PEMERIKSAAN FUNGSI GINJAL
(Test Urea dengan Metode
Kinetika Enzimatis)
I.
Tujuan
1.
Melakukan pemeriksaan fungsi ginjal dengan test urea secara kinetika enzimatis.
2.
Menginterpretasikan hasil pemeriksaan yang
diperoleh.
II.
Prinsip
Reaksi enzimatis
|
urease
Urea + 2H2O -------------->2NH4+ + 2HCO3+
GLDH
2-Oxoglutarate + NH4+ + NADH ------------> L-Glutamate + NAD+ + H2O
III.
Teori Dasar
Ureum adalah suatu molekul kecil yang mudah mendifusi ke dalam cairan
ekstrasel, tetapi pada akhirnya dipekatkan dalm urin dan diekskresikan. Jika
keseimbangan nitrogen dalam keadaan mantap ekskresi ureum kira-kira 25 mg per hari (Widman, 1995).
Ureum juga merupakan produk
akhir dari metabolism nitrogen yang penting pada manusia, yang disintesis dari
ammonia, karbon dioksida dan nitrogen amida aspartat (Murray et. al., 2003).
Definisi lain dari ureum adalah
hasil akhir metabolisme protein. Berasal dari asam amino yang telah dipindah
amonianya di dalam hati dan mencapai ginjal, dan diekskresikan rata-rata 30
gram sehari. Kadar ureum darah yang normal adalah 20 mg ~ 40 mg setiap 100 ccm
darah, tetapi hal ini tergantung dari jumlah normal protein yang di makan dan
fungsi hati dalam pembentukan ureum (Dyan, 2005).
Rumus bangun ureum:
Metabolisme ureum terjadi dengan rangkaian
sebagai berikut. Gugusan amino dilepas dari asam amino bila asam amino
ini didaur ulang menjadi sebagian dari protein atau dirombak dan dikeluarkan
dari tubuh, aminotransferase yang ada di berbagai jaringan mengkatalisis
pertukaran gugusan amino antara senyawa-senyawa yang ikut serta dalam
reaksi-reaksi sintetsis. Deaminasi oksidatif memisahkan gugusan amino dari
molekul aslinya dan gugusan amino yang dilepaskan itu diubah menjadi ammonia.
Amonia diangkut ke hati dan diubah menjadi reaksi-reaksi bersambung. Hampir
seluruh urea dibentuk di dalm hati, dari katabolisme asam-asam amino dan
merupakan produk ekskresi metabolisme protein yang utama. Konsetrasi urea dalam
plasma darah terutama menggambarkan keseimbangan antara pembentukkan urea dan
katabolisme protein serta ekskresi urea oleh ginjal : sejumlah urea dimetabolisme
lebih lanjut dan sejumlah kecil hilang dalam keringat dan feses (Baron, 1995).
Berikut merupakan kelainan-kelainan yang
terjadi berdasarkan kadar urea plasma :
Urea plasma yang tinggi merupakan salah satu gambaran
abnormal yang utama dan penyebabnya diklasifikasikan sebagai berikut :
·
Peningkatan katabolisme protein jaringan
disertai dengan keseimbangan nitrogen yang negative. Misalnya terjadi demam,
penyakit yang menyebabkan atrofi, tirotoksikosis, koma diasbetika atau setelah
trauma ataupun operasi besar. Karena sering kasus peningkatan katabolisme
protein kecil, dan tidak ada kerusakan ginjal primer atau sekunder, maka
ekskresi ke urin akan membuang kelebihan urea dan tidak ada keanikan bermakna
dalam urea plasma.
·
Pemecahan protein darah yang berlebihan Pada
leukemia, pelepasan protein leukosit menyokong urea plasma yang tinggi.
