Laporan Praktikum Pengujian antikonvulsi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Prinsip percobaan
1. zat
konvulsi yang di suntikan secara i.p kepada mencit dapat menginduksi adanya
konvulsi
2. obat
antikonvulsan digunakan untuk melawan kritis konvulsi yang timbul
pada hewan tersebut dan dapat menghambat kematian yang di timbulkan
1.2. Tujuan percobaan
1. diharapkan mahasiswa dapat
memahami akibat yang ditimbulkan karena srimulasi yang berlebihan pada sistem
saraf
2. mahasiswa dapat memahami
kerja obat antikolvulsai dan dapat memahami cara mengatasi konvulsi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kejang
Kejang merupakan
respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak. Secara pasti, apa yang
terjadi selama kejang tergantung kepada bagian otak yang memiliki muatan
listrik abnormal. Jika hanya melibatkan daerah yang sempit, maka penderita
hanya merasakan bau atau rasa yang aneh. Jika melibatkan daerah yang luas, maka
akan terjadi sentakan dan kejang otot di seluruh tubuh. Penderita juga bisa
merasakan perubahan kesadaran, kehilangan kesadaran, kehilangan pengendalian
otot atau kandung kemih dan menjadi linglung. (Medicastore, 2008)
Konvulsi adalah
gerak otot klonik atau tonik yang involuntar. Konvulsi dapat timbul karena
anoksia serebri, intoksikasi sereberi hysteria, atau berbagai manifestasi
epilepsi. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi
namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan
oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan. (Mardjono, 1988)
Kejang yang timbul
sekali, belum boleh dianggap sebagai epilepsi. Timbulnya parestesia yang
mendadak, belum boleh dianggap sebagai manifetasi epileptic. Tetapi suatu
manifestasi motorik dan sensorik ataupun sensomotorik ataupun yang timbulnya
secara tiba-tiba dan berkala adalah epilepsi. (Mardjono, 1988)
Bangkitan epilepsi
merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan letupan listrik atau
depolarisasi abnormal yang eksesif, terjadi di suatu focus dalam otak yang
menyebabkan bangkitan paroksismal. Fokus ini merupakan neuron epileptic yang
sensitif terhadap rangsang disebut neuron epileptic. Neuron inilah yang menjadi
sumber bangkitan epilepsi. (Utama dan Gan, 2007)
Pada dasarnya,
epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
1. Bangkitan
umum primer (epilepsi umum)
· Bangkitan
tonik-konik (epilepsi grand mall)
· Bangkitan
lena (epilepsi petit mal atau absences)
· Bangkitan
lena yang tidak khas (atypical absences, bangkitan tonik, bangkitan klonik,
bangkitan infantile
2. Bangkitan
pasrsial atau fokal atau lokal (epilepsy parsial atau fokal)
· Bangkitan
parsial sederhana
· bangkitan
parsial kompleks
· Bangkitan
parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
3. Bangkitan
lain-lain (tidak termasuk golongan I atau II)
(Utama dan Gan,
2007)
Mekanisme dasar
terjadinya bangkitan umum primer adalah karena adanya cetusan listrik di fokal
korteks. Cetusan listrik tersebut akan melampaui ambang inhibisi neuron
disekitarnya., kemudian menyebar melalui hubungan sinaps kortiko-kortikal.
Kemudian, cetusan korteks tersebut menyebar ke korteks kontralateral melalui
jalur hemisfer dan jalur nukleus subkorteks. Timbul gejala klinis, tergantung
bagian otak yang tereksitasi. Aktivitas subkorteks akan diteruskan kembali ke
focus korteks asalnya sehingga akan meningkatkan aktivitas eksitasi dan terjadi
penyebaran cetusan listrik ke neuron-neuron spinal melalui jalur kortikospinal
dan retikulospinal sehingga menyebabkan kejang tonik-klonik umum. Setelah itu
terjadi diensefalon. (Utama dan Gan, 2007)
Sedangkan mekanisme
dasar terjadinya bangkitan parsial meliputi eua fase, yakni fase inisiasi dan
fase propagasi. Fase inisiasi terdiri atas letupan potensial aksi frekuensi
tinggi yang melibatkan peranan kanal ion Ca++ dan Na+ serta
hiperpolarisasi/hipersinkronisasi yang dimediasi oleh reseptor GABA atau ion
K+. Fase propagasi terjadi peningkatan K+ intrasel (yang mendepolarisasi neuron
di sekitarnya), akumulasi Ca++ pada ujung akhir pre sinaps (meningkatkan
pelepasan neurotransmitter), serta menginduksi reseptor eksitasi NMDA dan
meningkatkan ion Ca++ sehingga tidak terjadi inhibisi oleh neuron-neuron di
sekitarnya. Kemudian akan dilanjutkan dengan penyebaran dari korteks hingga
spinal, sehingga dapat menyebabkan epilepsy umum/epilepsy sekunder. (Utama dan
Gan, 2007)
B. Striknin
Striknin tidak
bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk menjelaskan fisiologi dan farmakologi
susunan saraf, obat ini menduduki tempat utama diantara obat yang bekerja
secara sentral. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Striknin bekerja
dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmiter penghambatan
yaitu glisin di daerah penghambatan pascasinaps, dimana glisin juga bertindak
sebagai transmiter penghambat pascasinaps yang terletak pada pusat yanng lebih
tinggi di SSP. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Striknin
menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini merupakan obat
konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba konvulsi ini
berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak. Gambaran konvulsi
oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang merangsang langsung
neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi ekstensor
yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran,
penglihatan dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi pada hewan yang
hanya mempunyai medula spinalis. Striknin ternyata juga merangsang medula
spinalis secara langsung. Atas dasar ini efek striknin dianggap berdasarkan
kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut konvulsi spinal. (Louisa
dan Dewoto, 2007)
Medula oblongota
hanya dipengaruhi striknin pada dosis yang menimbulkan hipereksitabilitas
seluruh SSP. Striknin tidak langsung mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tetapi
bila terjadi konvulsi akan terjadi perubahan tekanan darah berdasarkan efek
sentral striknin pada pusat vasomotor. Bertambahnya tonus otot rangka juga
berdasarkan efek sentral striknin.pada hewan coba dan manusia tidak terbukti
adanya stimulasi saluran cerna. Striknin digunakan sebagai perangsanmg nafsu
makan secara irasional berdasarkan rasanya yang pahit. (Louisa dan Dewoto,
2007)
Striknin mudah
diserap dari saluran cerna dan tempat suntikan, segera meninggalkan sirkulasi
masuk ke jaringan. Kadar striknin di SSP tidak lebih daripada di jaringan lain.
