Identifikasi dan Penentuan Kadar Senyawa Rhodamin B Dalam Sampel Lipstik BerMerk Dagang Menggunakan KLT dan Spektrofotometri UV-Vis
I.
TUJUAN
1. Identifikasi
senyawa rhodamin B pada lipstik dengan menggunakan KLT.
2. Identifikasi
senyawa rhodamin B pada lipstik dengan menggunakan Instrumen Spektrofotometer
UV-Vis
II.
PRINSIP
1. KLT
(Kromatografi Lapis Tipis)
Adalah suatu teknik pemisahan yang
sederhana menggunakan lempeng kaca atau lembaran plastik yang ditutupi penyerap
atau lapisan tipis dan kering berbentuk
silika, alumina , selulosa ataupun polianida.
2.
Spektrofotometri UV-Vis
Adalah suatu metode analisis
menggunakan prinsip penyerapan gelombang 100 – 400 nm dan 400 – 800 nm oleh
molekular senyawa.
3.
Hukum Lambert-Beer
Menyatakan
bahwa konsentrasi suatu zat berbanding lurus dengan jumlah cahaya yang
diabsorbsi, atau berbanding terbalik dengan logaritma cahaya yang
ditransmisikan.
A = a . b . c = log = 2 – log %T
Dimana
: A = absorban
a = absorbtivitas
b = jalannya sinar pada larutan
c = konsentrasi larutan
%T =
persen transmitan
III.
TEORI
DASAR
A.
Rhodamin
B
Rhodamin B adalah salah satu
zat pewarna sintetis yang biasa digunakan pada industri tekstil dan kertas .
Zat ini ditetapkan sebagai zat yang dilarang penggunaannya pada makanan melalui
Menteri Kesehatan (Permenkes) No.239/Menkes/Per/V/85. Namun penggunaan
Rhodamine dalam makanan masih terdapat di lapangan. Contohnya, BPOM di Makassar
berhasil menemukan zat Rhodamine-B pada kerupuk, sambak botol, dan sirup
melalui pemeriksaan pada sejumlah sampel makanan dan minuman. Rhodamin B ini
juga adalah bahan kimia yang digunakan sebagai bahan pewarna dasar dalam
tekstil dan kertas. Pada awalnya zat ini digunakan untuk kegiatan histologi dan
sekarang berkembang untuk berbagai keperluan yang berhubungan dengan sifatnya
dapat berfluorensi dalam sinar matahari
(Hamdani, 2013)
Rumus Molekul dari Rhodamin
B adalah C28H31N2O3Cl dengan berat
molekul sebesar 479.000.
Zat yang sangat dilarang penggunaannya dalam
makanan ini berbentuk kristal hijau atau serbuk ungu-kemerah – merahan, sangat
larut dalam air yang akan menghasilkan warna merah kebiru-biruan dan
berfluorensi kuat. Rhodamin B juga merupakan zat yang larut dalam alkohol, HCl,
dan NaOH, selain dalam air. Di dalam laboratorium, zat tersebut digunakan sebagai
pereaksi untuk identifikasi Pb, Bi, Co, Au, Mg, dan Th dan titik leburnya pada
suhu 165?C (Hamdani, 2013).
Dalam analisis dengan metode destruksi dan metode
spektrofometri, didapat informasi bahwa sifat racun yang terdapat dalam
Rhodamine B tidak hanya saja disebabkan oleh senyawa organiknya saja tetapi
juga oleh senyawa anorganik yang terdapat dalam Rhodamin B itu sendiri, bahkan
jika Rhodamin B terkontaminasi oleh senyawa anorganik lain seperti timbaledan
arsen.Dengan terkontaminasinya Rhodamin B dengan kedua unsur tersebut,
menjadikan pewarna ini berbahaya jika digunakan dalam makanan ( Hamdani, 2013).
B. Kromatografi Lapis Tipis
Absorbsi
dan partisi berdasarkan pada jumlah dan cara penotolan cuplikan yang
berkesinambungan dengan hasil akhir membentuk pita. Kromatografi lapis tipis
preparative merupakan metode isolasi dari suatu simplisia untuk mendapatkan
senyawa tunggal (Agustina, 2009).
Lapisan
preparatif normalnya adalah lapisan KLT
yang lebih tebal dari 0,5.
Seperti aturan umumnya dimana ketebalan maksimumnya adalah 2 mm meskipun
beberapa pengerjaan melibatkan penggunaan lempeng yang tebalnya mencapai 10 mm.
