“PENGUJIAN DISOLUSI TERHADAP TABLET GLYCEROL GUAIAKOLAT”
I.
Tujuan
II.
Prinsip
1. Disolusi
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan
senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu
zat aktif sangat penting artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung
dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke
dalam tubuh.
III.
Teori
Dasar
Pelepasan
zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat
aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan oleh
kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari
bentuk sediaan biasanya ditenmtukan oleh kecepatan melarutnya dalam media
sekelilingnya (Amir, 2007).
Disolusi adalah suatu jenis khusus dari
suatu reaksi heterogen yang menghasilkan transfer massa karena adanya pelepasan
dan pemindahan menyeluruh ke pelarut dari permukaan padat. Teori disolusi yang
umum adalah:
1.
Teori film (model difusi lapisan)
2.
Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori
penetrasi)
3.
Teori Solvasi terbatas/Inerfisial (Amir, 2007).
Kecepatan
disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk sediaan utuh/
pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri. Kecepatan
disolusi zat aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan
sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi per unit waktu di bawah kondisi antar
permukaan padat-cair, suhu dan kompisisi media yang dibakukan. Kecepatan pelarutan memberikan informasi tentang profil
proses pelarutan persatuan waktu. Hukum yang mendasarinya telah ditemukan oleh
Noyes dan Whitney sejak tahun 1897 dan diformulasikan secara matematik sebagai
berikut :
dc / dt = kecepatan pelarutan ( perubahan
konsentrasi per satuan waktu )
Cs =
kelarutan (konsentrasi jenuh bahan dalam
bahan pelarut )
Ct = konsentrasi bahan dalam larutan untuk waktu t
K =
konstanta yang membandingkan koefisien difusi, voume larutan
jenuh dan tebal lapisan difusi (Shargel, 1988)
Dari
persamaan di atas dinyatakan bahwa tetapnya luas permukaan dan konstannya suhu,
menyebabkan kecepatan pelarutan tergantung dari gradien konsentasi antara
konsentrasi jenuh dengan konsentrasi pada waktu (Shargel, 1988).
Pada peristiwa
melarut sebuah zat padat disekelilingnya terbentuk lapisan tipis larutan
jenuhnya, darinya berlangsung suatu difusi suatu ke dalam bagian sisa dari
larutan di sekelilingnya. Untuk peristiwa melarut di bawah pengamatan
kelambatan difusi ini dapat menjadi persamaan dengan menggunakan hukum difusi.
Dengan mensubtitusikan hukum difusi pertama Ficks ke dalam persamaan Hernsi
Brunner dan Bogoski, dapat memberikan kemungkinan perbaikan kecepatan pelarutan secara konkret.
|
Kecepatan
pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat, koefisien difusi,
serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi pada waktu t. Kecepatan pelarutan
ini juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan zat aktif
dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan
bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat
aktif dari bentuk sediaan, dimana pelepasan zat aktif ditentukan oleh kecepatan
melarutnya dalam media sekelilingnya (Tjay, 2002).
Lapisan
difusi adalah lapisan molekul-molekul air yang tidak bergerak oleh adanya
kekuatan adhesi dengan lapisan padatan. Lapisan ini juga dikenal sebagai
lapisan yang tidak teraduk atau lapisan stagnasi. Tebal lapisan ini bervariasi
dan sulit untuk ditentukan, namun umumnya 0,005 cm (50 mikron) atau kurang (Tjay,
2002).
Hal-hal dalam
persamaan Noyes Whitney yang mempengaruhi kecepatan melarut:
Ø
Kenaikan
dalam harga A menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Ø
Kenaikan
dalam harga D menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Ø
Kenaikan
dalam harga Cs menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Ø
Kenaikan
dalam harga Ct menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Ø
Kenaikan
dalam harga d menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Hal-hal lainnya yang juga dapat mempengaruhi kecepatan
melarut adalah :
·
Naiknya
temperatur menyebabkan naiknya Cs dan D
·
Ionisasi obat (menjadi
spesies yang lebih polar) karena perubahan pH akan menaikkan nilai Cs (Ansel, 1989)
Uji hancur pada suatu tablet didasarkan
pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah menjadi partikel-partikel kecil,
sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas, dan akan
berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun, sebenarnya uji hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah
kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan bahwa
partikel-partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan dengan kecepatan
yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan
bagi hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat bersifat asam
yang diabsorpsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan dengan
laju larut obat dalam tablet
(Voigt,
1995).