Stirknin segera di metabolisme oleh enzim mikrosom sel hati dan Necel 4 diekskresi melalui urin. Ekskresi lengkap dalam waktu 10 jam, sebagian
dalam bentuk asal. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Gejala keracunan
striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka dan leher. Setiap
rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat. Pada stadium awal
terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi, akhirnya terjadi konvulsi
tetanik. Pada stadium ini badan berada dalam sikap hiperekstensi (opistotonus),
sehingga hanya occiput dan tumit saja yang menyentuh alas tidur. Semua otot
lurik dalam keadaan kontraksi penuh. Napas terhenti karena kontraksi otot
diafragma, dada dan perut. Episode kejang ini terjadi berulang; frekuensi dan
hebatnya kejang bertambah dengan adanya perangsangan sensorik. Kontraksi otot
ini menimbulkan nyeri hebat, dan pesien takut mati dalam serangan berikutnya.
Kematian biasanya disebabkan oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat
gangguan napas. Kombinasi dari adanya gangguan napas dan kontraksi otot yang
hebat dapat menimbulkan asidosis respirasi maupun asidosis metabolik hebat;
yang terakhir ini mungkin akibat adanya peningkatan kadar laktat dalam plasma.
(Louisa dan Dewoto, 2007)
Obat yang penting
untuk mengatasi hal ini ialah diazepam 10 mg IV, sebab diazepam dapat melawan
kejang tanpa menimbulkan potensial terhadap depresi post ictal, seperti yang
umum terjadi pada penggunaan barbiturat atau obat penekan ssp non-selektif
lain. Kadang-kadang diperlukan tindakan anastesia atau pemberian obat
penghambat neuromuskular pada keracunan yang hebat. (Louisa dan Dewoto, 2007)
Pengobatan keracunan striknin ialah
mencegah terjadinya kejang dan membantu pernapasan. Intubasi pernapasan
endotrakeal berguna untuk memperbaiki pernapasan. Dapat pula diberikan obat
golongan kurariform untuk mengurangi derajat kontraksi otot. Bilas lambung
dikerjakan bila diduga masih ada striknin dalam lambung yang belum diserap.
Untuk bilas lambung digunakan larutan KMnO4 0,5 ‰ atau campuran yodium tingtur
dan air (1:250) atau larutan asam tanat. Pada perawatan ini harus dihindarkan
adanya rangsangan sensorik. (Louisa dan Dewoto, 2007)
C. Pentetrazol
Pentetrazol adalah obat yang dipakai
sebagai stimulan peredaran darah dan pernafasan. Dosis tinggi menyebabkan
kejang, seperti yang ditemukan oleh ahli saraf Hungaria-Amerika dan psikiater
Ladislas J. Meduna tahun 1934. Telah digunakan dalam terapi kejang, tetapi
tidak pernah dianggap efektif, dan efek samping seperti kejang yang sulit untuk
dihindari.
Pentetrazol dianggap sebagai antagonis
GABA. Mekanisme aksi epileptogenik dari pentetrazol pada tingkat saraf seluler
masih belum jelas. Studi elektrofisiologi telah menunjukkan ia bertindak pada
tingkat membran sel mengurangi waktu pemulihan antara potensial aksi dengan
meningkatkan permeabilitas kalium dari akson. Studi-studi lain telah menggejala
peningkatan arus membran beberapa ion lainnya, seperti natrium dan kalsium,
yang menyebabkan peningkatan secara keseluruhan dalam rangsangan membran
neuron.
Pentetrazol telah digunakan secara
eksperimental untuk mempelajari fenomena penyitaan dan untuk mengidentifikasi
obat-obatan yang dapat mengontrol kerentanan kejang. Pentetrazol juga merupakan
obat anxiogenic prototipikal dan telah banyak digunakan pada model binatang
kecemasan. Pentetrazol menghasilkan stimulus diskriminatif handal yang sebagian
besar dimediasi oleh reseptor GABA.
Baru-baru ini, peneliti dari Universitas
Stanford telah memperbaharui minat Pentetrazol sebagai calon pengobatan
farmakologis sindrom Down. Diterbitkan dalam edisi April 2007 Nature
Neuroscience, komunikasi singkat mereka diuraikan percobaan yang dirancang
untuk menguji teori yang mendasari diusulkan untuk menjelaskan kemanjuran yang
diklaim sebagai GABA antagonis dalam memulihkan defisit memori deklaratif
terkait dengan model tikus Down Syndrome manusia. Ts65Dn tikus yang disuntik
dengan 2 minggu resimen salah satu dari dua senyawa picrotoxin atau bilobalide
(keduanya antagonis GABA) menunjukkan perbaikan yang ditandai di kedua
eksplorasi dan pengakuan benda baru atas kontrol disuntik dengan hanya garam.