Pembuatan lempeng KLTP haruslah resisten terhadap abrasi. KLTP dibahas dalam
beberapa literatur dimana metode ini masih menjadi metode yang populer. Ada
perbedaan utama antara KLTP dan KLT konvensional : (15: 54)
1. Sampel ditotolkan berupa pita, biasanya bila memungkinkan ditotolkan
selebar lempeng.
2. Deteksi dari pemisahan senyawa biasanya dilakukan dengan absorbansi UV
atau flouresensi.
3. Biasanya
multi elusi diperlukan untuk memperoleh resolusi pemisahan yang baik dari
komponen sampel
(Gritter
et al, 1991).
Karena besarnya volume yang diaplikasikan pada
KLTP bila dibandingkan dengan KLT, penggunaan alat penotolan seperti yang
dibicarakan nanti diperlukan untuk keakuratan. Larutan sampel dapat ditotolkan
sepanjang lempeng KLTP. Ini memungkinkan
jumlah maksimum volume yang ditotolkan (volume hingga 500 ml larutan dapat dicapai dengan penggunaan
alat). Bagaimanapun juga sangat penting untuk membiarkan sekitar 2 cm dari
ujung pita dengan tepi lempeng. Ini dapat menghindarkan efek tepi yang dapat
terjadi selama pengembangan karena perbedaan ketebalan sorben pada tepi
lempeng. Ketebalan dari lapisan dan kemampuan sampel untuk melintasi jarak dari
lempeng menyebabkan miligram samapi satu berat yang sangat rendah dapat
diaplikasikan tetapi sayangnya waktu pengembangan yang panjang tidak dapat
dihindarkan dari penggunaan gaya kapilaritas normal. Biasanya pemisahan yang
memakan waktu 30-60 menit pada KLT akan memakan waktu beberapa jam pada KLTP
dengan lapisan setebal 2 mm. Ini tidak serta merta menjadi kerugian dari KLTP
karena pemisahan dapat dilakukan semalaman dan kromatografer tidak perlu
melakukan banyak hal selama pengembangan. Biasanya pemilihan eluen ditentukan
berdasarkan percobaan KLT sebelumnya (Sastrohamidjojo, 1985).
C.
Metode Adisi Standar
Ketika menggunakan kurva kalibrasi
konvensional, maka harus diketahui bahwa perbandingan respon/konsentrasi adalah
sama baik di dalam sampel maupun didalam larutan standar.
Ada dua keadaan yang dapat
menyebabkan ketidak-akuratan ketika menggunakan kurva kalibrasi, yaitu:
- Faktor-faktor
yang berada didalam sample yang mengubah perbandingan respon/konsentrasi,
tetapi faktor tersebut tidak ada didalam larutan standar (misalnya
perubahan pH, kekuatan ion, kekeruhan, viskositas, gangguan kimia dan lain
lain). Faktor-faktor tersebut akan mengubah kemiringan (slope) kurva
kalibrasi.
- Faktor
yang tampak/kelihatan pada alat pendeteksi misalnya warna atau kekeruhan
sample yang menyerap atau menghamburkan cahaya pada panjang gelombang
pengukuran. Faktor ini tidak berpengaruh terhadap slope kurva kalibrasi
(Wiryawan,2011).
Jika perbandingan respon/konsentrasi
antara sampel dan larutan standar tidak sama, misalnya disebabkan oleh matrik
atau komposisi yang berbeda antara sample dan standar, maka penggunakaan kurva
kalibrasi untuk menentukan konsentrasi sampel akan memberikan hasil yang tidak
akurat. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan metode adisi standar. Dengan
menggunakan metode ini, kedalam sejumlah sampel ditambahkan larutan standar
(konsentrasi diketahui dengan pasti) dengan volume yang bervariasi. Kemudian
diencerkan hingga volumenya sama. Dengan demikian maka b aik matrik sampel
maupun matrik standar adalah sama. Yang berbeda hanyalah konsentrasi standar
yang ditambahkan pada sampel. Untuk lebih mudahnya, persiapan sampel dapat
dilakukan seperti dalam Tabel11.1(misal konsentrasi larutan standar adalah 10
unit) (Roth etal, 1988).
Kurva adisi standar dari Tabel 11.1
dapat dilihat pada Gambar 11.8. Pada gambar tersebut, sumbu X adalah
konsentrasi standar yang ditambahkan setelah pengenceran sampai 50.0 mL.
Intersep yang diplotkan pada sumbu X merupakan nilai mutlak.
yang menunjukkan konsentrasi analit dalam sample setelah
pengenceran sampai 50 mL, yaitu 1.3 unit. Dengan demikian konsentrasi sample
sebelum diencerkan adalah sebesar 2.6 unit (1.3 unit x 50.0/25.0)
(Wiryawan,2011).
