pengukuran terus
dilakukan, kadar gula darahnya akan meningkat lagi sampai mencapai kadar gula
darah normal. Pada kedua kelompok
mencit percobaan ini, sel-sel pankreasnya tidak rusak, ataupun tidak resisten.
Maka, insulin maupun glukagon masih bisa dihasilkan untuk menyeimbangkan kadar
gula darah dalam tubuh mencit.
Hasil analisis varian menunjukkan bahwa ada
pengaruh pemberian obat sebagai penurun kadar glukosa darah sehingga tidak
perlu dilakukan uji perbandingan pengaruh karena H0 ditolak, dan
student test tidak dapat dilakukan.
Pada grafik kadar gula darah hasil praktikum, pada
pemberian kontrol negatif atau PGA 2% tidak terjadi penurunan kadar gula darah
yang signifikan. Pada
pemberian glibensilamid, tidak terjadi penurunan kadar gula darah
sehingga glinbensilamid tidak menunjukkan bahwa zat uji tersebut mampu menurunkan kadar gula darah.
VII. KESIMPULAN
Glinbensilamid tidak menunjukkan
bahwa obat tersebut mmemiliki
aktivitas untuk menurunkan kadar gula darah. Karena pada grafik terlihat
letaknya lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol
DAFTAR PUSTAKA
Adam, J.M.F. 2000.
Klasifikasi dan kriteria diagnosis diabetes melitus yang baru. Cermin Dunia Kedokteran No. 127.
Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Informatorium
Obat Nasional Indonesia. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical
Care untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Dirktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik. Jakarta.
Galacia, E. H., A. A. Contreras, L. A. Santamaria,
R. R. Ramos, A. A. C. Miranda, L. M. G. Vega, J. L. F. Saenz, F. J. A.
Aguilar.2002. Studies on hypoglycemic activity of mexican medicinal plants. Proc.
West. Pharmacol. Soc. 45: 118-124
Herman, F. 1993. Penggunaan obat hipoglikemik
oral pada penderita diabetes melitus. Pharos Bulletin No.1.
Jones, D.B. and
Gill, G.V. 1998. Insulin-Dependent Diabetes Mellitus : An Overview . In
J. Pickup and G. Williams (Eds): Textbook of Diabetes. Vol.1. second Edition.
Blackwell Science. United Kingdom.
Katzung, G.
Bertram. 2002. Farmakologi : Dasar dan Klinik. Buku 2. Penerbit Salemba
Medika. Jakarta.
Kee, J.L. dan
Hayes E. R. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Alih
Bahasa : Dr. Peter Anugrah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta .
Neal, M. J.
2006. At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Penerbit Erlangga.
Jakarta.
Reinauer,
H., P. D. Home, A. S. Kanagasabapathy, C. C. Heuck. 2002. Laboratory
Diagnosis and Monitoring of Diabetes Mellitus. World Health Organization.
Geneva.
Soegondo, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes melitus tipe 2. Editor Aru W.
Sudoyo et al. Jilid ke-3. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Studiawan. H., M. H. Santosa. 2005. Uji aktivitas penurun kadar glukosa darah
ekstrak daun Eugenia polyantha
pada mencit yang diinduksi aloksan. Media
Kedokteran Hewan 21(2):62-65
Sukandar, E. Y.,
J. I. Sigit, I. K. Adnyana, A. A. P. Setiadi, Kusnandar. 2008. ISO Farmakoterapi. Penerbit PT. ISFI
Penerbitan. Jakarta.
Tjokroprawiro, A.
1998. Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Diabetes. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta .
Tunbridge, W. M. and
Home, P.D. 1991. Diabetes and Endocrinology: In Clinical Practice.
Edward Arnold a Division of
Hadder and Stoughton. Great Britain, London.