Hasil ini digandakan dalam percobaan kedua dengan tikus yang diberi susu baik
polos atau kombinasi susu dan dosis non-epileptogenik pentetrazol setiap hari
selama 17 hari. Tikus pentetrazol-makan mencapai skor tugas objek baru
sebanding dengan tikus wild type (normal). Perbaikan ini berlangsung setidaknya
1 sampai 2 bulan setelah resimen pengobatan. Tidak mengherankan khasiat senyawa
'disertai dengan normalisasi potensiasi jangka panjang dalam dentate gyrus satu
bulan setelah akhir pengobatan, lanjut menunjukkan perbaikan obat dimediasi
gigih dalam belajar dan memori.
BAB III
METODE PERCOBAAN
3.1 Alat yang digunakan :
1. Timbangan
mencit
2. Alat
suntik
3. Sonde
oral
3.2 Bahan yang digunakan
1. Pentetrazol
larutan 0,75%
2. Fenitoin
100 mg
3. Na
CMC
4. Luminal
3.3 Prosedur
1. Hewan
ditimbang dan dikelompokan menjadi 4 kelompok, kelompok kontrol diberi pembawa
( Na CMC ), kelompok pembanding diberi obat fenitoin 100mg, kelompok uji 1
diberi luminal 30mg dan kelompok uji 2 di beri luminal 100mg
2. Semua
kelompok diberi obat secara peroral catat waktu pemberian obat.
3. Setelah
30 menit hewan diberi zat penginduksi, konvulsi yaitu pentetrazol
4. Segera
setelah pemberian zat penginduksi di catat waktu timbulnya konvulsi, rentang
waktu timbulnya konvulsi, dan lamnya konvulsi yang terjadi, juga waktu
terjadinya kematian hewan percobaan.
5. Data
yang diperoleh ditabulasi dan di analisis secara statistik dengan menggunakan,
analisis fariansi dan kebermaknaan antara kelompok kontrol dan kelompok uji
dianalisis dengan student test
6. Buat
grafik hasil percobaan
7. Bahas
hasil percobaan anda.
BAB IV
HASIL PERCOBAAN
TABEL HASIL PENGAMATAN DATA KELAS
KELOMPOK
UJI KONTROL
|
|||||||||
No Mencit
|
Bobot Badan (g)
|
Onset (s)
|
Durasi (s)
|
Frekuensi
|
Keterangan
|
||||
Kejang
|
|||||||||
1
|
31
|
180
|
0
|
0
|
Kejang, Mati
|
||||
2
|
27
|
94
|
60
|
9
|
Kejang, Mati
|
||||
3
|
23
|
232
|
163
|
5
|
Kejang, Mati
|
||||
4
|
23
|
10
|
33
|
1
|
Kejang, Mati
|
||||
5
|
26
|
339
|
1291
|
141
|
Kejang, Sehat
|
||||
6
|
26
|
115.6
|
375
|
1
|
Kejang, Mati
|
||||
7
|
21
|
562
|
23
|
1
|
Kejang, Mati
|
||||
8
|
27
|
80
|
650
|
37
|
Kejang, Mati
|
||||
Rata-rata
|
201.575
|
324.375
|
24.375
|
||||||
KELOMPOK
UJI PEMBANDING FENITOIN 100MG/DOSIS MANUSIA
|
|||||||||
No Mencit
|
Bobot Badan (g)
|
Onset (s)
|
Durasi (s)
|
Frekuensi
|
Keterangan
|
||||
Kejang
|
|||||||||
1
|
27
|
360
|
500
|
7
|
Kejang, Hidup
|
||||
2
|
26
|
96
|
3602
|
64
|
Kejang, Sehat
|
||||
3
|
24
|
440
|
733
|
8
|
Kejang, Sehat
|
||||
4
|
27
|
120
|
600
|
2
|
Kejang, Mati
|
||||
5
|
30
|
520
|
896
|
269
|
Kejang, Sehat
|
||||
6
|
26
|
109.5
|
792.5
|
7
|
Kejang, Mati
|
||||
7
|
26
|
472
|
746
|
26
|
Kejang, Sehat
|
||||
8
|
18
|
90
|
945
|
27
|
Kejang, Hidup
|
||||
Rata-rata
|
275.9375
|
1101.8125
|
51.25
|
||||||
KELOMPOK
UJI I LUMINAL 30MG/DOSIS MANUSIA
|
|||||||||
No Mencit
|
Bobot Badan (g)
|
Onset (s)
|
Durasi (s)
|
Frekuensi
|
Keterangan
|
||||
Kejang
|
|||||||||
1
|
27
|
600
|
960
|
13
|
Kejang, Hidup
|
||||
2
|
26
|
82
|
1400
|
57
|
Kejang, Sehat
|
||||
3
|
25
|
610
|
1020
|
15
|
Kejang, Sehat
|
||||
4
|
28
|
72
|
74
|
2
|
Kejang, Mati
|
||||
5
|
25
|
413
|
322
|
36
|
Kejang, Mati
|
||||
6
|
26
|
178.5
|
892.5
|
5
|
Kejang, Mati
|
||||
7
|
27
|
572
|
253
|
15
|
Kejang, Sehat
|
||||
8
|
25
|
930
|
1831
|
16
|
Kejang, Hidup
|
||||
Rata-rata
|
432.1875
|
844.0625
|
19.875
|
||||||
KELOMPOK
UJI II LUMINAL 100MG/DOSIS MANUSIA
|
|||||||||
No Mencit
|
Bobot Badan (g)
|
Onset (s)
|
Durasi (s)
|
Frekuensi
|
Keterangan
|
||||
Kejang
|
|||||||||
1
|
28
|
726
|
801
|
10
|
Kejang, Mati
|
||||
2
|
27
|
0
|
0
|
0
|
Kejang, Sehat
|
||||
3
|
28
|
742
|
818
|
11
|
Kejang, Sehat
|
||||
4
|
25
|
358
|
105
|
1
|
Kejang, Mati
|
||||
5
|
28
|
615
|
119
|
109
|
Kejang, Sehat
|
||||
6
|
21
|
945
|
1605
|
17
|
Kejang Hidup
|
||||
7
|
25
|
660
|
180
|
6
|
Kejang, Sehat
|
||||
8
|
29
|
0
|
0
|
0
|
Kejang, Hidup
|
||||
Rata-rata
|
505.75
|
453.5
|
19.25
|
||||||
BAB V
PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan pengamatan efektifitas obat antikonvulsi
terhadap rangsangan konvulsi yang diberikan. Obat yang di uji adalah
Fenobarbital/Luminal dalam dua dosis yang berbeda yaitu 30 mg dan 100 mg.