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di
dalam darah, maka kecepatan obat dan tablet melarut menjadi sangat menentukan.
Karena itu, laju larut dapat berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran)
dan perbedaan bioavaibilitas dari berbagai formula. Karena itu, dilakukannya
evaluasi mengenai apakah suatu tablet melepas kandungan zat aktifnya atau tidak
bila berada di saluran cerna, menjadi minat utama dari para ahli farmasi
(Voigt, 1995).
Diperkirakan bahwa pelepasan paling
langsung obat dari formula tablet diperoleh dengan mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasan mengapa
penggunaan in vivo menjadi sangat
terbatas, yaitu lamanya waktu yang diperlukan untuk merencanakan, melakukan,
dan mengitepretasi; tingginya keterampilan yang diperlukan bagi pengkajian pada
manusia.; ketepatan yang rendah serta besarnya penyimpangan pengukuran;
besarnya biaya yang diperlukan; pemakaian
manusia sebagai obyek bagi penelitian yang “nonesensial”; dan keharusan
menganggap adanya hubungan yang sempurna antara manusia yang sehat dan tidak
sehat yang digunakan dalam uji. Dengan demikian, uji disolusi secara in vitro dipakai dan dikembangkan secara
luas, dan secara tidak langsung dipakai untuk mengukur bioavabilitas obat,
terutama pada penentuan pendahuluan dari faktor-faktor formulasi dan berbagai
metoda pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi bioavaibilitas. Seperti pada
setiap uji in vitro, sangat penting
untuk menghubungkan uji disolusi dengan tes bioavaibilitas in vitro. Ada dua sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan :
1. Penglepasan
obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%
2. Laju
penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju penglepasan dari batch
yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan efektif secara klinis (Shargel, 1988).
Tes kecepatan
melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif dari satu
tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai
indikator kualitas dan dapat memberikan informasi sangat berharga tentang
konsistensi dari “batch” satu ke “batch” lainnya. Tes disolusi ini didesain
untuk membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu
sediaan pada kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi (Shargel,
1988).
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap
respon klinis dari kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat
sangat penting pada zat aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana
berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh.
Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat
(tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi
dan emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep,krim,pasta) mengalami
disolusi dalam media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke
dalam sirkulasi sistemik (Voigt,
1995).
Kecepatan disolusi dalam berbagai keadaan dapat menjadi
tahap pembatasan kecepatan zat aktif ke dalam cairan tubuh. Apabila zat padat
ada dalam saluran cerna, mama terdapat dua kemungkinan tahap pembatasan
kecepatan zat aktif tersebut, yaitu :
² Zat
aktif mula-mula harus larut
² Zat
aktif harus dapat melewati membrane saluran cerna (Voigt,
1995).
Analisis
kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis yang penting
dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi telah masuk persyaratan wajib USP untuk
persyaratan tablet dan kapsul, sejak tahun 1960. Berbagai studi telah berhasil dalam korelasi disolusi
invivo dengan disolusi invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu peramal
koefisien terapi, tetapi disolusi lebih merupakan parameter mutu yang dapat
memberikan informasi berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk
(Voigt, 1995).
Pengembangan
dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi dan menggambarkan
disolusi dan absorbsi invitro bertujuan :
a)
Untuk mengetahui
kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada dalam model disolusi dapat
berarti atau berpengaruh dalam proses invivo apabila dikembangkan suatu model
yang berhasil meniru situasi invivo
b)
Untuk menyaring zat
aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan sifat disolusi dan
absorbsinya sesuai.
c)
Sistem uji disolusi
invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian mutu untuk produk akhir.
d)
Menjamin kesetaraan
hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari bentuk sediaan solid apabila
korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan hayati telah ditetapkan.
e)
Metode yang baik sekali
dan handal untuk memantau proses formulasi dan manufaktur.
f)
Penetapan kecepatan
disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat disolusi zat aktif yang baru.
g)
Agar sistem disolusi
invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat sistem invivo sampai
tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai. Oleh karena itu keuntungan
dalam biaya, tenaga kerja, kemudahan dapat diberikan dengan penggunaan sistem (Ansel, 1989).