Limit deteksi (LOD) adalah
konsentrasi terkecil yang berbeda dari blangko yang secara statistik dapat
dideteksi. LOD ini dihitung berdasarkan dua kali standar deviasi dari
pengukuran sedikitnya 10 kali larutan blangko. Limit deteksi juga memberikan
petunjuk kestabilan sistem intrumentasi secara menyeluruh, dimana LOD ini akan
berbeda-beda untuk intrumentasi yang satu dengan lainnya. Bahkan LOD dari satu
intrumentasi dapat berbeda dari hari ke hari. Karakteristik konsentrasi (sering
juga disebut sebagai sensitivitas) untuk 1% absorpsi adalah konsentrasi dari
suatu elemen yang memberikan pembacaan 0.0044 unit absorban. Karakteritik
konsentrasi tergantung pada beberapa faktor misalnya efisiensi atomisasi,
efisiensi nyala, dan noise. Gambar11.9 meng-ilustrasi-kan perbedaan antara
sensitivitas dan limit deteksi. Gambar11.9A maupun 11.9B memiliki sensitivitas
yang sama, akan tetapi limit deteksi B lebih baik di bandingkan A.
IV.
ALAT DAN BAHAN
A. Alat
batang
pengaduk
|
penangas air
|
Beaker glass
|
pipet tetes
|
bulb pipet
|
pipet volume
|
chamber
|
silica gel
|
gelas ukur
|
spatel
|
kaca arloji
|
spektrofotometer uv-vis
|
kuvet
|
timbangan analitik
|
labu ukur
|
B. Bahan
1. Ammonia
2. Baku
pembanding Rhodamin B
3. Etil
asetat
4. HCl
4 M
5. Methanol
6. Na-Sulfat
Anhidrat
7. Sampel
lipstik
V. PROSEDUR
A.
Kualitatif
1. Pembuatan
larutan uji (Larutan A)
Ditimbang sebanyak 2 g sampel, kemudian
ditambahkan 4 tetes HCl 4 M dan 5 ml methanol. Dipanaskan selama 5 menit hingga
sampel melarut. Selanjutnya ditambahkan methanol ad 30 ml, disaring dengan
kertas saring, dan ditambahkan Na-sulfat anhidrat kedalamnya. Filtrat diambil
dan dimasukkan kedalam botol vial.
2. Pembuatan
larutan baku (Larutan B)
Ditimbang
sebanyak 5 mg pewarnaa rhodamin B baku pembanding. Dilarutkan dalam 10 mL
methanol, dikocok hingga larut.
3. Pembuatan
larutan C
Dipipet sejumlah volume yang sama antara
larutan A dan larutan B. dicampur dan dihomogenkan.
4. Uji
identifikasi sampel
Plat KLT disiapkan, kemudian ditotolkan
larutan baku dan larutan sampel secara terpisah. Didiamkan plat KLT hingga
mongering. Kemudian plat KLT dimasukkan kedalam chamber yang telah dijenuhkan
dengan propanol : ammonia (90 : 10). Dibiarkan fasa gerak nya naik hingga batas
pelat, dan dikeringkan. Selanjutnya diamati noda dibawah sinar UV pada panjang
gelombang 254 nm. Warna merah berfluoresensi kuning menunjukkan adanya rhodamin
B.
B.
Kuantitatif
1. Preparasi
sampel
Ditimbang 2 g sampel, diletakkan diatas
cawan penguap dan ditambah 16 tetes HCl 4 M, dimasukkan dalam beaker glass dan
ditambahkan 30 ml methanol. Kemudian dilelehkan diatas penangas air hingga
melarut. Disaring dengan kertas saring, dan ditambahkan Na-sulfat anhidrat dan
disaring kembali.
2. Pembuatan
larutan baku
Dibuat larutan baku dari pewarna
rhodamin B baku pembanding. Larutan baku yang dibuat memiliki konsentrasi
sebesar 100 ppm.
3. Standar
adisi
Dibuat larutan dengan lima konsentrasi
yang berbeda pada tiap-tiap labu ukur. Dipipet sampel sebanyak 0,3 ml kedalam
lima buah labu ukur 25 ml yang berbeda. Pada masing-masing labu ukur,
ditambahkan larutan baku pada berbagai volume yang berbeda, kemudian
ditambahkan methanol hingga batas labu ukur. Selanjutnya dilakukan analisis
dengan instrument spektrofotometer UV-Vis pada masing-masing konsentrasi,
dicatat hasil absorbansinya.