Sebagai pembandingnya digunakan Fenitoin 100 mg.
Hasil dari percobaan ini didapatkan bahwa pembanding memiliki onset kejang yang
lebih rendah dari pada obat uji dengan dosis yang sama, tetapi memiliki durasi
kejang yang lebih panjang.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan mekanisme dan durasi kerja dari masing-masing
obat yang bersangkutan. Fenitoin memiliki efek stabilisasi pada membran karena
blokade kanal Na+. Fenitoin memiliki indeks terapi yang sempit,
konsentrasi terapeutiknya dalam plasma darah adalah 5-20 µg/mL, konsentrasi
maksimal dalam plasma setelah 3-12 jam, diabsorbsi lambat setelah pemberian
oral sebanyak 70-90%, ikatan obat-protein plasma sekitar 90%. Karena obat ini
termasuk obat kerja cepat, onset kejangnyapun lebih singkat dari obat uji yang
merupakan obat kerja panjang. Pada hasil percobaan, obat ini dapat memberikan
efek yang lebih cepat tetapi tidak bertahan lama.
Fenobarbital/Luminal memiliki mekanisme kerja meningkatkan efek penghambatan
GABA dengan cara berikatan pada kompleks reseptor GABA-kanal klorida.
Konsentrasi plasma terapeutik Luminal adalah 10-40 µg/mL, konsentrasi plasma
maksimal setelah 6-18 jam. Lebih dari 80% obat diabsorpsi lambat setelah
pemberian oral. Ikatan obat dengan protein plasma sekitar 50-60%. Obat ini dapat
memberikan efek antikonvulsi yang lebih panjang karena sifatnya yang bertahan
lebih lama dalam sirkulasi.
Luminal dengan dosis oral 30 mg tidak berfungsi sebagai antikonvulsi, karena
dosis yang memberikan efek antikonvulsi adalah 60-180 mg, dengan dosis awal 100
mg.
Dosis awal Fenitoin adalah 150-300 mg, dengan dosis pemeliharaan 100 mg setelah
6-8 jam. Diperlukan dosis pemeliharaan karena sifatnya yang bekerja cepat,
sehingga perlu tambahan dosis untuk menjaga konsentrasi tetapnya dalam plasma.
Dosis fenitoin yang diberikan dalam percobaan kurang tepat sehingga hasil
percobaan menunjukkan fenitoin memberikan hambatan konvulsiv yang jauh lebih
rendah dari fenobarbital.
Pentetrazon (Pentylenetetrazol) adalah suatu stimulansia yang dalam dosis
tinggi dapat menyebabkan kejang, obat ini dalam percobaan antikonvulsi
digunakan sebagai penginduksi kejang, ia memiliki mekanisme sebagai antagonis
GABA.
Kelompok lain, melakukan induksi kejang terhadap hewan percobaan dengan
Strichnin. Hasil yang diberikan yaitu; Strichnin memberikan efek kejang yang
lebih ringan terhadap hewan percobaan dari pada Pentetrazol, hal ini mungkin
disebabkan oleh mekanisme Strichnin yang hanya menyebabkan kejang otot berbeda
dengan Pentetrazol yang bersifat menghambat GABA secara langsung (suatu
neurotransmitter yang terdapat pada otak) atau mungkin juga karena perbedaan
dosis yang diberikan.
BAB VI
KESIMPULAN
Dari percobaan ini dapat disimpulkan
bahwa :
- Obat
antikonvulsi adalah obat-obat yang dapat menyebabkan penghambatan terhadap
kejang.
- Mekanisme
dan durasi kerja obat antikonvulsi berbeda-beda.
- Perbedaan
mekanisme dan durasi kerja obat antikonvulsi harus diperhatikan untuk tujuan
pengobatan terhadap jenis kejang/epilepsi yang berbeda, juga berguna untuk
penentuan dosis pemakaian obat.
DAFTAR PUSTAKA
Katzung, BG. 1997. Farmakologi Dasar
dan Klinik, edisi 6. EGC : Jakarta, hal. 354-356
Louisa M & Dewoto HR . 2007. Perangsangan
Susunan Saraf Pusat . Dalam : Farmakologi dan Terapi, edisi
5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia : Jakarta, hal. 247-248
Mardjono, M. 1988. Neurologi Klinis
Dasar. Dian Rakyat : Jakarta, hal. 439-441; 444
Medicastore. 2008. Kejang. Apotek
Online dan Media Informasi Obat Penyakit. (online),
(http://www.medicastore.com, diakses 4 Mei 2008)
Mycek, MJ dkk. 2001. Farmakologi
Ulasan Bergambar. Widya Medika : Jakarta, hal. 90; 149
Utama H. & Gan. V . 2007. Antiepilepsi dan
Antikonvulsi . Dalam : Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta,
hal. 179-181; 186; 188
Farmakologi dan toksikologi Oleh Gery Schmitz, Hans Lepper
& Michael Heidrich, EGC.
At a Glance Farmakologi Medis, Erlangga.