·
Pengurangan ekskresi urea Merupakan penyebab
utama dan terpenting bias prerenal, renal atau postrenal. Penurunan tekanan
darah perifer adatau bendungan vena atau volume plasma yang rendah dan
hemokonsentrasi, mengurangi aliran plasma ginjal. Filtrasi glomelurus untuk
urea turun dan terdapat peningkatan urea plasma, pada kasus yang ringan, bila
tidak ada kerusakan struktur ginjal yang permanen, maka urea plasma akan
kemabli normal bila keadaan prerenal dipulihkan ke yang normal.
·
Penyakit ginjal yang disertai dengan penurunan
laju filtrasi glomelururs yang menyebabkan urea plasma menjadi tinggi.
·
Obstruksi saluran keluar urin menyebabkan urea
plasma menjadi tinggi (Baron, 1995).
2.
Urea plasma yang rendah (Uremia)
Uremia kadang-kadang terlihat pada kehamilan, bias
karena peningkatan filtrasi glomelurus, diversi nitrogen ke foetus atau karena
retensi air. Pada nekrosis hepatic akuta, sering urea plasma rendah karena
asam-asam amino tak dimetabolisme lebih lanjut. Pada sirosis hepatis, urea
plasma yang rendah sebagian disebabkan oleh kecepatan anabolisme protein yang
tinggi, bias timbul selama pengobatan dengan androgen yang intensif, juga pada
malnutrisi protein jangka panjang (Baron, 1995).
Ureum digunakan untuk menentukan tingkat keparahan
status azotemia/uremia pasien, menentukan hemodialisis (BUN serum . 40 mmol/l
atau lebih dari 120 mg). Hemodialisis tidak adekuat apabila rasio reduksi ureum
,65%. Reduksi ureum yang tidak adekuat tersebut meningkatkan angka mortalitas
pasien hemodialisa. Penurunan BUN (,50 ml/dl predialisis tidak menunjukkan
dialysis yang baik, tetapi justru adanya malnutrisi dan penurunan massa otot
karena dialysis inadekuat (Nyoman, 2008).
Kadar ureum
dalam serum/ plasma mencerminkan keseimbangan antara produksi dan ekskresi.
Metode penetapan adalah dengan mengukur nitrogen, di Amerika Serikat hasil
penetapan disebut sebagai nitrogen ureum dalam darah (Blood Urea Nitrogen,
BUN). Dalam serum normal konsentrasi BUN adalah 8-25 mg/dl, dan kadar ureum
dalam serum normal adalah 10-50 mg/dl. Nitrogen menyusun 28/60 bagian dari
berat ureum, karena itu konsentrasi ureum dapat dihitung dari BUN dengan
menggunakan factor perkalian 2,14 (Widman, 1995).
Nilai rujukan kadar ureum plasma :
·
Usia
<1 thn : 4-19 mg/dL
·
Usia
1-17 thn : 5-18 mg/dL
·
Usia
18-60 thn : 6-20 mg/dL
·
Usia
61-90 thn : 8-23 mg/dL
·
Usia
>90 thn : 10-31 mg/dL (Prodia,
2010).
Ginjal
merupakan salah satu organ yang penting bagi makhluk hidup. Ginjal memiliki
berbagai fungsi seperti pengaturan keseimbangan air dan elektrolit, pengaturan
konsentrasi osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit, pengaturan
keseimbangan asam-basa, ekskresi sisa metabolisme dan bahan kimia asing;
pengatur tekanan arteri, sekresi hormon, dan glukoneogenesis. Jika ginjal
dibagi dua dari atas ke bawah, akan terlihat dua bagian utama yaitu korteks di
bagian luar dan medulla di bagian dalam. Unit terkecil dari ginjal adalah
nefron. Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru sehingga apabila terjadi
trauma pada ginjal, penyakit ginjal, atau terjadi penuaan normal, akan terjadi
penurunan jumlah nefron secara bertahap (Guyton, 2006).
Sebagian besar penyakit ginjal menyerang nefron, menyebabkan
mereka kehilangan kapasitas penyaringan mereka. Kerusakan pada nefron
bisa terjadi dengan cepat, sering sebagai akibat dari cedera atau keracunan. Tetapi penyakit
ginjal yang paling merusak nefron adalah yang perlahan-lahan dan diam-diam. Hanya setelah tahunan
atau bahkan puluhan tahun akan terlihat jelas kerusakannya. Sebagian besar
penyakit ginjal menyerang kedua ginjal secara bersamaan (NIDDK, 2009).