4. Perhitungan
konsentrasi dan kadar
Dibuat kurva kalibrasi, ditentukan
persamaan garisnya. Nilai a sampel dimasukkan kedalam persamaan garis, kemudian
dihitung konsentrasi dan kadar sampelnya.
VI.
DATA PAENGAMATAN DAN PERHITUNGAN
A.
Pembuatan
HCl 37%
M
=
Pengenceran
:
12
* X = 4 * 60
X=
20 ml
B.
Rf
Rf
(std) = 4.2/5.7 = 0.74
Rf
(sampel) = 3.9/5.2 = 0.75
C.
Pembuatan
baku standar
25
mg dalam 250 ml = 25 mg / 250 ml = 100 ppm
D.
Pembuatan
larutan sampel
Labu
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
Sampel
|
0.3 ml
|
0.3 ml
|
0.3 ml
|
0.3 ml
|
0.3 ml
|
BPFI
|
1.1
|
1.2
|
1.3
|
1.4
|
1.5
|
pelarut
|
Add 25
|
Add 25
|
Add 25
|
Add 25
|
Add 25
|
Untuk
labu I → diambil 1.1 mL→
Untuk
labu II → diambil 1.2 mL→
Untuk
labu III → diambil 1.3 mL→
Untuk
labu IV → diambil 1.4 mL→
Untuk
labu V → diambil 1.5 mL→
Absorbansi
x= V. baku (mL)
y = Absorbansi
a = 0.2187
b = 0.36175
r = 0.9684
y = 0.2187x + 0.36175
Kadar rhodamin dalam sampel
Cx
Kadar
Rhodamine dalam lipstik
1153,6 ppm = 1153,6 μg/ml → 1.1536 mg/ml
1153,6 ppm = 1153,6 μg/ml → 1.1536 mg/ml
Kadar
rhodamine B (mg) = Cx × Vol. Filtrat sampel
=1.1536 mg/ml
× 50 ml
= 57,68 mg
= 57,68 mg
Kadar
rhodamine B (%) = konsentrasi x 25 = 13784,1 ppm x = 34,46 %
VII.
PEMBAHASAN
Praktikum kali ini bertujuan
untuk menganalisis Rhodamin b yang diduga terkandung dalam sampel lipstick.
Analisis yang dilakukan yaitu analisis kualitatif dengan uji kromatografi lapis
tipis dan analisis kuantitatif dengan spektrofotometri UV-Visible. Sampel
lipstik yang digunakan adalah Quina, lipstik yang beredar di pasaran namun
tidak memiliki nomor registrasi. Analisis ini dilakukan karena rhodamin b dalam
kosmetik terutama lipstik perlu diawasi keberadaanya sebab rhodamin b merupakan
pewarna sintesis yang biasa digunakan pada tekstil. Pengunaan rhodamin b dalam
suatu sediaan dilarang karena dapat menimbulkan dampak yang tidak diharapkan
seperti gangguan kesehatan.
Analisis kualitatif ini
berfungsi untuk mengidentifikasi keberadaan rhodamin b dalam sampel lipstick,
yaitu menggunakan Kromatografi Lapis Tipis yang merupakan salah satu teknik
pemisahan senyawa dengan prinsip adsorpsi dan koefisien partisi. KLT dilakukan
karena pengujian menggunakan metode ini mudah dilakukan dan murah. Prinsip
kromatografi lapis tipis yaitu perbedaan kepolaran ‘like dissolve like’ dimana pelarut
yang bersifat polar akan berikatan dengan senyawa yang bersifat polar juga
dan sebaliknya. Semakin dekat kepolaran antara senyawa dengan eluent maka senyawa akan
semakin terbawa oleh fase gerak tersebut.
Tahap pertama yang dilakukan adalah preparasi
larutan sampel. Preparasi sampel dilakukan untuk memperoleh larutan sampel
sehingga bisa dianalisis karena dalam KLT, sampel yang diuji harus berbentuk
larutan. Sampel lipstik ditimbang sebanyak 500 mg secara seksama dan diletakkan
di cawan penguap supaya preparasi mudah dilakuakan. Setelah itu sampel tersebut
ditambahkan HCl 4 M. Larutan HCl 4 M ini digunakan untuk mendestruksi
senyawa-senyawa yang ada di dalam sampel lipstik dan menstabilkan rhodamine
agar tidak berubah dari bentuk terionisasi menjadi bentuk netral. Selanjutnya,
ditambahkan 5 ml methanol. Fungsi methanol ini yaitu sebagai pelarut karena rhodamin
b bersifat sangat mudah larut dalam alkohol.