Farmakologi Oleh Joyce L. Kee, Evelyn R. Hayes, EGC
http://medicatherapy.com/index.php/content/printversion/138
http://medicatherapy.com/index.php/content/printversion/140
LAMPIRAN
Pertanyaan
1. Mengapa
diazepam masih dipilih sebagai obat antikonvulsi?
Jawab :
Walaupun diazepam memiliki efek samping
yang sangat berat dan termasuk kedalam obat psikotropika, namun diazepam masih
digunakan dalam pengobatan antikonvulsan. Diazepam untuk terapi konvulsi
rekuren, miksalnya status epileptikus. Obat ini juga bermanfaat untuk terapi
bangkitan parsial sederhana misalnya bangkitan klonik fokal dan hipsaritmiayang refrrakter terhadap terapi lazim. Diazepam efektif pada bangkitan lena
karena menekan 3 gelombang paku dan ombak yang terjadi dalam satu detik. Sangat penting untuk digunakan dalam
menanggulangi kegawatdaruratan pada kejang eklamptik. Mempunyai waktu paruh
yang pendek dan efek depresi SSP yang signifikan. Diazepam dapat
melawan kejang tanpa menimbulkan potensial terhadap depresi post ictal, seperti
yang umum terjadi pada penggunaan barbiturat atau obat penekan ssp non-selektif
lain
2. Selain
diazepam adakah obat lain yang dapat digunakan sebagai anti konvulsan?
Jawab:
Selain diazepam masih ada golongan obat
lain yang masih dapat digunakan sebagai obat antikonvulsan dan memiliki efek
samping yang lebih rendah dibandingkan diazepam.
a. Golongan
Hidantoin
Fenitoin (Difenilhidatoin), mefinitoin
dan etotoin dengan fenotoin sebagai prototype.
Fenitoin adalah obat utama
untuk hampir semua jenis epilepsy, kecuali bangkitan lena. Adanya gugus
fenil atau aromatic lainnya pada atom C penting untuk efek pengendalian
bangkitan tonik-klonik, sedangkan gugus alkilbertalian dengan efek sedasi,
sifat yang terdapat pada mefenitoin dan barbiturat, tetapi tidak pada fenitoin.
Adanya gugus metal pada atom N akan mengubah spectrum aktivitas
misalnyamefenitoin, dan hasil N dimetilisasi oleh enzim mikrosom hati menghasilkan
metabolit tidak aktif.
Fenitoin berefek antikonvulsi tanpa
menyebabkan depresi umum SSP.Dosis toksik menyebabkan eksitasi dan dosis letal
menimbulkan rigditas deserebrasi.Sifat antikonvulsi fenitoin didasarkan
pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagianlain otak. Efek
stabilitasi membran sel oleh fenitoin juga terlihat pada saraf tepi dan membran
sellainnya yang juga mudah terpacu misalnya sel sistem konduksi jantung.
Fenitoin mempengaruhiperpindahan ion melintasi membran sel, dalam hal ini
khususnya dengan menggiatkan pompano +neuron.
b. Golongan
Barbiturat
Disamping sebagai hipnotik-sedatif,
golongan barbiturate efektif sebagai obat antikonvulsidan yang biasa digunakan
adalah barbiturate kerja lama (long acting barbiturates). Disini dibicarakan
efek antiepilepsi prototip barbiturate yaitu fenobarbital dan pirimidon yang
strukturkimia nya mirip dengan barbiturate.Sebagai antiepilepsi fenobarbital
menekan letupan di fokus epilepsy. Barbiturat menghambattahap akhir oksidasi
mitokondria,sehingga mengurangi pembentukan fosfat berenergi tinggi.Senyawa
fosfat ini perlu untuk sintesis neurotransmitor misalnya Ach, dan untuk
repolarisasimembrane sel neuron setelah depolarisasi.
FENOBARBITAL
Fenobarbital, asam 5,5-fenil-etil
barbiturate, merupakan senyawa organik pertama yangdigunakan dalam pengobatan
antikonvulsi. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan
ambang rangsang. Dosis efektifnya relatif rendah. Efek sedatif, dalam hal ini
dianggap sebagai efek samping, dapat diatasi dengan pemberian stimulan sentral
tanpa mengurangi efek antikonvulsinya.Dosis dewasa yang biasa digunakan ialah
dua kali 100mg sehari. Untuk mengendalikan epilepsy disarankan kadar plasma
optimal. Berkisar antara 10-40µg/ml. Kadar plasma diatas40µg/ml sering disertai
gejala toksik yang nyata. Penghentian pemberian fenobarbital harussecara
bertahap guna mencegah kemungkinan meningkatnya frekuensi bangkitan kembali,
ataumalahan bangkitan status epileptikus.Interaksi fenobarbital dengan obat
lain umumnya terjadi karena frnobrbital meningkatkanaktivitas enzim mikrosom
hati. Kombinasi dengan asam valproat akan menyebabkan kadarfenobarbital
meningkat 40%.
c. Golongan
Oksazolidindion
TRIMETADION
Trimetadion ( 3,5,5 trimetiloksazolidin
2,4,dion), sekalipun telah terdesak oleh suksinimid,merupakan prototip obat
bangkitan lena. Trimetadion juga bersifat analgetik dan hipnotik.
FARMAKODINAMIK. Pada SSP, trimetadion
memperkuat depresi pascatransmisi,sehingga transmisi impuls berurutan dihambat,
transmisi impuls satu per satu tidak terganggu.Trimetadion memulihkan EEG
abnormal pada bagkitan lena.
FARMAKOKINETIK.Trimetadion per oral
mudah di absorbsi dari saluran cerna dan didistribusi ke berbagai cairan badan.