Disolusi dapat terjadi langsung pada permukaan tablet, dari granul-granul bilamana
tablet telah pecah atau dari partikel-partikel halus bilamana granul-granul
telah pecah. Pada tablet yang tidak berdesintegrasi, kecepatan disolusinya
ditentukan oleh proses disolusi dan difusi. Namun demikian, bagi tablet yang
berdesintegrasi, profil disolusinya dapat menjadi sangat berbeda tergantung
dari apakah desintegrasi atau disolusinya yang menjadi penentu kecepatan
(Ansel, 1989).
IV.
Alat
dan Bahan
a.
Alat
1. Alat Spektrofotometri
2. Alat Uji
disolusi
3. Beaker
glass
4. Botol vial
5. Kuvet
6. Pipet tetes
b. Bahan
1. Aquadest
2. Baku pembanding Glycerol Guaiakolat
3. Tablet Glycerol Guaiakolat
1. Aquadest
2. Baku pembanding Glycerol Guaiakolat
3. Tablet Glycerol Guaiakolat
V.
Prosedur
Pembuatan larutan baku
Baku
glycerol guaiacolat
sebanyak 222 mg
ditimbang dan dilarutkan dalam 100
ml
air. Kemudian dibuat
pengenceran bertingkat yaitu 70ppm,
60ppm, 50ppm, 40ppm, dan 30ppm. Setelah itu diukur
absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum. Lalu dibuat kurva
baku dari hasil pengukuran.
Uji Disolusi
Perlakuan
pertama adalah dicari panjang gelombang serapan maksimum untuk baku pembanding
Glyceril Gualakoat. Langkah selanjutnya adalah tablet dicelupkan ke dalam
medium aquadest sampai ke dasar yang terdapat dalam labu sebanyak 900mL, suhu
dipertahankan pada 37.5oC, motor diatur pada kecepatan konstan 50
rpm. Kemudian cairan sample diambil pada selang waktu menit ke 5, menit ke 15 ,
menit ke 25, menit ke 35, dan menit ke 45 untuk menentukan jumlah obat dalam
cairan itu. Kemudian diencerkan 1 mL dari setiap cuplikan menjadi 10 mL dengan
medium dan tentukan absorbansinya pada panjang gelombang maksimum yang didapat
pada percobaan. Untuk
menentukan kadar obat maka digunakan alat spektrophotometri dengan mengukur
tingkat absorbansi-nya.
VI.
Data
Pengamatan
1. Pembuatan
Kurva Kalibrasi
Tabel
1. Hasil pengukuran absorbansi larutan baku
No
|
Konsentrasi
|
Absorbansi rata-rata
|
1
|
30 ppm
|
0,311233
|
2
|
40 ppm
|
0,39670
|
3
|
50 ppm
|
0,495567
|
4
|
60 ppm
|
0,583667
|
5
|
70 ppm
|
0,66740
|
Kurva Kalibrasi
a
= 0.008993
b
= 0.04126
r
= 0.999
persamaan
garis linear à
y = 0.008993x + 0.04126
2. Pengukuran
absorbansi 3 tablet hasil disolusi dengan interval waktu 5, 15, 25, 35, 45
menit
Tabel 2.1
Hasil pengukuran absorbansi tablet ke-1
Menit ke-
|
A1
|
A2
|
A3
|
A rata-rata
|
5
|
0.277
|
0.2764
|
0.2763
|
0.2766
|
15
|
0.5118
|
0.5122
|
0.5123
|
0.5121
|
25
|
0.4875
|
0.4875
|
0.4877
|
0.4876
|
35
|
0.51
|
0.5076
|
0.5062
|
0.5079
|
45
|
0.4592
|
0.4593
|
0.4595
|
0.4593
|
Tabel 2.2
Hasil pengukuran absorbansi tablet ke-2
Menit ke-
|
A1
|
A2
|
A3
|
A rata-rata
|
5
|
0.3893
|
0.3897
|
0.3891
|
0.3894
|
15
|
0.4657
|
0.4653
|
0.4654
|
0.4655
|
25
|
0.4729
|
0.4723
|
0.4728
|
0.4727
|
35
|
0.4498
|
0.4497
|
0.45
|
0.4498
|
45
|
0.4779
|
0.4768
|
0.4761
|
0.4769
|
Tabel 2.3
Hasil pengukuran absorbansi tablet ke-3
Menit ke-
|
A1
|
A2
|
A3
|
A rata-rata
|
5
|
0.3475
|
0.3479
|
0.3484
|
0.3479
|
15
|
0.4392
|
0.44
|
0.4398
|
0.4397
|
25
|
0.4994
|
0.5001
|
0.5005
|
0.5
|
35
|
0.5189
|
0.5184
|
0.5181
|
0.5187