Setelah ditambahkan pelarut,
sampel dipindahkan ke beaker glass kecil dan ditutup dengan kaca arloji yang
berfungsi untuk meminimalisir penguapan karena methanol bersifat mudah menguap,
terlebih lagi jika dipanaskan. Beaker glass tersebut kemudian dipanaskan di
atas penangas air. Tujuannya yaitu untuk mempercepat proses pelarutan lipstick
yang berwujud padat hingga diperoleh larutan berwarna merah. Setelah diperoleh
larutan berwarna merah, maka larutan kemudian difiltrasi dengan cara disaring
dengan menggunakan kertas saring dan bantuan corong penyaring. Namun
sebelumnya, larutan sampel ditambahkan dengan Natrium sulfat anhidrat.
Fungsinya yaitu untuk menyerap air. Penyaringan ini dilakukan untuk memisahkan
senyawa Rhodamin b yang akan dianalisis dari senyawa-senyawa pengotor yang
dapat mengganggu absorbansi, misalnya basis lipstik. Filtrat yang diperolah
ditampung dalam beaker glass bersih. Filtrat hasil penyaringan berupa larutan
bening berwarna merah yang diduga berasal dari pewarna merah Rhodamin b.
Setelah dibuat larutan sampel, maka dibuat larutan rhodamin-B BPFI dengan
pelarut yang sama yaitu methanol. Larutan baku ini digunakan sebagai pembanding
nilai Rf dalam KLT.
Selanjutnya dilakukan penyiapan fasa diam dan
fasa gerak dari sistem kromatografi lais tipis ini. Fasa diam yang digunakan
adalah silica gel. Dalam fase diam terdapat plat tipis aluminium yang
berfungsinya untuk tempat berjalannya adsorbens sehingga proses migrasi analit
oleh solventnya bisa berjalan. Dalam KLT adsorbens yang digunakan berupa silika
gel (SiO2) yang tidak mengikat molekul air, sehingga noda yang
tercipta lebih terfokus dan tajam. Fase diam ini bersifat polar. Sedangkan fase
gerak yang digunakan adalah campuran propanol : amoniak (90:10) dengan total
volume eluent yaitu 100 ml. Eluent yang digunakan bersifat lebih polar dari
fase diamnya agar sampel yang polar tidak terikat kuat pada fase diamnya. Penggunaan eluent ini disesuaikan dengan sifar
polar Rhodamin b karena memiliki gugus karboksil dengan pasangan
elektron bebas dan gugus amina pada struktur molekulnya. Gugus karboksil dan
amina ini akan membentuk ikatan hidrogen intermolekular dengan pelarut polar
sehingga mudah larut dalam pelarut polar seperti alkohol Oleh karena itu,
digunakan campuran eluen polar agar dapat mengeluasi Rhodamin b
dengan baik.
Setelah dibuat eluent, maka
larutan eluent tersebut dijenuhkan terlebih dahulu. Tujuan penjenuhan adalah
untuk memastikan partikel fasa gerak terdistribusi merata pada seluruh bagian
chamber sehingga proses pergerakan spot di atas fasa diam oleh fasa gerak
berlangsung optimal, dengan kata lain penjenuhan digunakan untuk mengotimalkan
naiknya eluent. Selain itu juga berfungsi untuk menghindari hasil tailing pada
pelat KLT. Untuk mengetahui kejenuhan tersebut maka digunakan kertas saring
yang disimpan diatas bagian dalam chamber. Kejenuhan ditandai dengan suhu di
dalam chamber hangat serta lebabnya kertas saring.
Selama proses penjenuhan,
dilakukan persiapan fase diam. Pelat aluminium yang digunakan berukuran 20 x 20
cm. Pelat tersebut diberi batas atas dan bawah masing-masing 1 cm. Fungsinya
sebagai penanda jarak tempuh eluent. Batas bawah plat dibuat sedemikian rupa
sehingga tidak terendam oleh eluent. Setelah itu, dilakukan penotolan larutan
baku dan sampel menggunakan pipa kapiler. Tujuannya yaitu supaya penotolan
kecil karena dalam KLT, penotolan yang baik diusahakan sekecil mungkin untuk
menghindari pelebaran spot dan jika
sampel yang digunakan terlalu banyak akan menurunkan resolusi.. Pelebaran spot
dapat mengganggu nilai Rf karena memungkinkan terjadinya himpitan puncak.
Penotolan dilakukan pada
garis bawah yang telah dibuat. Kemudian
dibiarkan beberapa saat hingga mengering. Penotolan plat juga tidak boleh
terlalu berdekatan untuk menghindari bergabungnya spot masing-masing larutan
dan tidak boleh terlalu pekat untuk menghindari adanya tailing saat spot naik
bersama fasa gerak.