Biotransformasi trimetadion terutama terjadi di hati dengan demetilasi yang
menghasilkan didion (5,5, dimetiloksazolidin ,2,4, dion ). Senyawa ini
masihaktif masih aktif terhadap bangkitan lena, tetapi efek antikonvulsi nya
lebih lemah.
INTOKSIKASI & EFEK
SAMPING.Intoksikasi dan efek samping trimetadion yangbersifat ringan berupa
sedasi hemeralopia, sedang yang bersifat lebih berat berupa gejala
padakulit,darah,ginjal dan hati. Gejala intoksikasi lebih sering ttimbul pada
pengobatan kronik.Sedasi berat dapat diatasi dengan amfetamin tanpa mengurangi
efek antiepilepsinya, bahkansesekali amfetamin dapat menekan bangkitan
lena.Efek samping pada kulit berupa rua morbiliform dan kelainan akneform,
lebih berat lagiberupa dermatitis eksfoliatif atau eritema multiformis.
Kelainan darah berupa neutropenia ringan,tetapi anemia aplastik dapat bersifat
fatal. Gangguan fungsi ginjal dan hati,berupa syndromenefrotik dan hepatitis,
dapat menyebabkan kematian.
INDIKASI. Indikasi utama trimetadion
ialah bangkitan lena murni (tidak disertai komponenbangkitan bentuk lain).
Trimetadion dapat menormalkan gambaran EEG dan meniadakankelainan EEG akibat
hiperventilasi maksimal pada 70% pasien. Bangkitan lena yang timbul padaanak
umumnya sembuh menjelang dewasa. Dalam kombinasi dengan trimetadion, efek
sedasifenobarbital dan primidon dapat memberat. Sebaiknya jangan dikombinasikan
denganmefenitoin, sebab gangguan pada darah dapat bertambah berat.Penghentian
terapi trimetadion harus secara bertahap karena bahaya eksaserbasi bangkitandalam
bentuk epileptikus, demikian pula obat lain yang terlebih dulu diberikan.
KONTRAINDIKASI. Trimetadion di
kontraindikasikan pada pasien anemia, leucopenia,penyakit hati, ginjal dan
kelainan n.opticus.
d. Golongan
Suksinimid
Antiepilepsi golongan suksinimid yang
digunakan di klinik adalah etosuksimid,metsuksmid dan fensuksimid. Berdasarkan
penelitian pada hewan, terungkap bahwaspectrum antikonvulsi etosuksimid sama
dengan trimetadion. Sifat yang menonjol darietosuksimid dan trimetadion adalah
mencegah bangkitan konvulsi pentilentetrazol.Etosuksimid, dengan sifat
antipentilentetrazol terkuat, merupakan obat yang paling selektif terhadap
bangkitan lena.
Etosuksimid. Etosuksimid di absorbs
lengkap melalui saluran cerna. Setelah dosis tunggal oral,diperlukan waktu
antara 1-7 jam untuk mencapai kadar puncak dalam plasma. Distribusimerata ke
segala jaringan, dan kadar cairan serebrospina saa dengan kadar plasma.
Efek samping yang sering timbul ialah mual, sakit kepala, kantuk dan ruam
kulit. Gejala yanglebih berat berupa agranulositosis dan pansitopenia.
Dibandingkan dengan trimetadion. etosuksimid lebih jarang menimbulkan
diskrasia darah, dan nefrotoksisitas belum pernahdilaporkan, sehingga
etosuksmid umumnya lebih disukai dari pada Trimetadion.Etosuksimid merupakan
obat terpilih untuk bangkitan lena. Terhadap bangkitan lena padaanak,
efektivitas etosuksimid sama dengan trimetadion, 50-70 % pasien dapat
dikendalikanbagkitannya. Obat ini juga efektif pada bangkitan mioklonik dan
bangkitan akinetik.Etosuksimid tidak efektif untuk bangkitan parsial kompleks
dan bangkitan tonik-klonik umum atau pasien kejang dengan kerusakan
organik otak yang berat.
Karbamazepin
Karbamazepin pertama-tama digunakan
untuk pengobatan trigeminal neuralgia,kemudian ternyata bahwa obat ini efektif
terhadap bangkitan tonik-klonik. Saat ini, karbamazepin merupakan antiepilepsi
utama di Amerika Serikat.Karbamazepin memperlihatkan efek analgesic selektif,
misalnya pada tabes dorsalis danneuropati lainnya yang sukar diatasi dengan
analgesik biasa. Atas perhitungan untung-rugikarbamazepin tidak dianjurkan
untuk nyeri ringan.Efek samping dari karbamazepin dalam pemberian obat jangka
lama ialah pusing,vertigo, ataksia, diplopia, dan penglihatan kabur. Frekuensi
baangkitan dapat meningkat akibat dosis berlebih. Karena potensinya untuk
menimbulkan efek samping sangat luas, makapada pengobatan dengan karbamazepin
dianjurkan pemeriksaan nilai basal dari darah danmelakukan pemeriksaan ulangan
selama pengobatan.Fenobarbital dan fenitoin dapat meningkatkan kadar
karbamazepin, dan biotransformasikarbamazepin dapat dihambat oleh eritromisin.
Konversi primidon menjadi fenobarbital ditingkatkan oleh karbamazepin,sedangkan
pemberian karbamazepin bersama asam valproat akan menurunkan kadar asam
valproat.
Asam Valproat
Asam valproat merupakan pilihan pertama
untuk terapi kejang parsial, kejang absens,kejang mioklonik, dan kejang
tonik-klonik. Asam valproat dapat meningkatkan GABAdengan menghambat degradasi
nya atau mengaktivasi sintesis GABA. Asam valproat jugaberpotensi terhadap
respon GABA post sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi
kanal kalium. Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari. Efek samping
yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk
mual,muntah,anorexia dan peningkatan berat badan. Efek samping lain yang
mungkin ditimbulkan adalah pusing, gangguan keseimbangan tubuh, tremor, dan
kebotakan. Asam valproat mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan. Efek
samping yang berat dari penggunaan asam valproat adalah hepatotoksik.
e. Antiepilepsi
Lain
FENASEMID
Fenasemid suatu derivat
asetilures,merupakan suatu analog dari 5 fenilhidantoin, tetapi tidak berbentuk
cincin, efeknya baik digunakan terhadap bangkitan tonik-klonik.