|
45
|
0.4934
|
0.4931
|
0.4929
|
0.4931
|
3. Konsentrasi
3 tablet yang larut dalam interval waktu tertentu
Tabel 3. Hasil
perhitungan konsentrasi obat yang terdisolusi (dalam mg/ml)
Menit ke-
|
Tablet
ke-1
|
Tablet
ke-2
|
Tablet
ke-3
|
5
|
0.026167
|
0.038712
|
0.034098
|
15
|
0.052356
|
0.047174
|
0.044306
|
25
|
0.049632
|
0.047975
|
0.051011
|
35
|
0.051889
|
0.045429
|
0.053902
|
45
|
0.046485
|
0.048442
|
0.050243
|
4. Persentase
disolusi 3 tablet dalam interval waktu tertentu
Tabel
4. Hasil perhitungan % disolusi tablet
Menit ke-
|
Tablet
ke-1
|
Tablet
ke-2
|
Tablet
ke-3
|
5
|
9.42 %
|
13.94 %
|
12.28 %
|
15
|
18.85 %
|
16.98 %
|
15.95 %
|
25
|
17.87 %
|
17.23 %
|
18.38 %
|
35
|
18.68 %
|
16.35 %
|
19.11 %
|
45
|
16.73 %
|
17.44 %
|
18.09 %
|
Kurva laju disolusi tablet glycerol guaiacolat
VII. Perhitungan
Pembuatan Kurva Kalibrasi
a. Pembuatan larutan stok
Baku yang digunakan : 222 mg dalam 100 ml
b.
Pengenceran
larutan baku dengan variasi konsentrasi
ü Konsentrasi
30 ppm
ü Konsentrasi
40 ppm
ü Konsentrasi
50 ppm
ü Konsentrasi
60 ppm
ü Konsentrasi
70 ppm
Perhitungan konsentrasi dan %disolusi
VIII.
Pembahasan
Disolusi
obat adalah suatu proses hancurnya obat (tablet) dan terlepasnya zat-zat aktif
dari tablet ketika dimasukkan ke dalam saluran pencernaan dan terjadi kontak
dengan cairan tubuh.
Pada
percobaan kali ini dilakukan uji laju disolusi terhadap tablet gliseril
guaiakolat. Tujuan
dilakukannya uji laju disolusi yaitu untuk mengetahui seberapa cepat kelarutan
suatu tablet ketika kontak dengan cairan tubuh, sehingga dapat diketahui
seberapa cepat keefektifan obat yang diberikan tersebut.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi kecepatan pelarutan suatu zat yaitu temperatur, viskositas,
pH pelarut, pengadukan, ukuran partikel, polimorfisa, dan sifat permukaan zat.
Secara
umum mekanisme disolusi suatu sediaan dalam bentuk tablet yaitu tablet yang
ditelan akan masuk ke dalam lambung dan di dalam lambung akan dipecah,
mengalami disintegrasi menjadi granul-granul yang kecil yang terdiri dari
zat-zat aktif dan zat-zat tambahan yang lain. Granul selanjutnya dipecah
menjadi serbuk dan zat-zat aktifnya akan larut dalam cairan lambung atau usus,
tergantung di mana tablet tersebut harus bekerja.
Sebelum melakukan uji
disolusi, terlebih dahulu dilakukan pembuatan
kurva baku sampel gliseril guaiakolat.
Prosedur
pembuatan kurva baku sampel gliseril guaiakolat dimulai dengan menimbang
sampel, kemudian sampel dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml, dan ditambahkan
aquadest hingga mencapai tanda batas, dan dikocok hingga homogen. Larutan
tersebut merupakan larutan sampel standar. Selanjutnya adalah dibuat
pengenceran menjadi lima konsentrasi yang berbeda, yaitu 30 ppm, 40 ppm, 50
ppm, 60 ppm, dan 70 ppm. Selanjutnya spektrofotometer UV-Vis disetting pada
panjang gelombang dimana gliseril guaiakolat memberikan absorbansi, yaitu pada
panjang gelombang 274 nm. Masing-masing sampel kemudian dianalisis dengan
spektrofotometer UV-Vis, diukur absorbansi nya terlebih dahulu. Absorbansi yang
terbaca haruslah berada pada rentang 0.2 hingga 0.8, sesuai hukum lambert-beer.