Selanjutnya, plat dimasukkan dengan hati-hati ke dalam chamber
tertutup yang berisi fasa gerak dengan posisi fasa gerak berada di bawah
garis. KLT ini menggunakan metode ascending (naik). Kemudian
fase gerak dibairkan naik sampai hampir mendekati batas atas plat. Fase gerak perlahan-lahan bergerak naik.
Meskipun melawan gravitasi, namun eluent bisa naik karena adanya afinitas.
Dalam proses naiknya fase gerak, komponen-komponen yang berbeda dari campuran
berjalanan pada tingkat yang berbeda sesuai dengan kepolarannya. Setelah
kira-kira mencapai jarak tempuh 6 cm, plat KLT diangkat dan dibiarkan kering
diudara. Tujuannya
untuk menguapkan sisa pelarut yang masih terdapat pada plat untuk menjamin penguapan telah sempurna dan
agar spot jelas terlihat.
Kemudian diamati dibawah sinar UV pada panjang
gelomang 254 nm. UV254 tersebut merupakan deteksi universal yang
bisa digunakan untuk senyawa yang berfluorsensi seperti rhodamin b. Hasilnya
yaitu terbentuk 2 spot berfluoresensi berwarna merah muda kebiruan dengan jarak
tempuh spot yang berdekatan. Namun, spot yang dianalisis adalah spot yang mirip
dengan spot larutan baku Rhodamin b. Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh
jarak spot dengan batas bawah yaitu 3,9 cm sedangkan jarak tempuh pelarut yaitu
5,2 cm. kemudian dilakukan perhitungan Rf dengan menggunakan rumus
Rf yang didapat dari hasil pengamatan yaitu
0.75. Nilai Rf menyatakan ukuran daya pisah suatu zat dengan kromatografi
planar (KLT), dimana jika nilai Rf-nya besar berarti daya pisah zat yang
dilakukan solvent (eluenya) maksimum sedangkan jika nilai Rf-nya kecil berarti
daya pisah zat yang dilakukan solvent (eluenya) minimum. Rf yang optimum yaitu
berada pada rentang 0.5 – 0.8.
Rf sampel kemudian dibandingkan dengan Rf baku.
Dalam larutan baku, jarak spot dengan batas bawah yaitu 4,2 dan jarak tepuh
pelarut yaitu 5,7 sehingga diperoleh Rf yaitu 0.74. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa Rf sampel yang dianalisis berdekatan dengan Rf baku. Hal ini
mengindikasikan bahwa sampel lipstick mengandung Rhodamin b. .
Dalam
KLT, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pemisahan komponen adalah struktur
kimia dari senyawa yang dipisahkan, sifat dari penyerap dan derajat
aktifitasnya, tebal dan kerataan zat penyerap, kemurnian pelarut, derajat
kejenuhan, teknik percobaan, jumlah cuplikan, temperatur, dan kesetimbangan.
Selain uji kualitatif, dilakukan juga uji
kuantitatif. Analisis kuantitatif ini bertujuan untuk mengetahui kadar rhodamin
b dalam sampel lipstick karena berdasakan uji kualitatif, sampel mengandung rhodamin
b. Analisis kuantitatif yang dilakukan adalah spektrofotometri UV-Vis. Metode
spektrofotometri ini mempunyai prinsip yaitu hukum lambert beer. Hukum lambert
beer menyatakan konsentrasi suatu zat berbanding lurus dengan jumlah cahaya
yang diabsorbsi, atau berbanding terbalik dengan logaritma cahaya yang ditransmisikan. Dengan demikian, dari pengukuran
spektrofotometri dapat dihitung konsentrasi sampel yang dianalisis.
Alasan menggunakan metode analisis
spektrofotometri UV-Vis adalah karena senyawa rhodamin b memiliki gugus
kromofor yaitu gugus dalam senyawa organik yang mampu menyerap sinar
ultraviolet dan sinar tampak seperti gugus karboksil, senyawa aromatik dan juga
memiliki gugus auksokrom yaitu gugus yang memiliki pasangan elektron bebas
seperti NR2. Alasan lain, yaitu karena metode ini mudah dilakukan.
Hal pertama yang dilakukan adalah pembuatan
larutan baku. Untuk larutan baku, dibuat sejumlah 25 mg rhodamin b BPFI
ditimbang seksama kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 250 mL, ditambah
dengan pelarut methanol hingga batas labu dan dikocok hingga larutan homogen.
Hasilnya yaitu terbentuk larutan pink bening dengan konsentrasi 100 ppm.