FARMAKIDINAMIK. Fenasemid memiliki
antikonvulsi yang berspektrum luas, mekanismekerja fenasemid ialah dengan
peningkatan ambang rangsang fokus serebral, sehinggahipereksitabilitas dan
letupan abnormal neuron sebagai akibat rangsang beruntun dapat ditekan.
INTOKSIKASI & EFEK SAMPING.
Fenasemid merupakan obat toksik, Efek sampingtesering ialah psikosis. Efek
samping yang mungkin fatal ialah nekrosis hati, anemia aplastik,dan
neutropenia.
INDIKASI. Fenasemid efektif terhadap
bangkitan tonik-klonik, bangkitan lena dan bangkitan parsial. Indikasi utama
fenasemid ialah untuk terapi bangkitan parsial kompleks .
DOSIS. Untuk orang dewasa ialah 1,5-5,0
g sehari, sedangkan untuk anak yang berumur antara5-10 tahun hasilnya sudah memuaskan
dengan ½ dosis orang dewasa. Fenasemid sampai saat inibelum di pasarkan di
Indonesia.
3. Menurut
ada mengapa dalam percobaan ini dipilih strichnin dan pentetrazol sebagai zat
penginduksi konvulsi ?
Jawab :
Strichnin digunakan untuk menjelaskan fisiologi dan
farmakologi susunan saraf, obat ini menduduki tempat utama diantara obat yang
bekerja secara sentral. Striknin mudah diserap dari saluran cerna dan tempat
suntikan, segera meninggalkan sirkulasi masuk ke jaringan. Kadar striknin di SSP
tidak lebih daripada di jaringan lain. Stirknin segera di metabolisme oleh
enzim mikrosom sel hati dan diekskresi melalui urin. Ekskresi lengkap dalam
waktu 10 jam, sebagian dalam bentuk asal. Strichnin bekerja dengan cara
mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmiter penghambatan yaitu glisin
di daerah penghambatan pascasinaps, dimana glisin juga bertindak sebagai
transmiter penghambat pascasinaps yang terletak pada pusat yanng lebih tinggi
di SSP.
Strichnin
menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini merupakan obat
konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba konvulsi ini
berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak. Gambaran konvulsi
oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang merangsang langsung
neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi ekstensor
yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran,
penglihatan dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi pada hewan yang
hanya mempunyai medula spinalis. Striknin ternyata juga merangsang medula
spinalis secara langsung. Atas dasar ini efek striknin dianggap berdasarkan
kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut konvulsi
spinal. Medula oblongota hanya dipengaruhi striknin pada dosis yang
menimbulkan hipereksitabilitas seluruh SSP. Striknin tidak langsung
mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tetapi bila terjadi konvulsi akan terjadi
perubahan tekanan darah berdasarkan efek sentral striknin pada pusat vasomotor.
Bertambahnya tonus otot rangka juga berdasarkan efek sentral striknin.pada
hewan coba dan manusia tidak terbukti adanya stimulasi saluran cerna. Striknin
digunakan sebagai perangsanmg nafsu makan secara irasional berdasarkan rasanya
yang pahit.
Gejala keracunan
striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka dan leher. Setiap
rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat. Pada stadium awal
terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi, akhirnya terjadi konvulsi
tetanik. Pada stadium ini badan berada dalam sikap hiperekstensi (opistotonus),
sehingga hanya occiput dan tumit saja yang menyentuh alas tidur. Semua otot
lurik dalam keadaan kontraksi penuh. Napas terhenti karena kontraksi otot
diafragma, dada dan perut. Episode kejang ini terjadi berulang; frekuensi dan
hebatnya kejang bertambah dengan adanya perangsangan sensorik. Kontraksi otot
ini menimbulkan nyeri hebat, dan pesien takut mati dalam serangan berikutnya.
Kematian biasanya disebabkan oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat
gangguan napas. Kombinasi dari adanya gangguan napas dan kontraksi otot yang
hebat dapat menimbulkan asidosis respirasi maupun asidosis metabolik hebat;
yang terakhir ini mungkin akibat adanya peningkatan kadar laktat dalam plasma.
Penthylenetetrazole
(PTZ). PTZ disebut pula pentamethylenetetrazole dan leptazol. PTZ
memilikinama kimia 6, 7, 8, 9-tetrahidro 5-H tetrazolo (1, 5-a) azepin yang
merupakan preparat stimulan SSP. C6H10N4 ini terdapat sebagai kristal berwarna
putih,digunakan terutama untuk melawan kerja depresan, dengan pemberian
peroral, intra vena dan sub cutan (Anonim, 1996 ).PTZ adalah bahan kimia
konvulsan sering digunakan dalam modeleksperimental untuk induksi kejang. PTZ
menimbulkan efek kejang denganmekanisme antagonis non-kompetitif GABAergik yang
tidak berinteraksi dengan reseptor GABA, tapi memblok GABA dengan cara
menghambat pemasukan ion Cl-. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
efek farmakologis dari PTZ adalah melalui interaksi dengan saluran ion
darireseptor GABAA. Pemberian suntikan PTZ secara intraperitoneal padatikus
dapat menyebabkan kejang tonik-klonik umum
4. Ada
berapa tipe kejangan yang anda kenal ? Jelaskan !