Kemudian setelah absorbansinya berada pada rentang tersebut, kelima sampel
dianalisis. Hasil analisis masing-masing sampel dapat dilihat dibawah ini :
·
Konsentrasi 30 ppm =
0,311233
·
Konsentrasi 40 ppm =
0,39670
·
Konsentrasi 50 ppm =
0,495567
·
Konsentrasi 60 ppm =
0,583667
·
Konsentrasi 70 ppm =
0,66740
Setelah diketahui hasilnya, dibuat kurva
baku yang berisi perbandingan antara konsentrasi dengan absorbansi. Kemudian
dibuat persamaan garis nya dengan menggunakan metode regresi linier, dan
didapat persamaan nya adalah sebagai berikut : y = 0,008993x+0,04126. Dengan
nilai r adalah 0,999. Nilai r yang didapat sangat baik, karena nilai nya
mendekati 1. Persamaan garis yang didapat tersebut nantinya akan digunakan
untuk menghitung kadar sampel gliseril guaiakolat pada uji disolusi.
Selanjutnya dilakukan uji disolusi. Mula-mula 1000 ml aquadest dipanaskan hingga
mencapai suhu 40oC dan sebelum digunakan suhu air harus
dipertahankan pada suhu ± 37oC sesuai suhu tubuh. Selanjutnya 900 ml
dari air tersebut dimasukkan ke dalam wadah gelas yang terdapat di dalam alat
disolusi. Alat disolusi yang digunakan diisi dengan aquadest sebanyak ¾ bagian
saja. Hal ini dilakukan untuk menganalogkannya dengan jumlah cairan tubuh.
Selanjutnya sampel tablet dimasukkan ke dalam keranjang saringan yang kecil
yang ada di dalam alat disolusi. Sampel tablet yang diuji adalah sebanyak 3
tablet. Sampel yang digunakan di sini yaitu tablet gliseril
guaiakolat.
Setelah itu, keranjang dicelupkan ke dalam pelarut. Alat disolusi lalu
dinyalakan dan kecepatan diatur pada 100 rpm dan suhu 37oC. Suhu 37oC
digunakan agar sama dengan suhu tubuh manusia.
Pada saat tablet dimasukkan ke dalam alat disolusi,
stopwatch mulai dijalankan.
Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 4 kali, yaitu pada menit ke-5, 15, 25,
dan 35. Setelah 5 menit sampel diambil sebanyak
5 ml menggunakan syringe yang
berselang, dan dimasukkan kedalam botol vial, kemudian kedalam alat disolusi
yang berisi tablet gliseril guaiakolat yang telah diambil sampel larutannya
sebanyak 5 ml, ditambahkan aquadest sebanyak 5 ml juga. Tujuannya untuk mengembalikan jumlah pelarut seperti
semula karena pelarut dianalogikan sebagai cairan tubuh. Diulangi prosedur
tersebut pada menit ke 15, 25, dan 35. Pengambilan pelarut diambil sekitar 1 cm keranjang tempat tablet. Hal
ini dilakukan karena pada bagian tersebut dianggap merupakan bagian yang
diabsorpsi oleh darah.
Setelah
dilakukan pengambilan sampel, dilakukan analisis dengan menggunakan instrument.
Instrument yang digunakan dalam analisis tersebut adalah spektrofotometer
UV-Vis double beam. Analisis dilakukan secara bertahap dimulai dari tablet 1
hingga tablet 3 (masing-masing menit ke-5, 15, 25, dan 35). Sehingga total
sampel yang dianalisis adalah sebanyak 12 sampel yang berada pada 12 botol vial
yang berbeda. Pertama, dilakukan analisis terhadap blanko sampel (aquadest).
Selanjutnya diikuti analisis 12 sampel tersebut. Kemudian dibuat rata-rata
berdasarkan nilai absorbansi yang terbaca pada alat. Hal yang perlu
diperhatikan dalam analisis dengan menggunakan instrument spektrofotometer UV-Vis double beam adalah saat pengisian sampel kedalam kuvet, jari tangan
jangan sampai menyentuh bagian licin dari kuvet, karena jika jari tangan
menyentuh bagian tersebut, maka protein akan menempel pada bagian licin
daripada kuvet, yang mengakibatkan hasil analisis menjadi tidak akurat lagi.
Selain itu, alat juga perlu disetting pada panjang gelombang tertentu sesuai
dengan sampel yang akan dianalisis.