Setelah dibuat larutan baku, lalu dibuat larutan sampel. Prosedur dan bahan
preparasi sampel sama seperti pada analisis kualitatif, yang berbeda hanya
jumlah sampel. Untuk analisis kuantitatif, sampel lipstick yang digunakan yaitu
sebanyak 2 gram ditambah HCl 16 tetes dan pelarut methanol sebanyak 60 mL.
Setelah dipanaskan dan disaring dengan tambahan Na-Sulfat, maka diperoleh
filtrat sebanyak 50 mL berwarna merah terang.
Analisis
kuantitatif ini menggunakan metode standar adisi karena standar adisi biasa
digunakan untuk mengukur sampel yang konsentrasinya kecil. Pada percobaan,
senyawa yang dianalisis adalah rhodamin b dalam sediaan kosmetik lipstick.
Konsentrasi rhodamin b dalam sampel lipstick diperkirakan kecil karena
seharusnya rhodamin b tidak digunakan untuk pewarna sediaan kosmetik. Oleh
karena itu, untuk bisa mengukur konsentrasinya dipilih metode standar adisi.
Alasan lain yaitu karena metode standar adisi lebih akurat.
Pada dasarnya, metode standar adisi dilakukan dengan
menambahkan sejumlah larutan standar dengan volume yang bervariasi ke dalam
sejumlah sampel. Kemudian diencerkan hingga volumenya sama. Dengan demikian
matrik sampel dan matrik standar sama, yang berbeda yaitu konsentrasi standar
yang ditambahkan pada sampel. Sesuai metode standar adisi, prosedur yang
dilakukan yaitu ke 5 labu ukur masing-masing dimasukkan larutan sampel dengan
volume yang sama yaitu 0.3 ml. Kemudian dimasukkan larutan baku dengan volume
berbeda sehingga menghasilkan variasi konsentrasi yaitu 1.1 mL (4.4 ppm), 1.2
mL (4.8 ppm), 1.3 mL (5.2 ppm), 1.4 mL (5.6 ppm), dan 1.5 mL (6 ppm). Kemudian
add ke dalam labu tersebut methanol hingga tanda batas. Semua larutan tersebut
dikocok supaya larutan homogeny. Dalam percobaan digunakan labu ukur karena
analisis bersifat kuantitatif.
Larutan ini kemudian diukur pada panjang
gelombang, suhu, kuvet dan kondisi pelarut yang sama, karena jika dilakukan
dalam kondisi yang berbeda maka akan memberikan nilai pengukuran yang
berbeda-beda dan tidak memenuhi Hukum Lambert-Beer. Pengukuran dilakukan pada panjang gelombang yang memberikan absorbansi
maksimum karena pada panjang gelombang serapan maksimum,
kepekaannya juga maksimum. Selain itu disekitar panjang gelombang serapan maksimum, bentuk kurva absorbansi
datar dan pada kondisi tersebut hukum lambert-beer akan terpenuhi serta jika
dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh pemasangan ulang
panjang gelombang akan kecil sekali.
Penentuan panjang gelombang maksimum pada rhodamin
b dilakukan pada rentang panjang gelombang 400-800 nm. Hal ini dilakukan karena
larutan rhodamin b merupakan larutan berwarna sehingga dipilih sinar tampak yang
mempunyai panjang gelombang 400-750 nm. Selain itu pengukuran dilakukan pada
rentang tersebut karena hukum Lambert-Beer terpenuhi. Hasil penentuan panjang
gelombang dengan serapan maksimum larutan rhodamin b diperoleh l pada 544 nm. Menurut literatur, panjang
gelombang ini sama dengan panjang gelombang untuk rhodamin b.
Sebelum melakukan pengukuran,
dilakukan blanko terlebih dahulu. Blanko yaitu pengukuran absorbansi pelarut
yang digunakan, yaitu methanol. Tujuannya adalah supaya alat mengenali pelarut
sebagai pengotor. Absorbansi dari pelarut tersebut dinolkan. Dengan demikian,
pengukuran absorbansi sampel rhodamin b tidak akan dipengaruhi oleh absorbansi
pelarutnya. Kemudian masing-masing
konsentrasi dimasukkan ke dalam kuvet. Kuvet yang digunakan harus bersih dan
kering sebelum dimasukkan ke dalam alat spektro dan sisi kuvet yang bening
tidak boleh disentuh untuk meminimalisir kontaminasi dari jari tangan karena
bagian sisi kuvet tersebut akan terkena sumber sinar. Hal tersebut dilakukan
untuk mencegah kesalahan pembacaan absorbansi. Absorbansinya
diukur pada panjang gelombang maksimum yaitu 544 nm. Setelah kuvet dimasukkan, dipilih start
measurement. Dalam proses ini, alat spektro menembakkan energi dengan panjang
gelombang tertentu pada senyawa rhodamin b yang dianalisis. Hal ini membuat
elektron senyawa akan tereksitasi ke orbital yang lebih tinggi. Setelah
mengalami eksitasi, elektron tersebut akan turun kembali ke ground state (keadaan dasar), sambil
melepaskan emisi yang akan terukur oleh detektor. Output yang dihasilkan berupa
absorbansi.