Jawab :
1) Kejang
Umum (generalized seizure)
Kejang umum terjadi jika aktivasi
pelepasan muatan listrik terjadi pd kedua hemisphere otak secara bersama-sama.
Epilepsi umum dibagi menjadi empat, yaitu :
a. EpilepsiGrand Mal / Epilepsi tonik klonik (GM)
Epilepsi grand mal merupakan bentuk
paling banyak terjadi, pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah,
kemudian keluar air liur, bisa terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit lidah.
Ini dapat berlangsung selama beberapa menit, kemudian diikuti lemah,
kebingungan, sakit kepala atau tidur. Epilepsi grand mal terdiri dari dua fase
yaitu :
- Fase
tonik : tubuh kaku sehingga terjatuh, kemudian diikuti fase klonik
- Fase
klonik : kejang tangan, kaki, rahang dan muka.
b. KejangPetit Mal / bangkitan lena (PM)
Ini merupakan jenis yang jarang, umumnya
hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja. Gejala dari epilepsy Petit
Mal, yaitu :
- Keadaan
termangu (pikiran kosong, kehilangan kesadaran dan respon sesaat)
- penderita
tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip,dengan kepala terkulai
kejadiannya cuma beberapa detik, dan bahkan sering tidak disadari
- Muka
pucat
- Pembicaraan
terpotong
- Mendadak
berhenti bergerak. pasien normal
Jenis ini biasanya terjadi pada pagi
hari, setelah bangun tidur. Pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba. Jenis
yang sama (tapi non-epileptik) bisa terjadi pada pasien normal.
Jenis ini jarang terjadi. Pasien
tiba-tiba kehilangan kekuatan. Otot jatuh, tapi bisa segera recovered.
2) Kejang
Parsial
Kejang parsial terjadi apabila pelepasan
muatan listrik hanya terjadi pada sebagian otak saja. Epilepsi parsial terbagi
menjadi dua, yaitu :
a. Simple
partial seizures / Kejang Parsial Sederhana (PS)
Pada jenis ini pasien tidak kehilangan
kesadaran, terjadi sentakan-sentakan pada bagian tertentu dari tubuh.
b. Complex
partial seizures / Kejang Parsial Kompleks (PK)
Pada jenis ini kesadaran pasien menurun,
pasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali seperti gerakan mengunyah,
meringis, dan yang lainnya tanpa kesadaran.
5. Syarat
apa yang harus dipenuhi bila suatu zat dapat digunakan sebagai antikonvulsan ?
Jawab:
Syarat yang harus dipenuhi bila suatu
zat dapat digunakan sebagai antikonvulsan, yaitu :
· Dapat
bekerja cepat, memiliki onset pada hewan percobaan dalam waktu lama.
· Dapat
menahan kejang dalam jangka waktu lama, hingga menyembuhkan.
· Dapat
mengurangi frekuensi kejang.
· Obat
yang digunakan monoterapi lebih baik karena mengurangi potensi, adverse effect,
meningkatkan kepatuhan pasien, tidak terbukti bahwa politerapi lebih baik dari
monoterapi.
· Harus
sesuai dengan jenis epilepsy yang dihambat.
· Memiliki
efek samping yang dapat dihindari.
· Memiliki
toksisitas yang dapat dihindari.
Perhitungan dosis
1. KontrolNa
CMC = 23/20 x 0,5mL = 0,575mL
Pentetrazole = 23/1000 x 70mg = 1,61mg
volume Pentetrazole 2,6mg/mL = 1,61mg : 2,6mg/mL = 0,619mL
Pentetrazole = 23/1000 x 70mg = 1,61mg
volume Pentetrazole 2,6mg/mL = 1,61mg : 2,6mg/mL = 0,619mL
2. Pembanding
(Fenitoin 100mg/dosis manusia)Fenitoin = 27/20 x (0,0026 x 100mg) = 0,351mg
volume Fenitoin 0,52mg/mL = 0,351mg : 0,52mg/mL = 0,675mL
Pentetrazole = 27/1000 x 70mg = 1,89mg
volume Pentetrazole 2,6mg/mL = 1,89mg : 2,6mg/mL = 0,726mL
volume Fenitoin 0,52mg/mL = 0,351mg : 0,52mg/mL = 0,675mL
Pentetrazole = 27/1000 x 70mg = 1,89mg
volume Pentetrazole 2,6mg/mL = 1,89mg : 2,6mg/mL = 0,726mL
3. Uji
I ( Luminal 30mg/dosis manusia)Luminal = 28/20 x (0,0026 x 30mg) = 0,1092mg
volume Luminal 0,52mg/mL = 0,1092mg : 0,52mg/mL = 0,21mL
Pentetrazole = 28/1000 x 70mg = 1,96mg
volume Pentetrazole 2,6mg/mL = 1,96mg : 2,6mg/mL = 0,754mL
volume Luminal 0,52mg/mL = 0,1092mg : 0,52mg/mL = 0,21mL
Pentetrazole = 28/1000 x 70mg = 1,96mg
volume Pentetrazole 2,6mg/mL = 1,96mg : 2,6mg/mL = 0,754mL
4. Uji
II (Luminal 100mg/dosis manusia)
Luminal = 25/20 x (0,0026 x 100mg) =
0,325mg
volume Luminal 0,52mg/mL = 0,325mg : 0,52mg/mL = 0,625mL
Pentetrazole = 25/1000 x 70mg = 1,75mg
volume Pentetrazole 2,6mg/mL = 1,75mg : 2,6mg/mL = 0,673mL
volume Luminal 0,52mg/mL = 0,325mg : 0,52mg/mL = 0,625mL
Pentetrazole = 25/1000 x 70mg = 1,75mg
volume Pentetrazole 2,6mg/mL = 1,75mg : 2,6mg/mL = 0,673mL