Dua penyebab paling umum dari penyakit ginjal adalah diabetes
dan tekanan darah tinggi. Orang
dengan riwayat keluarga apapun masalah ginjal juga di risiko untuk penyakit
ginjal (NIDDK, 2009).Banyak faktor yang mempengaruhi
kecepatan gagal ginjal yang tidak sepenuhnya dipahami. Para peneliti masih
mempelajari bagaimana protein dalam diet dan tingkat kolesterol dalam darah
mempengaruhi fungsi ginjal (NIDDK, 2009).
Karena
seseorang dapat memiliki penyakit ginjal tanpa gejala, dokter mungkin pertama
mendeteksi kondisi melalui darah rutin dan tes urin. National Kidney Foundation
merekomendasikan tiga tes sederhana untuk skrining penyakit ginjal: tekanan
darah pengukuran, cek spot untuk protein atau albumin dalam urin, dan
perhitungan laju filtrasi glomerulus (GFR) berdasarkan pengukuran kreatinin
serum. Mengukur
urea nitrogen dalam darah memberikan informasi tambahan (NIDDK, 2009).
IV.
Alat dan Bahan
A. Alat
1. Beaker
Glass
2. Kuvet
3. Pipet
Piston
4. Spektrofotometer
UV-Vis Single beam
B. Bahan
1. Larutan ureum standard: 50 mg/dL (8,33 mmol/L)
2. Sampel
: serum ureum
3. Pereaksi
1:
a. TRIS ph 7,8 150 mmol/L
b. 2-Oxoglutarate
9 mmol/L
c. ADP 0,75
mmol/L
d. Urease ≥ 7 kU/L
e. GLDH (Glutamate dehydrogenase)
≥ 1 kU/L
Pereaksi
2:
a.
NADH 1,3 mmol/L
C. Gambar
V.
Prosedur
Larutan blangko, standar, dan sampel disiapkan
dengan cara: ke dalam kuvet dimasukkan larutan reagent 1 sebanyak 1000 μL dengan menggunakan pipet piston. Larutan
standar dipipet dengan pipet piston sebanyak 10μL, lalu dimasukkan ke dalam kuvet. Lalu ke
dalamnya ditambahkan reagent 1 sebanyak 1000 μL. Larutan sampel dipipet dengan pipet
piston sebanyak 10μL,
lalu dimasukkan ke dalam kuvet. Lalu ke dalamnya ditambahkan reagent 1 sebanyak
1000 μL. Sampel
dibuat secara duplo. Setelah itu, masing-masing diinkubasikan selama 5 menit,
kemudian masing-masing ditambahkan reagent 2 sebanyak 250 μL. Setelah itu, campuran blanko, standar,
dan sampel diinkubasikan kembali selama 1 menit. Absorbansinya kemudian diukur
dengan alat spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 340 nm. Pertama,
diukur blanko terlebih dahulu kemudian ditara. Setelah itu, absorbansi
masing-masing dari standar dan sampel diukur. Proses pengukuran dilakukan tiap
1 menit hingga menit ke tiga setelah inkubasi. Selanjutnya absorbansi dicatat,
lalu dihitung konsentrasi urea dalam sampel melalui rumus perhitungan.
VI.