Dari hasil pengukuran diperoleh absorbansi yang
berbeda-beda pada setiap konsentrasi. Pada labu 1 diperoleh absorbansi
rata-rata 0.606, absorbansi labu 2 yaitu 0.6133, absorbansi labu 3 yaitu
0.6583, absorbansi labu 4 yaitu 0.6644, dan absorbansi labu 5 yaitu 0.6893.
Dalam hal ini, absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi. Peningkatan
konsentrasi diikuti dengan peningktan absorbansi, meskipun peningkatannya tidak
konstan. Absorbansi yang diperoleh kemudian diplot menjadi kurva standar adisi.
Fungsi x dalam kurva yaitu volume standar dan fungsi y sebagai absorbansi yang
dihasilkan.
Berdasarkan kurva diperoleh persamaan garis dengan koefisien korelasi 0.9684. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa kurva tersebut tidak linear. Hal ini dapat
disebabkan karena adanya kesalahan dalam proses pengenceran sehingga
konsentrasinya tidak sesuai atau adanya kontaminan yang mengganggu pengukuran
absorbansi. Koefisien korelasi menunjukkan korelasi liner antara konsentrasi
dan absorbansi. Koefisien korelasi yang baik yaitu 0.999 dan absorbansinya
berada dalam rentang 0.2-0.8sesuai Hukum Lambert Beer.
Dari persamaan yang diperoleh dapat dihitung konsentrasi
dari sampel dengan menggunakan persamaan:
Konsentrasi yang diperoleh
yaitu 551,364 ppm. Hasil tersebut dikalikan dengan factor pengenceran (x25)
sehingga diperoleh konsentrasi rhodamin dalam sampel yaitu 13784.1 ppm atau
13.7841 mg/mL. Setelah diperoleh massa rhodamain B maka dapat dihitung
persentase kadarnya berdasarkan rumus:
Dengan
demikian diperoleh kadar rhodamin dalam sampel lipstick 2 gram yaitu 34.46%.
Kadar rhodamin b yang
diperoleh berdasarkan perhitungan tersebut cukup besar untuk suatu sediaan
kosmetik karena seharusnya rhodamin b tidak digunakan sebagai pewarna lipstick
apalagi dengan kadar yang tinggi. Hal itu dapat menyebabkan gangguan kesehatan.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa sampel lipstick tidak baik digunakan
karena mengandung rhodamin b dengan kadar yang cukup tinggi.
Namun,
pengukuran kadar ini belum tentu akurat karena persamaan garis pun tidak
menunjukkan lineritas yang baik. Artinya kemungkinan konsentrasi yang dihitung
tidak sebanding dengan absorbansi hasil pengukuran. Hal ini dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti proses pengenceran yang kurang kuantitatif atau
adanya kontaminan seperti basis lipstick kemungkinan masih ada karena preparasi
sampel yang kurang baik.
VIII.
KESIMPULAN
1. Hasil
Kromatografi lapis tipis menyatakan bahwa sampel lipstik mengandung
rhodamin B dengan rf = 0.75
2. Hasil
pengukuran kadar menyatakan bahwa kadar rhodamin B yang terkandung pada lipstik
adalah sebesar 34.46 %.
DAFTAR
PUSTAKA
Agustina,
Tina. 2009. Available Online at http://www.scribd.com/doc/23648388/15/II-3-4Kromatografi-Lapis-Tipis-Preparatif
[Diakses tanggal 15-05-13].
Gritter
J.R, dkk. 1991. Pengantar Kromatografi.
Bandung. Penerbit ITB
Hamdani.
2013. Available online at http://catatankimia.com/catatan/rhodamin-b.html
[Diakses tanggal 15-05-13].
Roth,
H.J., Blaaschke, G. 1988. Analisis
Farmasi. Penerjemah Sarjono Kisman. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada
Press
Sastrohamidjojo.
1985. Kromatografi. Yogyakarta.
Penerbit Liberty
Wiryawan, Adam . 2011. Available Online
at http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/instrumen_analisis/spektrofotometri-serapan-atom/metode-adisi-standar/ [Diakses tanggal 15-05-13].