Uji disolusi dapat
digunakan untuk menentukan persentasi ketersediaan obat dalam sirkulasi
sistemik pada waktu tertentu, hal ini berhubungan dengan bio-availabilitas yang
dapat menjadi parameter efikasi (kemanjuran) dan mutu suatu produk obat. Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan
senyawa aktif dari bentuk sediaan padat
ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena
ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut
melarut ke dalam media pelarut sebelum
diserap ke dalam tubuh.
Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki
daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang
relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak
sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang
minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin dicapai
dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester
dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.
Ada tiga kegunaan uji disolusi yaitu menjamin keseragaman satu batch, menjamin bahwa obat akan
memberikan efek terapi yang diinginkan, dan Uji disolusi diperlukan dalam
rangka pengembangan suatu obat baru. Obat yang telah memenuhi persyaratan
keseragaman bobot, kekerasan, kerenyahan, waktu hancur dan penetapan kadar zat
berkhasiat belum dapat menjamin bahwa suatu obat memenuhi efek terapi, karena
itu uji disolusi harus dilakukan pada setiap produksi tablet.
Tahapan yang dilakukan
setelah pengujian disolusi adalah pengukuran absorbansi melalui alat
spektrofotometer uv-vis di panjang gelombang maksimumnya yaitu 274 nm. Hasil
yang didapatkan adalah :
1.
Tablet 1
-
Menit ke
5 = 0,2766
-
Menit ke
15 = 0,5121
-
Menit ke
25 = 0,4876
-
Menit ke
35 = 0,5079
-
Menit ke
45 = 0,4593
2.
Tablet 2
-
Menit ke
5 = 0,3894
-
Menit ke
15 = 0,4655
-
Menit ke
25 = 0,4727
-
Menit ke
35 = 0,4498
-
Menit ke
45 = 0,4769
3.
Tablet 3
-
Menit ke
5 = 0,3479
-
Menit ke
15 = 0,4397
-
Menit ke
25 = 0,5
-
Menit ke
35 = 0,5187
-
Menit ke
45 = 0,4931
Dari hasil percobaan
tersebut terlihat bahwa absorbansi yang dihasilkan kurang tepat karena seiring
peningkatan waktu seharusnya absorbansinya meningkat tetapi dari data terlihat
bahwa absorbansinya naik dan kemudian di menit selanjutnya turun kembali. Hal
ini dapat disebabkan karena pada saat uji disolusi dilakukan terdapat pengotor
atau kontaminan pada aquadest yang digunakan sebagai medium disolusi dan saat
pemasukkan aquadest setiap 10 menit sekali sebagai pengganti larutan yang
diambil. Hal ini menyebabkan kontaminan tersebut terserap juga absorbansinya
pada alat sehingga hasil absorbansi menjadi kurang akurat. Tetapi hasil
absorbansi yang dihasilkan pada uji ini baik karena memenuhi hukum lambert-beer
yaitu 0,2-0,8.
Persyaratan uji disolusi dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji
sesuai dengan tabel penerimaan. Pengujian dilakukan sampai tiga tahap. Pada
tahap 1 (S1),
6 tablet diuji. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka akan dilanjutkan
ke tahap berikutnya yaitu tahap 2 (S2). Pada tahap ini 6 tablet
tambahan diuji lagi. Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka pengujian
dilanjutkan lagi ke tahap 3 (S3 ). Pada tahap ini 12 tablet tambahan
diuji lagi. Kriteria penerimaan hasil uji disolusi dapat dilihat sesuai dengan
tabel dibawah ini.
Tabel. 2.1. Penerimaan Hasil Uji Disolusi
Tahap
|
Jumlah Sediaan yang diuji
|
Kriteria Penerimaan
|
S1
|
6
|
Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5%
|
S2
|
6
|
Rata – rata dari 12 unit (S1+ S2) adalah sama dengan
atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari
Q – 15%
|
S3
|
12
|
Rata – rata dari 24 unit (S1+ S2+ S3 ) adalah sama
dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih
kecil dari Q – 15% dan tidak satupun unit yang lebih kecil dari Q – 25%
|
Harga Q adalah jumlah zat aktif yang
terlarut dalam persen dari jumlah yang tertera pada etiket. Angka 5% dan 15%
dalam tabel adalah persentase kadar pada etiket, dengan demikian mempunyai arti
yang sama dengan Q. Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi,
persyaratan umum untuk penetapan satu titik tunggal ialah terdisolusi 75% dalam
waktu 45 menit dengan menggunakan alat 1 pada 100 rpm atau alat 2 pada 50 rpm.