Data Pengamatan dan Perhitungan
A. Data Pengamatan
Kelompok
|
Sampel
|
Standar
|
Sampel
|
||||
A1
|
A2
|
∆A
|
A1
|
A2
|
∆A
|
||
I
|
1
|
0,134
|
0,168
|
0,034
|
0,337
|
0,763
|
0,426
|
2
|
0,395
|
0,544
|
0,149
|
||||
II
|
1
|
0,378
|
0,380
|
0,002
|
|||
2
|
0,419
|
0,678
|
0,259
|
||||
III
|
1
|
0,319
|
0,105
|
0,214
|
|||
2
|
0,264
|
0,257
|
0,007
|
||||
IV
|
1
|
0,160
|
0,303
|
0,143
|
|||
2
|
0,229
|
0,475
|
0,246
|
B. Perhitungan
1. ∆A
Sampel I : ∆A = 0,160 – 0,303 = 0,143
Sampel I : ∆A = 0,160 – 0,303 = 0,143
Sampel
II : ∆A = 0,229 – 0,475 = 0,246
2. Kadar Urea
Urea (mg/dl)
=
Sampel I = = 197,06 mg/dl
Sampel I = = 361,76 mg/dl
Rata-Rata
= = 279,41 mg/dl
VII.
Pembahasan
Percobaan
kali ini adalah melakukan pemeriksaan fungsi ginjal dengan test urea secara
kinetika enzimatis dan menginterpretasikan hasil pemeriksaan yang diperoleh. Ureumdapat dijadikan salah satu parameter kerusakan ginjal karena ureum merupakan hasil akhir metabolisme
protein di dalam hati, dimana amonia bereaksi dengan karbondioksida (CO2) hasil respirasi sel dalam tubuh akan menghasilkan ureum yang
mencapai ginjal dan diekskresikan rata-rata 30 gram sehari. Apabila eksresi
ureum abnormal, maka fungsi ginjal dapat diidentifikasi.
Langkah
pertama pengerjaan uji kadar ureum dalam sampel adalah penyiapan
reagen. Reagen diinkubasikan dengan alat pemanas hingga suhunya mencapai 37°C.
Alasan digunakan suhu 37°C adalah karena suhu ini merupakan suhu yang optimal untuk
reaksi antara reagensia dengan larutan sampel.
Langkah kedua, dibuat larutan blanko
(A), sampel (B) dan standar (C) dengan dimasukkan sebanyak 1000 µl reagen I ke dalam tiga buah kuvet
(A), (B), dan (C), lalu ditambahkan 10 µl sampel pada kuvet (B) dan 10 µl
standar ureum pada kuvet (C) dengan menggunakan mikropipet dan dikocok perlahan
agar homogen. Alasan penggunaan mikropipet karena memilki keakuratan yang baik
untuk penambahan cairan dalam skala mikroliter (µl). Tip
yang digunakan harus diperhatikan kebersihannya unuk meminimalisir kontaminasi
yang mempengaruhi absorbansi sampel. Kemudian campuran larutan diinkubasi
selama 5 menit untuk memberi waktu reaksi antara reagen I dengan sampel (B)
atau standar (C).
Reagen
I yang digunakan berisi TRIS ph 7,8 150 mmol/L, 2-oxoglutarate 9mmol/L, ADP 0,7
mmol/L, urease ≥ 7 kU/L, GLDH (Glutamate Dehidrogenase) ≥ 1 kU/L. TRIS ph 7,8
150 mmol/L
berfungsi sebagai dapar yang menjaga pH serum selama reaksi pemeriksaan
ini. Urease berfungsi sebagai enzim yang mengkatalis pembentukan ammonia dari
urea. Oxoglutarate akan beraksi dengan ammonia dan NADH membentuk L-glutamate
dengan dikatalis oleh enzim GLDH. Selanjutnya, kedalam tiap kuvet
ditambahkan reagen II sebanyak 250 µl, dikocok perlahan dan diinkubasi selama 1
menit agar reaksi campuran larutan sempurna. Reagen II berisi NADH 50 mg/dL. NADH akan mengalami oksidasi
menjadi NAD+. Banyaknya NADH yang dioksidasi menjadi NAD+
sebanding dengan banyaknya ureum yang dianalisis secara fotometri.
Langkah ketiga, dilakukan
pengukuran absorbansi blanko, sampel, standar menggunakan instrument spektrofotometer UV-Vis. Instrument ini
digunakan karena campuran larutan dapat memberikan absorbansi terhadap sinar
visible yang dilewatkan melalui kuvet saat diletakkan didalam instrument. Selain itu, dilakukan pengukuran
dengan menggunakan spektrofotometer UV/Vis karena mempunyai sensitivitas yang
relative tinggi, pengerjaanya mudah sehingga pengukuran yang dilakukan cepat,
dan mempunyai spesifisitas yang baik.
Kuvet yang berisi larutan blanko dimasukkan ke
dalam Spektrofotometer UV/Vis untuk diukur absorbansinya. Larutan blanko berisi
reagen I dan II tanpa adanya sampel dan perlakuannya pada kondisi yang sama
dengan larutan berisi sampel/standar. Blanko ini berfungsi supaya alat
spektrofotometer UV/Vis mengenal matriks selain sampel sebagai pengotor.
Kemudian setting blank sehingga ketika pengukuran hanya sampel yang diukur
absorbansinya. Setelah itu, kuvet yang berisi sampel dimasukkan ke tempat kuvet
dan dilihat absorbansinya pada layar readout. Absorbansi tersebut dicatat
sebagai nilai absorbansi pertama (A1). Kemudian 1 menit setelah pengukuran absorbansi pertama (A1),
larutan kembali diukur absorbansinya dan nilai absorbansi yang dihasilkan dicatat
sebagai nilai absorbansi kedua (A2). Pengukuran absorbansi larutan sampel (B) dan larutan standar (C) dilakukan dengan prosedur yang sama. Larutan sampel (B)
diukur absorbansinya secara duplo untuk menambah keakuratan hasil
pengukuran. Sebelum pengukuran absorbansisampel/standar, harus dilakukan blanko terlebih dahulu.
Selama proses pemeriksaan ini,
bagian bening kuvet tidak boleh disentuh
oleh tangan karena sumber sinar akan diteruskan melalui bagian bening kuvet.
Jika bagian bening kuvet terkontaminasi oleh tangan, maka akan mempengaruhi
nilai absorbansi. Hal ini akan memungkinkan kesalahan dalam menginterpretasikan
data yang diperoleh. Pada prinsipnya, suatu
molekul yang dikenai suatu radiasi elektromagnetik pada frekuensi yang sesuai
akan menyerap energy dan energi molekul tersebut ditingkatkan ke level yang
lebih tinggi, sehingga terjadi peristiwa penyerapan (absorpsi) energi oleh
molekul. Banyaknya sinar yang diabsorpsi pada panjang gelombang tertentu
sebanding dengan banyaknya molekul yang menyerap radiasi, dan jumlah cahaya
yang diabsorpsi berbanding lurus dengan konsentrasinya sesuai hukum
lambert-beer.
Langkah keempat, dari data absorbansi yang diperoleh, dicari kadar ureum dengan rumus sebagai berikut:
diperoleh hasil kadar ureum rata-rata dalam sampel sebesar 279,41 mg/dl. Kadar ini diluar
batas normal karena berdasarkan literatur rentang kadar ureum darah normal antara 15-40
mg/dl.
Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin
dalam darah dapat menjadi acuan untuk mengetahui adanya gagal ginjal akut,
yaitu suatu sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan kecepatan penyaringan
ginjal, disertai dengan penumpukan sisa metabolism ginjal (ureum dan
kreatinin). Hasil
metabolisme yang akan dibuang oleh ginjal yaitu ureum dan kreatinin. Kedua zat ini dapat digunakan sebagai indikator derajat kesehatan pada ginjal. Apabila kadar keduanya meningkat,
hal ini menunjukkan fungsi ginjal yang tidak baik.
Kadar
ureum darah normal adalah 15 – 40 mg/dl, tetapi hal ini tergantung dari jumlah protein
yang dimakan dan fungsi hati dalam pembentukan ureum. Kadar ureum dapat meningkat pada orang dengan intake
diet protein besar dan dapat menurun pada orang dengan intake diet protein kecil. Zat ini dipekatkan dalam urin untuk diekskresikan. Kadar dalam darah mencerminkan
keseimbangan antara produksi dan ekskresi urea. Jika terdapat kerusakan pada ginjal dan
glomerulus filtration rate (kecepatan filtrasi glomerulus) menurun, maka ureum tidak dapat dikeluarkan
bersama urin serta tertahan lebih lama di dalam darah. Hal ini akan menyebabkan
kadar urem dalam darah meningkat.
Dalam
praktikum ini, kadar ureum diukur dengan metode kolorimetri menggunakan spektrofotometer UV-Vis
atau analyzer kimiawi. Pengukuran berdasarkan atas reaksi enzimatik dengan
diasetil monoksim yang memanfaatkan enzim urease yang sangat spesifik
terhadap ureum. Konsentrasi ureum umumnya dinyatakan sebagai kandungan nitrogen molekul,
yaitu nitrogen urea darah (blood urea nitrogen, BUN).
Sehingga dari hasil
pemeriksaan
dapat disimpulkan bahwa pasien kemungkinan mengalami gagal ginjal akut, karena
hasil analisis menunjukkan bahwa kadar ureum pada sampel plasma pasien diatas
normal (15-40 mg/dl). Namun hasil dari pemeriksaan kadar
ureum tidak dapat digunakan sebagai acuan utama karena kadar ureum sangat
dipengaruhi intake makanan. Untuk
lebih pasti perlu dilakukan pemeriksaan terhadap kadar kreatinin dalam darah
karena kreatinin hanya dieksresikan melalui ginjal serta kadar kreatinin hanya
dipengaruhi oleh metabolisme otot yang relatif stabil sehingga hasil
pemeriksaan yang diperoleh lebih akurat untuk pemeriksaan fungsi ginjal.
Apabila hasil keduanya diatas batas normal, maka dapat dipastikan bahwa pasien
mengalami gagal ginjal akut.
VIII. Kesimpulan
1. Pemeriksaan
fungsi ginjal dapat dilakukan dengan test urea, sampel direaksikan dengan
reagen kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 340 nm.
2. Dari
hasil pemeriksaan kadar ureum dalam sampel sebesar 279,41 mg/dL. Hal ini
menunjukkan bahwa kadar uerum dalam sampel tinggi sehingga diindikasikan
terjadi gangguan pada fungsi ginjal.
DAFTAR PUSTAKA
Baron, D. N, 1995. Kapita Selekta Patologi Klinik (A Short Text Book of Chemical
Pathology) Edisi 4. EGC. Jakarta.
Bishop L.
Michael, Duben L, Janet – Kirk Engelel, Fody P. Edward. 2000. Clinical Chemistry: Principles, Procedures,
Correlations Edisi 4. Lippincott Williams & Willkins (A Wolters Kluwer
Company). Baltimore.
Dyan. 2005.
Ureum dan Kreatinin. Available
online at http://dyanelekkodhog.blogspot.com/2011/09/ureum-dan-kreatinin.html [Diakses tanggal 8 Mei 2013].
Guyton, Arthur
C. 2006. Fisiologi Kedokteran. EGC.
Jakarta.
Murray, Robert,
K. Darylk, Granner, Peter, A. mayos, Victor, W. Rodwell. 2003. Biokimia Harper. EGC. Jakarta.
NIDDK.
2009. The Kidneys and How They Work. Available online at http://kidney.niddk.nih.gov/Kudiseases/pubs/yourkidneys/
[Diakses tanggal 21 April 2013]
Nyoman,
Suci W. 2008. Kadar Ureum dalam Penderita Gagal Ginjal yang Menjalani Terapi
Hemodialisis. Available online at http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/105/jtptunimus-gdl-tantikurni-5215- 2-bab2.pdf [Diakses tanggal 8 Mei 2013].
Prodia. 2010.
Urea-N. Available online at http://prodia.co.id/kimia/urea-n [Diakses tanggal 8 Mei 2013].
Widman, Frances
K. 1995. Tinjauan Klinis Atas Hasil
Pemeriksaan Laboratorium. Edisi 9. Terj. : Gandasoebroto, et al. EGC.
Jakarta.