Perhitungan hasil dari uji disolusi
dilakukan menggunakan rumus :
% disolusi =
Pengujian dilakukan terhadap tiga tablet
untuk membandingkan hasil pada satu tablet dengan tablet yang lainnya dan
meminimalisir terjadinya kesalahan sehingga pengukuran dilakukan berulang.
Hasil yang didapatkan melalui perhitungan adalah :
1.
Tablet 1
Menit ke 5 = 9,16075%
Menit ke 15 =
18,32776%
Menit ke 25 =
17,37406%
Menit ke 35 =
18,16425%
Menit ke 45 =
16,27248%
2.
Tablet 2
Menit ke 5 = 13,53578%
Menit ke 15 =
16,49457%
Menit ke 25 =
16,77451%
Menit ke 35 =
15,88415%
Menit ke 45 =
16,93780%
3.
Tablet 3
Menit ke 5 = 11,90375%
Menit ke 15 =
15,46742%
Menit ke 25 =
17,80827%
Menit ke 35 = 18,5342%
Menit ke 45 =
17,54041%
Dari
hasil perhitungan tersebut terlihat bahwa nilai % disolusi ada yang naik
kemudian turun kembali di selang 10 menit setelahnya. Seharusnya % disolusi
meningkat seiring bertambahnya waktu dan mencapai 75% di menit 45 sesuai
persyaratan uji disolusi. Hal ini dapat terjadi disebabkan karena faktor
pengikat dan disintegran. Dimana bahan pengikat dan disintegran mempengaruhi
kuat tidaknya ikatan partikel-partikel dalam tablet tersebut sehingga
mempengaruhi pula kemudahan cairan untuk masuk berpenetrasi ke dalam lapisan
difusi tablet menembus ikatan-ikatan dalam tablet tersebut. Dalam hal ini
pemilihan bahan pengikat dan disintegran dan bobot dari penggunaan bahan
pengikat dan disintegran sangat berpengaruh terhadap laju disolusi. Selain itu
penyebab lain yang mungkin adalah formulasi dari sediaan tablet yang kurang
baik. Faktor formulasi yang mempengaruhi laju disolusi diantaranya kecepatan
disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien (bahan tambahan) dan
kekerasan. Faktor lain yang menyebabkan
hasil percobaan tidak akurat adalah kecepatan pengadukan saat uji. Pengadukan
mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga
memperluas permukaan partikel yang kontak dengan pelarut. Semakin lama
kecepatan pengadukan maka laju disolusi akan semakin tinggi. Pada percobaan ini
kecepatan pengadukannya rendah sehingga % disolusi yang dihasilkan pun rendah.
Selain itu Faktor-faktor kesalahan yang mungkin mempengaruhi hasil
yang diperoleh antara lain :
o Suhu larutan disolusi yang tidak konstan.
o Ketidaktepatan jumlah dari medium disolusi,
setelah dipipet beberapa ml.
o Terjadi kesalahan pengukuran pada waktu
pengambilan sampel menggunakan pipet volume.
o Terdapat kontaminasi pada larutan sampel.
o Suhu yang dipakai tidak tepat.
IX.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil
percobaan, diperoleh
%disolusi tablet glycerol guaikolat setelah 45 menit yaitu antara 16 – 18 %. Hal
ini menunjukkan bahwa %disolusi glycerol guaikolat tidak memenuhi syarat pada
Farmakope Indonesia yang menyebutkan bahwa ‘dalam waktu 45 menit harus larut
tidak kurang dari 75 %’ sehingga bisa dikatakan %disolusi tablet glycerolguaikolat pada percobaan tidak bagus.
DAFTAR
PUSTAKA
Amir, Syarif.dr, dkk.2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima.
Gaya Baru. Jakarta.
Ansel, C Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi
keempat. Penerjemah Farida
Ibrahim. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U.
1988. Biofarmasi dan Farmakokinetika Terapan. Edisi II.
Penerjemah Dr. Fasich, Apt. dan Dra. Siti Sjamsiah,
Apt. Airlangga University Press. Surabaya.
Tjay, Hoan Tan dan
Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek
Sampingnya. Edisi kelima. Cetakan kedua. PT. Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia. Jakarta: